Algoritma sebagai Wajah Demokrasi Baru: Ketika Kode Menentukan Siapa Kita

Kita seringkali melihat teknologi sebagai entitas netral; sekadar alat, pisau bermata dua yang kegunaannya bergantung pada tangan yang memegangnya. Internet adalah jembatan informasi, AI adalah otak buatan, media sosial adalah forum global. Benarkah demikian? Atau justru di balik layar kilau inovasi dan efisiensi, teknologi telah menjelma menjadi aktor politik yang paling subtil, namun paling berpengaruh di abad ke-21?

Debat yang kerap terlewatkan, namun sejatinya mengguncang fondasi masyarakat kita, bukanlah sekadar soal regulasi atau privasi. Bukan pula hanya tentang dominasi pasar raksasa teknologi. Yang lebih mendalam, dan jauh lebih esensial, adalah pertanyaan: apakah kita, sebagai masyarakat demokratis, secara sadar atau tidak sadar, telah mendelegasikan sebagian besar kemudi politik dan sosial kita kepada algoritma yang tidak akuntabel dan sistem yang tak berwajah?

Bayangkan sejenak. Di era digital ini, siapa yang menentukan informasi apa yang “penting” kita lihat? Algoritma berita. Siapa yang membentuk opini kita tentang suatu isu atau kandidat politik? Algoritma rekomendasi media sosial. Siapa yang mengatur interaksi sosial kita, bahkan cara kita menemukan pasangan hidup atau pekerjaan? Lagi-lagi, algoritma. Ini bukan lagi sekadar alat; ini adalah kurator realitas.

Debat uniknya terletak pada pergeseran kekuasaan yang tak terlihat. Dulu, kita berdebat tentang pengaruh media massa tradisional, tentang peran politisi, atau kekuatan kapital. Kini, ada “siluman tak terlihat” yang punya daya atur lebih besar: jaringan saraf elektronik yang dirancang oleh insinyur-insinyur muda di Silicon Valley, dengan nilai-nilai dan bias yang seringkali tak disadari, bahkan oleh penciptanya sendiri.

Para optimis teknologi akan berargumen bahwa ini adalah evolusi alamiah. Algoritma membawa efisiensi, personalisasi, dan konektivitas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka mengklaim bahwa teknologi hanya merefleksikan pilihan kolektif kita, menyaring kebisingan untuk menyajikan relevansi. Bukankah lebih baik memiliki sistem yang secara otomatis menyesuaikan diri dengan preferensi kita? Bagi mereka, mencoba “mempolitisasi” teknologi adalah kemunduran, intervensi yang menghambat inovasi.

Namun, di sisi lain, ada argumen yang semakin menguat: bahwa desain teknologi adalah politik. Setiap keputusan tentang apa yang diutamakan (engagements, likes, clicks), bagaimana data digunakan, dan bias apa yang diizinkan masuk ke dalam model AI, adalah keputusan politik. Ketika algoritma memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat demi engagement, bukankah itu secara efektif membentuk lanskap politik kita menjadi lebih terpolarisasi? Ketika data pribadi kita digunakan untuk memprediksi perilaku pemilih, bukankah itu mengikis inti dari kebebasan berpendapat dan hak untuk tidak diawasi?

Ini bukan lagi sekadar debat “regulasi vs. inovasi”. Ini adalah pergulatan filosofis tentang siapa yang berhak mendefinisikan realitas dan masa depan kolektif kita. Apakah itu para pembuat kode yang bekerja di balik layar, didorong oleh metrik bisnis dan visi teknokratis mereka? Atau haruskah itu menjadi proses yang transparan, akuntabel, dan tunduk pada kehendak demokratis masyarakat?

Bukankah ironis, di era yang mengagung-agungkan demokrasi dan kebebasan individu, kita secara pasif menyerahkan begitu banyak otonomi kita kepada sistem yang tidak bisa kita pilih, tidak bisa kita ajak bicara, dan seringkali tidak kita pahami sepenuhnya? Ini adalah politik tanpa politikus yang terlihat, kekuasaan tanpa wajah yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Maka, tantangan mendesak kita bukan hanya tentang “mengatur” teknologi, melainkan tentang merebut kembali kendali narasi dan masa depan kita dari tangan algoritma. Ini menuntut lebih dari sekadar undang-undang; ini membutuhkan literasi digital yang mendalam, kesadaran kritis masyarakat, dan kemauan politik untuk memastikan bahwa kompas moral kita, bukan sekadar kode biner, yang memandu arah peradaban kita. Karena pada akhirnya, teknologi adalah cerminan dari pilihan-pilihan kita. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar telah membuat pilihan-pilihan itu secara sadar?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *