Berita  

Masyarakat Pinggiran Kesulitan Air Bersih Selama Musim Kemarau

Ketika Sumur Mengering: Jeritan Hati Masyarakat Pinggiran di Tengah Krisis Air Bersih Musim Kemarau

Musim kemarau tiba lagi. Bagi sebagian besar dari kita, ini mungkin berarti cuaca cerah untuk beraktivitas, atau mungkin sedikit ketidaknyamanan karena panas menyengat. Namun, bagi jutaan masyarakat yang hidup di wilayah pinggiran dan terpencil, datangnya kemarau adalah awal dari sebuah perjuangan hidup yang memilukan: krisis air bersih. Mereka adalah wajah-wajah yang sering terlupakan, jauh dari gemerlap kota, namun paling merasakan dampak pahit dari perubahan iklim dan ketimpangan pembangunan.

Perjalanan Panjang Demi Setetes Air

Bayangkan saja. Matahari terik menyengat kulit, membakar lahan pertanian hingga retak-retak. Sumur-sumur yang biasanya menjadi sumber kehidupan kini hanya menyisakan lumpur kering, atau bahkan tak berair sama sekali. Di sinilah kisah perjuangan itu dimulai. Para ibu dan anak-anak, yang seharusnya berada di sekolah atau melakukan kegiatan produktif, kini harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer, kadang dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang terjal, hanya untuk mendapatkan beberapa jerigen air.

Antrean panjang jerigen kosong adalah pemandangan umum di satu-satunya sumber air yang tersisa – mungkin mata air yang debitnya sudah sangat kecil, atau sumur bor bantuan yang seringkali berebut dengan desa tetangga. Waktu berjam-jam terbuang, energi terkuras, dan risiko kesehatan mengintai. Air yang mereka dapatkan pun seringkali keruh, berbau, atau tidak memenuhi standar kelayakan minum. Namun, pilihan apa lagi yang mereka punya? Ini adalah satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.

Ancaman Ganda: Penyakit dan Kemiskinan yang Kian Parah

Krisis air bersih bukan hanya tentang rasa haus. Ini adalah ancaman ganda yang menyerang kesehatan dan ekonomi masyarakat. Konsumsi air yang tidak bersih menjadi pemicu utama berbagai penyakit, mulai dari diare, kolera, hingga infeksi kulit yang mudah menyebar. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, dengan angka gizi buruk dan stunting yang bisa meningkat akibat sanitasi buruk dan penyakit yang berulang.

Secara ekonomi, krisis ini adalah pukulan telak. Lahan pertanian yang mengering berarti gagal panen, ternak yang mati karena kehausan, dan hilangnya mata pencarian utama. Jika ada uang pun, mereka terpaksa membeli air dari penjual keliling dengan harga yang jauh lebih mahal, mengikis pendapatan harian yang sudah minim. Lingkaran setan kemiskinan pun semakin mengikat erat, tanpa ada jalan keluar yang terlihat. Pendidikan anak-anak pun terancam, karena waktu mereka habis untuk mencari air, atau karena sakit yang terus-menerus.

Mengapa Mereka Terpinggirkan?

Ada beberapa faktor yang membuat masyarakat di wilayah ini rentan terhadap krisis air:

  1. Geografis: Banyak wilayah pinggiran berada di daerah sulit dijangkau, perbukitan tandus, atau pulau-pulau kecil dengan sumber air tanah yang terbatas.
  2. Infrastruktur Minim: Kurangnya investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur air bersih yang memadai, seperti jaringan pipa, sumur bor permanen, atau penampungan air hujan yang efektif.
  3. Perubahan Iklim: Musim kemarau yang semakin panjang dan ekstrem akibat perubahan iklim global memperparah kondisi.
  4. Ketimpangan Pembangunan: Prioritas pembangunan seringkali terpusat di perkotaan, meninggalkan wilayah pinggiran tanpa perhatian yang cukup.

Sebuah Panggilan untuk Solidaritas dan Aksi Nyata

Krisis air bersih di musim kemarau adalah cerminan dari ketidakadilan yang masih terjadi di negeri ini. Air adalah hak asasi manusia, bukan kemewahan. Jeritan hati masyarakat pinggiran yang tercekik dahaga adalah panggilan bagi kita semua.

Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur air bersih yang berkelanjutan di daerah-daerah rentan, mengimplementasikan kebijakan yang pro-lingkungan untuk konservasi air, dan meningkatkan edukasi tentang pengelolaan air. Masyarakat urban, yang seringkali mengonsumsi air tanpa batas, juga perlu menumbuhkan kesadaran untuk berhemat.

Lebih dari itu, ini adalah tentang solidaritas. Bantuan kemanusiaan saat krisis, program jangka panjang dari organisasi non-pemerintah, dan kepedulian dari setiap individu, semuanya adalah bagian dari solusi. Mari kita jadikan krisis ini sebagai momentum untuk bergerak bersama, memastikan bahwa tidak ada lagi ibu yang harus berjalan jauh di bawah terik matahari, dan tidak ada lagi anak-anak yang harus menahan dahaga, hanya karena mereka lahir di wilayah pinggiran yang terlupakan. Musim kemarau seharusnya tidak lagi berarti musim air mata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *