Ketika Beton Bertemu Akar: Konflik Agraria di Perkotaan dan Jejak Keadilan yang Terlupakan
Konflik agraria seringkali diasosiasikan dengan hamparan sawah, hutan, atau perkebunan di pedesaan. Namun, di balik gemerlap gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk kota modern, tersimpan pula kisah-kisah pahit sengketa tanah yang tak kalah pelik: konflik agraria perkotaan. Ini adalah pertempuran senyap antara pembangunan, kepentingan bisnis, dan hak-hak dasar warga yang telah lama menjejakkan kaki di tanah yang kini menjadi incaran.
Konflik agraria di perkotaan adalah cermin dari pertumbuhan kota yang cepat dan seringkali tak terencana. Tanah, yang sejatinya merupakan sumber kehidupan, berubah menjadi komoditas berharga yang memicu perebutan sengit. Ketika pembangunan infrastruktur, properti komersial, atau perumahan mewah mendesak, komunitas-komunitas yang telah lama mendiami suatu kawasan—seringkali dengan bukti kepemilikan yang lemah atau tidak diakui secara formal—menjadi pihak yang paling rentan.
Mengapa Konflik Agraria Kian Meruncing di Perkotaan?
Beberapa faktor utama mendorong eskalasi konflik ini:
- Percepatan Urbanisasi dan Pembangunan: Laju pertumbuhan penduduk kota menuntut perluasan area permukiman dan fasilitas umum. Tanah menjadi barang langka dan mahal, memicu spekulasi serta desakan untuk mengalihfungsikan lahan.
- Status Tanah yang Tumpang Tindih: Banyak area perkotaan, terutama yang dihuni masyarakat secara turun-temurun, memiliki sejarah kepemilikan yang kompleks. Klaim adat, penguasaan fisik yang lama, berbenturan dengan sertifikat hak milik yang baru diterbitkan, atau klaim kepemilikan oleh negara (tanah negara bebas).
- Lemahnya Penegakan Hukum dan Tata Ruang: Peraturan tata ruang seringkali diabaikan atau diubah demi kepentingan tertentu. Proses perizinan yang tidak transparan dan penegakan hukum yang bias memperparah ketidakadilan, memberi celah bagi praktik-praktik ilegal atau manipulasi.
- Kepentingan Bisnis dan Spekulasi Lahan: Harga tanah yang melambung di perkotaan menarik minat investor dan pengembang. Mereka kerap menggunakan berbagai cara, termasuk intimidasi atau pembelian tanah dengan harga di bawah standar, untuk menguasai lahan-lahan strategis.
- Ketidaksetaraan Akses Informasi dan Kekuasaan: Masyarakat rentan seringkali tidak memiliki akses informasi yang memadai tentang hak-hak mereka, proses hukum, atau rencana pembangunan kota. Hal ini membuat mereka berada pada posisi yang sangat lemah saat berhadapan dengan pihak yang lebih kuat.
Dampak Konflik: Bukan Sekadar Sengketa Batas
Dampak konflik agraria di perkotaan jauh melampaui sengketa kepemilikan semata. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang mendalam:
- Penggusuran dan Kehilangan Tempat Tinggal: Ini adalah dampak paling nyata. Ribuan keluarga kehilangan rumah, komunitas terpecah belah, dan akar sejarah mereka di suatu tempat tercerabut paksa.
- Kemiskinan dan Kehilangan Mata Pencarian: Banyak warga kota bergantung pada usaha-usaha kecil di lingkungan tempat tinggal mereka. Penggusuran berarti kehilangan modal, pelanggan, dan jaringan ekonomi, yang mendorong mereka ke jurang kemiskinan.
- Trauma Psikologis dan Sosial: Rasa tidak aman, ketidakadilan, dan kehilangan identitas komunitas dapat menyebabkan trauma mendalam yang berlangsung lintas generasi.
- Kerusakan Lingkungan: Pembangunan yang tidak terkontrol demi kepentingan bisnis seringkali mengabaikan aspek lingkungan, menyebabkan hilangnya ruang terbuka hijau, resapan air, atau bahkan merusak ekosistem perkotaan.
Upaya Penyelesaian: Mencari Titik Temu di Tengah Beton
Menyelesaikan konflik agraria perkotaan bukanlah tugas mudah, namun bukan berarti mustahil. Diperlukan pendekatan yang holistik, berkeadilan, dan melibatkan berbagai pihak:
- Mediasi dan Negosiasi Partisipatif: Mendorong dialog antara pihak-pihak yang bersengketa, dengan melibatkan mediator independen dan netral. Proses ini harus partisipatif, memberikan ruang bagi suara masyarakat terdampak untuk didengar dan dipertimbangkan.
- Legalisasi dan Sertifikasi Tanah bagi Masyarakat: Pemerintah perlu proaktif dalam mengakui hak-hak penguasaan tanah masyarakat yang telah lama tinggal di suatu kawasan, melalui program legalisasi atau sertifikasi yang mudah diakses dan berpihak. Ini memberikan kepastian hukum dan melindungi mereka dari ancaman penggusuran.
- Redistribusi Tanah dan Penataan Kembali (Urban Land Reform): Dalam beberapa kasus, redistribusi tanah yang adil atau penataan kembali kawasan yang terencana dapat menjadi solusi. Ini bukan berarti menghambat pembangunan, melainkan memastikan pembangunan yang inklusif dan tidak mengorbankan warga.
- Penegakan Hukum dan Tata Ruang yang Adil: Memastikan bahwa semua pihak mematuhi aturan tata ruang dan hukum agraria. Pemerintah harus tegas menindak praktik spekulasi, manipulasi, dan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses pengadaan tanah.
- Pemberdayaan Masyarakat dan Bantuan Hukum: Mendukung organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum untuk mendampingi warga terdampak, memberikan edukasi tentang hak-hak mereka, dan membantu dalam proses litigasi atau negosiasi.
- Perencanaan Kota yang Inklusif: Menyusun rencana tata ruang kota yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan sejak awal akan mengurangi potensi konflik di kemudian hari.
Konflik agraria perkotaan adalah cermin dari ketimpangan dan ketidakadilan yang masih bercokol di jantung kota-kota kita. Menyelesaikan konflik ini bukan hanya tentang memindahkan patok batas atau menerbitkan sertifikat, tetapi tentang membangun kota yang inklusif, adil, dan berpihak pada semua penghuninya—kota di mana beton bisa berdampingan harmonis dengan akar-akar sejarah dan kehidupan manusia. Hanya dengan begitu, jejak keadilan yang sering terlupakan bisa kembali ditemukan.




