Ketika Kampus Tak Lagi Cukup: Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menuntut Reformasi Pendidikan
Debu jalanan bercampur dengan semangat membara, suara orasi lantang memecah hiruk pikuk kota. Pemandangan ini, yang mungkin terasa familiar, kembali terjadi di berbagai sudut Indonesia. Ribuan mahasiswa, dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu, serentak bergerak meninggalkan bangku kuliah, turun ke jalan. Bukan untuk mencari sensasi, melainkan untuk menyuarakan keresahan mendalam: reformasi sistem pendidikan yang tak kunjung datang.
Fenomena mahasiswa turun ke jalan bukan hal baru dalam sejarah bangsa ini. Mereka adalah penjaga nurani, agen perubahan, dan indikator penting bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam tatanan sosial. Kali ini, sorotan tajam diarahkan pada fondasi utama pembangunan bangsa: pendidikan.
Mengapa Mereka Turun ke Jalan? Suara dari Lorong-Lorong Kampus
Aksi demonstrasi ini bukanlah ledakan emosi sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan dan harapan yang terpendam. Ada beberapa isu krusial yang menjadi pemicu utama gerakan ini:
-
Kurikulum yang Kaku dan Tidak Relevan: Banyak mahasiswa merasa kurikulum yang ada terlalu teoritis, kurang adaptif terhadap perkembangan zaman, dan tidak membekali mereka dengan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri 4.0 atau bahkan 5.0. Mereka menuntut pendidikan yang lebih praktis, inovatif, dan mendorong kemampuan berpikir kritis, bukan sekadar menghafal.
-
Mahalnya Biaya Pendidikan dan Kesenjangan Akses: Isu biaya pendidikan yang terus melambung tinggi menjadi beban berat bagi banyak keluarga. Skema pinjaman pendidikan yang kian marak, alih-alih menjadi solusi, justru dikhawatirkan menjerat mahasiswa dalam lingkaran utang. Selain itu, kesenjangan kualitas antara pendidikan di kota besar dan daerah terpencil masih sangat mencolok, menciptakan ketidakadilan akses terhadap pendidikan berkualitas.
-
Kualitas Pengajar dan Fasilitas yang Belum Merata: Meskipun ada banyak dosen dan guru berdedikasi, namun kualitas pengajaran dan fasilitas pendukung di banyak institusi pendidikan masih jauh dari ideal. Mahasiswa menginginkan dosen yang tidak hanya ahli dalam bidangnya, tetapi juga inovatif dalam metode pengajaran, serta fasilitas yang mendukung proses belajar-mengajar yang optimal.
-
Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Pendidikan: Desakan untuk transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan, baik di tingkat pusat maupun institusi, menjadi salah satu tuntutan. Mahasiswa ingin memastikan setiap rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas, bukan diselewengkan.
-
Ruang Gerak Akademik yang Terbatas: Kekhawatiran akan pembatasan kebebasan berpendapat di lingkungan kampus, serta minimnya partisipasi mahasiswa dalam perumusan kebijakan pendidikan, juga menjadi alasan. Mereka ingin kampus menjadi marketplace of ideas yang sesungguhnya, tempat gagasan bisa berkembang tanpa takut dibungkam.
Lebih dari Sekadar Protes, Sebuah Seruan Kolektif
Spanduk-spanduk yang dibentangkan, orasi-orasi yang dilantangkan, dan yel-yel yang menggema adalah manifestasi dari idealismisme muda yang menolak apatis. Mereka bukan hanya menuntut perubahan, tetapi juga menawarkan visi tentang pendidikan ideal: pendidikan yang inklusif, relevan, terjangkau, dan mampu mencetak generasi yang kompeten, berdaya saing, serta berintegritas.
Gerakan mahasiswa ini harus dilihat sebagai cerminan kegelisahan masyarakat luas yang menitipkan masa depan anak-anaknya pada sistem pendidikan. Ini adalah pengingat bagi para pemangku kebijakan bahwa investasi terbesar sebuah bangsa bukanlah pada infrastruktur fisik semata, melainkan pada kualitas sumber daya manusianya.
Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat kini dihadapkan pada tantangan untuk merespons suara-suara ini dengan bijak. Dialog konstruktif, kemauan untuk mendengarkan, dan keberanian untuk melakukan perubahan fundamental adalah kunci. Mengabaikan tuntutan ini sama saja dengan membiarkan bom waktu bernama "ketidakpuasan pendidikan" terus berdetak.
Ketika mahasiswa memutuskan bahwa kampus tidak lagi cukup untuk menyalurkan aspirasi, dan jalanan menjadi mimbar perjuangan, itu berarti ada alarm bahaya yang berbunyi sangat keras. Masa depan bangsa ini sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang mereka perjuangkan hari ini. Akankah suara mereka didengar, atau hanya akan menjadi bising di tengah riuhnya pembangunan? Sejarah akan mencatat bagaimana kita menjawabnya.




