Berita  

Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat: Di Mana Perlindungan?

Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat: Di Mana Perlindungan Sejati?

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, sebuah bayangan gelap kian membayangi kaum perempuan: kekerasan. Laporan demi laporan, data demi data, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan – angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, seolah menjadi epidemi yang tak kunjung usai. Pertanyaan krusial pun muncul, menggema di setiap sudut ruang publik maupun privat: di mana perlindungan yang semestinya bagi mereka yang menjadi korban?

Fenomena Gunung Es yang Mengkhawatirkan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara konsisten merilis data yang menjadi alarm bagi kita semua. Setiap tahun, ribuan kasus kekerasan, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan berbasis siber, dilaporkan. Ironisnya, angka-angka ini diyakini hanyalah puncak dari gunung es. Banyak kasus lain yang tenggelam dalam keheningan karena stigma, rasa takut, minimnya akses, atau ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada.

Pandemi COVID-19, alih-alih meredakan, justru memperparah situasi. Pembatasan sosial dan tekanan ekonomi menciptakan lingkungan yang lebih rentan bagi perempuan. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat teraman, justru menjadi "penjara" bagi banyak korban yang terjebak bersama pelaku. Kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga melonjak tajam, menambah daftar panjang ancaman yang dihadapi perempuan di era digital.

Akar Masalah yang Mengakar Kuat

Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan bukan hanya masalah individu, melainkan cerminan dari akar masalah yang lebih dalam:

  1. Patriarki dan Ketidaksetaraan Gender: Budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita menempatkan perempuan pada posisi subordinat, menciptakan celah bagi dominasi dan kekerasan.
  2. Impunitas dan Budaya Permisif: Pelaku seringkali lolos dari jerat hukum, atau mendapatkan hukuman yang ringan, sehingga menciptakan rasa aman bagi mereka untuk terus melakukan kekerasan. Budaya menyalahkan korban (victim blaming) juga masih marak, membuat korban enggan bersuara.
  3. Literasi Hukum dan Kesadaran yang Rendah: Banyak korban tidak memahami hak-hak mereka atau bagaimana mencari bantuan. Masyarakat umum juga masih minim pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan dan cara mencegahnya.
  4. Faktor Ekonomi dan Sosial: Kemiskinan, pengangguran, dan tekanan hidup dapat memperburuk situasi dan menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga.

Di Mana Letak Perlindungan?

Ketika seorang perempuan berani melangkah maju untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, ia tidak hanya butuh keadilan, tetapi juga perlindungan yang komprehensif. Namun, seringkali harapan itu terbentur pada realita pahit:

  • Proses Hukum yang Berliku: Korban harus melewati birokrasi yang rumit, menghadapi interogasi yang tidak sensitif, atau bahkan dituduh memfitnah. Waktu penanganan yang lama menambah penderitaan dan trauma.
  • Minimnya Fasilitas Pendukung: Ketersediaan rumah aman (shelter), layanan konseling psikologis, dan pendampingan hukum yang memadai masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil.
  • Stigma Sosial: Korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, seringkali distigmatisasi oleh masyarakat, bahkan oleh keluarga sendiri, yang membuat mereka semakin terpuruk dan terisolasi.
  • Penegakan Hukum yang Belum Optimal: Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan. Penegak hukum perlu dibekali pelatihan khusus agar lebih responsif, sensitif gender, dan berpihak pada korban.

Sebuah Panggilan untuk Kita Semua

Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan adalah cerminan dari rapuhnya jaring pengaman sosial dan hukum kita. Ini adalah panggilan darurat yang harus dijawab oleh seluruh elemen bangsa:

  1. Penguatan Implementasi UU TPKS: Bukan hanya tentang memiliki undang-undang, tetapi bagaimana ia ditegakkan secara efektif, memberikan perlindungan, keadilan, dan pemulihan bagi korban.
  2. Edukasi dan Kampanye Masif: Perlu terus-menerus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender, menghapus stigma terhadap korban, dan membentuk lingkungan yang tidak permisif terhadap kekerasan.
  3. Peningkatan Akses dan Kualitas Layanan: Memperbanyak dan meningkatkan kualitas fasilitas rumah aman, pusat krisis, layanan konseling, serta pendampingan hukum yang mudah diakses oleh korban di seluruh pelosok negeri.
  4. Pelatihan Berkelanjutan bagi Penegak Hukum: Polisi, jaksa, hakim, dan tenaga medis harus dilatih secara khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dengan sensitivitas, empati, dan sesuai prosedur yang berpihak pada korban.
  5. Peran Aktif Komunitas dan Keluarga: Menciptakan lingkungan keluarga dan komunitas yang suportif, yang percaya pada korban, dan berani melaporkan atau mengintervensi ketika terjadi kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan adalah luka kolektif yang harus kita sembuhkan bersama. Perlindungan sejati bukan hanya tentang payung hukum, melainkan juga tentang empati, keberpihakan, dan keberanian kita sebagai masyarakat untuk berdiri teguh melawan setiap bentuk penindasan. Hanya dengan upaya kolektif, kita bisa menciptakan dunia di mana setiap perempuan dapat hidup tanpa rasa takut, terlindungi, dan berdaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *