Berita  

Sekolah Rusak Tak Kunjung Diperbaiki: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Ketika Bangku Sekolah Lapuk, Masa Depan Bangsa Terancam: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Bayangkan sebuah pagi, di mana lonceng sekolah berdering bukan untuk memanggil siswa ke ruang kelas yang nyaman, melainkan ke bangunan yang atapnya bocor, dindingnya retak, atau bahkan tiang-tiangnya lapuk dimakan usia. Ini bukan skenario fiksi, melainkan realitas pahit yang dihadapi ribuan anak-anak di Indonesia setiap hari. Sekolah yang seharusnya menjadi benteng ilmu, kini justru menjadi ancaman keselamatan. Pertanyaannya kemudian menggema, tak hanya di koridor sekolah yang usang, tetapi juga di benak setiap warga negara yang peduli: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kondisi memprihatinkan ini, dan mengapa perbaikan tak kunjung tiba?

Gambaran Miris Kondisi Lapangan

Dari Sabang sampai Merauke, potret sekolah rusak bukan lagi pemandangan langka. Ada ruang kelas yang nyaris roboh, toilet yang tak layak pakai, bangku dan meja yang patah, hingga fasilitas laboratorium yang hanya tinggal nama. Anak-anak terpaksa belajar di bawah ancaman genteng yang bisa jatuh sewaktu-waktu, atau harus mengungsi saat hujan deras karena kelas mereka terendam. Guru-guru berjuang keras mempertahankan semangat mengajar di tengah keterbatasan yang memilukan. Kondisi ini tak hanya mengganggu proses belajar-mengajar, tetapi juga membahayakan nyawa dan meruntuhkan motivasi siswa untuk meraih pendidikan yang lebih baik.

Akar Masalah yang Kompleks

Masalah sekolah rusak tak bisa disederhanakan hanya pada satu faktor. Ia adalah jalinan kompleks dari berbagai persoalan:

  1. Alokasi Anggaran: Seringkali, anggaran pendidikan terfokus pada program-program besar atau pembangunan fasilitas baru di lokasi strategis, sementara perawatan dan perbaikan infrastruktur lama yang vital justru terabaikan. Bahkan ketika anggaran dialokasikan, jumlahnya seringkali tidak memadai untuk skala kerusakan yang masif.
  2. Birokrasi Berbelit: Proses pengajuan dan pencairan dana perbaikan seringkali memakan waktu lama dan melewati berbagai tahapan birokrasi yang rumit, dari tingkat sekolah, dinas pendidikan daerah, hingga kementerian. Ini menunda perbaikan krusial yang seharusnya segera dilakukan.
  3. Korupsi dan Penyelewengan Dana: Tak bisa dimungkiri, praktik korupsi masih menjadi momok yang menggerogoti dana-dana publik, termasuk yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan dan perbaikan sekolah. Dana yang mestinya sampai ke sekolah, bisa saja menyusut di tengah jalan.
  4. Data yang Tidak Akurat: Kurangnya data yang valid dan terkini mengenai kondisi riil sekolah-sekolah di pelosok membuat prioritas perbaikan seringkali tidak tepat sasaran. Sekolah yang kerusakannya parah bisa jadi luput dari perhatian, sementara yang kerusakannya minor justru didahulukan.
  5. Kurangnya Pengawasan: Setelah dana dialokasikan, pengawasan terhadap proses pengerjaan seringkali lemah, memungkinkan kontraktor bekerja asal-asalan atau menggunakan bahan berkualitas rendah yang tidak tahan lama.
  6. Bencana Alam: Di beberapa daerah, kerusakan sekolah juga diperparah oleh bencana alam seperti gempa bumi, banjir, atau tanah longsor, yang membutuhkan penanganan darurat dan sumber daya yang besar.

Jejak Tanggung Jawab: Siapa Sebenarnya?

Melihat kompleksitas masalah ini, tanggung jawab pun tidak bisa ditimpakan hanya pada satu pihak. Ini adalah beban kolektif yang harus dipikul bersama:

  • Pemerintah Pusat (Kementerian Pendidikan, Kementerian PUPR): Bertanggung jawab merumuskan kebijakan, menyediakan anggaran melalui APBN, dan mengoordinasikan program perbaikan berskala nasional. Mereka adalah pemegang kunci utama dalam memastikan ketersediaan dana dan standar bangunan.
  • Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota): Sebagai pelaksana di lapangan, Dinas Pendidikan dan Dinas Pekerjaan Umum daerah memiliki peran krusial dalam melakukan pendataan, mengajukan proposal perbaikan, mengelola anggaran APBD, dan mengawasi langsung proses renovasi. Mereka adalah pihak yang paling dekat dengan masalah di lapangan.
  • DPR/DPRD: Sebagai wakil rakyat, lembaga legislatif memiliki fungsi pengawasan terhadap penggunaan anggaran dan kinerja pemerintah. Mereka seharusnya aktif menyuarakan kebutuhan perbaikan sekolah di daerah pemilihannya dan memastikan alokasi dana yang tepat.
  • Kepala Sekolah dan Komite Sekolah: Mereka adalah pihak pertama yang mengetahui kondisi riil sekolah. Tanggung jawab mereka adalah melaporkan kerusakan secara jujur dan cepat, serta aktif mencari solusi lokal atau menggalang dukungan dari masyarakat.
  • Masyarakat dan Orang Tua: Sebagai penerima manfaat, masyarakat memiliki peran sebagai pengawas sosial. Mereka berhak menuntut perbaikan, melaporkan kejanggalan, dan bahkan bergotong royong membantu perbaikan minor yang bisa dilakukan secara mandiri.
  • Dunia Usaha (CSR): Perusahaan-perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) juga bisa menjadi mitra strategis dalam perbaikan dan pembangunan sekolah, meringankan beban pemerintah.

Dampak Jangka Panjang yang Mengkhawatirkan

Jika masalah sekolah rusak ini terus dibiarkan, dampaknya akan menjalar jauh ke masa depan bangsa. Kesenjangan pendidikan akan semakin lebar antara mereka yang beruntung memiliki fasilitas layak dan yang tidak. Potensi anak-anak Indonesia tidak akan berkembang optimal, bahkan mungkin terenggut. Ini berarti kualitas sumber daya manusia kita di masa depan akan terancam, menghambat kemajuan dan daya saing bangsa.

Sudah Saatnya Bertindak: Tanggung Jawab Kita Bersama

Masalah sekolah rusak bukan hanya tentang bangunan lapuk, tetapi tentang investasi masa depan. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab kita semua. Transparansi anggaran, pengawasan yang ketat, birokrasi yang efisien, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat adalah kunci.

Mari kita pastikan bahwa setiap anak Indonesia, di mana pun mereka berada, berhak mendapatkan tempat belajar yang aman, layak, dan kondusif. Karena di balik dinding-dinding sekolah yang kokoh dan fasilitas yang memadai, terukir harapan dan cita-cita generasi penerus bangsa. Jika kita membiarkan bangku sekolah lapuk, kita membiarkan masa depan bangsa kita sendiri terancam. Sudah saatnya kita menuntut, bertindak, dan memastikan bahwa pendidikan adalah prioritas utama yang tidak bisa ditawar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *