Berita  

Polisi Bubarkan Aksi Damai Mahasiswa, Kritik Muncul dari Publik

Ketika Aspirasi Dibungkam Paksa: Pembubaran Aksi Damai Mahasiswa Picu Badai Kritik Publik

Langit di atas ibu kota, atau kota-kota besar lainnya, seharusnya menjadi saksi bisu bagi geliat demokrasi yang sehat, di mana suara-suara masyarakat, terutama kaum muda, dapat disalurkan secara bebas dan damai. Namun, beberapa waktu terakhir, kita kembali disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan: pembubaran paksa terhadap aksi demonstrasi mahasiswa yang diklaim berlangsung damai. Insiden ini sontak memicu gelombang kritik pedas dari berbagai elemen publik, mempertanyakan komitmen negara terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk berkumpul.

Kronologi Singkat: Dari Suara Damai Menjadi Kericuhan

Aksi yang dimaksud, digagas oleh aliansi mahasiswa dari berbagai kampus, bertujuan menyuarakan sejumlah isu krusial yang dianggap mendesak untuk ditanggapi pemerintah. Mulai dari kritik terhadap kebijakan ekonomi, isu lingkungan, hingga tuntutan penegakan keadilan sosial, para mahasiswa hadir dengan spanduk-spanduk berisi tuntutan, orasi-orasi berapi-api namun terukur, serta nyanyian-nyanyian perjuangan. Sejak awal, koordinator lapangan berulang kali menekankan komitmen mereka untuk menjaga aksi tetap berjalan damai dan tertib.

Namun, ketenangan itu mendadak pecah. Tanpa peringatan yang memadai atau upaya dialog yang konstruktif, barisan aparat kepolisian bergerak maju. Dalih "gangguan ketertiban umum" atau "tidak adanya izin" kerap menjadi alasan klasik. Dalam hitungan menit, gas air mata, semprotan air dari mobil water cannon, dan bahkan kadang-kadang tindakan fisik, mengubah suasana damai menjadi kericuhan. Mahasiswa yang semula berpegangan tangan menyuarakan aspirasi, kini berlarian menghindari tembakan gas air mata, terbatuk-batuk, dan berupaya menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya bahkan diamankan dan dibawa ke kantor polisi.

Suara Mahasiswa yang Merasa Dibungkam

Bagi para mahasiswa, insiden pembubaran ini adalah pukulan telak terhadap semangat demokrasi. "Kami datang dengan niat baik, membawa kajian, membawa aspirasi rakyat, tapi dibalas dengan kekerasan," ujar seorang mahasiswa yang identitasnya dirahasiakan karena khawatir akan represifitas. "Apakah menyuarakan kebenaran itu sekarang ilegal? Kami hanya ingin didengar, bukan dibungkam!"

Mereka menegaskan bahwa aksi damai adalah hak konstitusional warga negara. Jika ada potensi gangguan, dialog dan mediasi seharusnya menjadi prioritas, bukan langsung menggunakan kekuatan. Tindakan represif semacam ini justru dikhawatirkan akan mematikan semangat kritis dan partisipasi aktif kaum muda dalam pembangunan bangsa.

Badai Kritik dari Publik: Pertanyaan terhadap Demokrasi

Pembubaran aksi damai mahasiswa ini tak ayal memantik badai kritik dari berbagai kalangan. Media sosial memanas dengan tagar-tagar yang menyerukan keadilan dan mengecam tindakan aparat. Akademisi, aktivis hak asasi manusia, tokoh masyarakat, hingga politisi oposisi beramai-ramai menyuarakan keprihatinan.

"Ini adalah kemunduran demokrasi," kata seorang pengamat politik terkemuka. "Ketika negara mulai alergi terhadap kritik, bahkan dari mahasiswa yang beraksi damai, itu pertanda ada yang salah dengan cara kita berdemokrasi."

Kritik utama yang muncul adalah:

  1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Pembubaran paksa terhadap aksi damai dianggap melanggar hak kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dijamin konstitusi dan instrumen HAM internasional.
  2. Represifitas yang Berlebihan: Penggunaan alat pengendali massa seperti gas air mata dan water cannon dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghadapi massa aksi yang tidak anarkis.
  3. Ketiadaan Ruang Dialog: Publik menyayangkan minimnya upaya dialog dan mediasi dari pihak kepolisian sebelum mengambil tindakan pembubaran. Seharusnya, ada upaya persuasif maksimal untuk memahami tuntutan mahasiswa.
  4. Menurunnya Kepercayaan Publik: Insiden semacam ini berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap institusi penegak hukum dan jalannya demokrasi di Indonesia.
  5. Cerminan Anti-Kritik: Beberapa pihak menafsirkan tindakan ini sebagai indikasi pemerintah yang semakin anti-kritik, terutama dari elemen masyarakat sipil.

Mencari Titik Temu: Demokrasi yang Dewasa

Pihak kepolisian sendiri biasanya beralasan bahwa tindakan pembubaran dilakukan sesuai prosedur standar, demi menjaga ketertiban umum dan mencegah potensi anarkisme atau gangguan lalu lintas. Namun, publik menilai bahwa alasan tersebut seringkali tidak sebanding dengan kondisi aksi yang berlangsung.

Insiden pembubaran aksi damai mahasiswa ini bukan sekadar berita sesaat, melainkan cerminan tantangan serius terhadap kualitas demokrasi kita. Penting bagi semua pihak, terutama pemerintah dan aparat keamanan, untuk mengevaluasi ulang pendekatan mereka dalam menghadapi demonstrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang yang luas bagi aspirasi dan kritik, bahkan yang paling keras sekalipun, selama disalurkan melalui cara-cara yang damai.

Pembelajaran dari setiap insiden semacam ini adalah kunci. Dialog, bukan kekerasan, harus menjadi pilihan utama. Menghormati hak-hak warga negara, termasuk hak untuk berunjuk rasa secara damai, adalah fondasi tak tergoyahkan dari sebuah negara yang mengklaim diri sebagai negara demokratis. Jika tidak, suara-suara yang dibungkam hari ini mungkin akan tumbuh menjadi gelombang kekecewaan yang lebih besar di kemudian hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *