Berita  

Masyarakat Adat Tolak Proyek Strategis Nasional di Lahan Mereka

Ketika Tanah Leluhur Bersuara: Perlawanan Masyarakat Adat Terhadap Proyek Strategis Nasional

Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan investasi berskala besar yang digadang-gadang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), sebuah suara yang sering terpinggirkan namun tak pernah padam terus bergema: suara masyarakat adat. Mereka bukan sekadar menolak pembangunan; mereka sedang mempertahankan denyut nadi kehidupan, warisan leluhur, dan identitas budaya yang terancam.

Janji Pembangunan vs. Realita di Tanah Adat

Pemerintah seringkali menggaungkan PSN sebagai lokomotif kemajuan: menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Narasi ini disajikan dengan angka-angka fantastis dan janji-janji manis. Namun, di balik megahnya cetak biru proyek-proyek ini, tersembunyi sebuah dilema klasik yang tak kunjung usai: ketika pembangunan berhadapan langsung dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan wilayahnya.

Bagi masyarakat adat, tanah bukanlah sekadar aset ekonomi yang bisa diperjualbelikan atau dikonversi. Tanah ulayat adalah ibu, sumber kehidupan, apotek hidup, gudang pangan, perpustakaan pengetahuan, dan makam para leluhur. Di sanalah kearifan lokal bersemi, tradisi diwariskan, dan identitas budaya mengakar kuat. Pembangunan yang masuk tanpa izin dan merampas tanah mereka berarti merobek kain kehidupan yang telah ditenun selama ratusan tahun.

Mengapa Mereka Menolak? Lebih dari Sekadar "Anti-Pembangunan"

Penolakan masyarakat adat terhadap PSN seringkali disederhanakan sebagai sikap "anti-pembangunan" atau "menghambat investasi." Padahal, alasan mereka jauh lebih kompleks dan mendalam:

  1. Pelanggaran Hak Atas Tanah Ulayat: Banyak PSN yang dibangun di atas wilayah adat tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan tanpa paksaan (PBPB/FPIC) dari masyarakat adat. Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan konstitusi yang mengakui keberadaan masyarakat adat.
  2. Ancaman Lingkungan dan Kehidupan: Proyek-proyek besar seperti tambang, PLTA, jalan tol, atau kawasan industri seringkali membawa dampak lingkungan yang masif: deforestasi, pencemaran air dan udara, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga perubahan iklim mikro. Bagi masyarakat adat yang hidup bergantung pada alam, ini berarti hilangnya mata pencarian, sumber pangan, dan kesehatan.
  3. Erosi Budaya dan Identitas: Ketika tanah leluhur digusur, tradisi dan ritual yang terikat padanya pun ikut musnah. Pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan, pertanian lestari, hingga pengobatan tradisional terancam hilang. Masyarakat adat terpaksa beradaptasi dengan gaya hidup baru yang asing, seringkali berakhir di marginalisasi dan kemiskinan.
  4. Ketiadaan Partisipasi Bermakna: Seringkali, "konsultasi" yang dilakukan hanyalah formalitas. Keputusan sudah diambil, dan masyarakat adat hanya diberi pilihan untuk menerima atau menolak tanpa ruang negosiasi yang setara. Suara mereka tidak didengar, kekhawatiran mereka diabaikan.
  5. Kriminalisasi dan Kekerasan: Tak jarang, penolakan masyarakat adat berujung pada kriminalisasi para aktivis, intimidasi, hingga kekerasan. Mereka yang berjuang mempertahankan tanahnya dituduh menghambat pembangunan atau bahkan difitnah sebagai provokator.

Suara yang Tak Bisa Dibungkam

Dari Wadas di Jawa Tengah yang menolak tambang andesit untuk bendungan, hingga Rempang di Batam yang menghadapi penggusuran untuk Eco-City, atau berbagai komunitas adat di Kalimantan dan Sumatera yang berjuang melawan perkebunan sawit dan pertambangan, kisah perlawanan ini adalah gambaran nyata dari konflik pembangunan.

Mereka bukan menentang kemajuan, melainkan menuntut pembangunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menghormati hak asasi manusia. Mereka ingin pembangunan yang tidak mengorbankan masa depan demi keuntungan jangka pendek, pembangunan yang mendengarkan suara bumi dan penghuninya.

Jalan Menuju Pembangunan Berkeadilan

Untuk meredakan konflik dan mewujudkan pembangunan yang inklusif, ada beberapa langkah krusial yang harus ditempuh:

  1. Pengakuan dan Perlindungan Hak Adat: Percepatan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum atas wilayah dan hak-hak mereka.
  2. Penerapan PBPB/FPIC Secara Penuh: Setiap proyek di wilayah adat harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat yang dilakukan secara bebas, didahulukan, dan tanpa paksaan, bukan sekadar sosialisasi atau basa-basi.
  3. Redefinisi Pembangunan: Pembangunan tidak hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap kebudayaan lokal.
  4. Dialog yang Setara: Pemerintah dan pihak swasta harus membuka ruang dialog yang tulus dan setara, melibatkan masyarakat adat sebagai subjek pembangunan, bukan objek.
  5. Penyelesaian Konflik yang Adil: Mekanisme penyelesaian konflik yang transparan, adil, dan berpihak pada kebenaran harus diutamakan, bukan pendekatan represif.

Ketika tanah leluhur bersuara, itu adalah panggilan bagi kita semua untuk merenungkan kembali makna "pembangunan." Apakah kita akan terus membangun di atas air mata dan pengorbanan, ataukah kita memilih jalan yang lebih bijaksana, membangun bersama dengan menghargai setiap jengkal tanah dan setiap suara yang ada? Masa depan Indonesia yang adil dan beradab ada di tangan kita, dan itu dimulai dengan mendengarkan suara dari tanah yang bernyawa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *