Bagaimana Politik Membentuk Ekosistem Media yang Berpihak

Ketika Kekuasaan Berbisik: Bagaimana Politik Mengukir Ekosistem Media yang Berpihak

Dalam lanskap demokrasi yang ideal, media berperan sebagai pilar keempat: pengawas yang netral, penyampai kebenaran, dan jembatan informasi yang tak bias. Namun, realitas seringkali jauh dari cita-cita itu. Politik tidak hanya sekadar memengaruhi; ia adalah pematung ulung yang membentuk lanskap media, menciptakan ekosistem yang seringkali berpihak, kadang terang-terangan, kadang terselubung, dan selalu penuh dinamika kepentingan.

Mari kita selami bagaimana bisikan kekuasaan ini mengukir cetakan di wajah media kita.

1. Tangan Tak Terlihat di Balik Kepemilikan dan Modal
Di balik layar setiap berita, seringkali ada tangan-tangan kekuasaan yang tak terlihat. Kepemilikan media, baik langsung maupun tidak langsung, oleh politisi atau konglomerat yang terafiliasi politik, adalah jalur paling langsung untuk menginjeksikan narasi tertentu. Ketika sebuah stasiun TV, surat kabar, atau portal berita dimiliki oleh individu yang memiliki ambisi politik atau terkait erat dengan partai tertentu, netralitas akan menjadi korban pertama.

Modal juga berperan sebagai kompas. Dana iklan dari pemerintah atau perusahaan yang dekat dengan penguasa, investasi strategis, atau bahkan pinjaman bank yang difasilitasi, dapat menjadi tali pengikat yang memaksa redaksi untuk "menjaga perasaan" penguasa. Keberlanjutan finansial seringkali menjadi taruhan, dan demi menjaga dapur tetap ngebul, idealisme jurnalistik bisa jadi harus berkompromi.

2. Legislasi dan Regulasi: Pedang Bermata Dua
Pemerintah memiliki kekuatan untuk menciptakan atau mengubah undang-undang dan regulasi yang mengatur media. Dari perizinan penyiaran, alokasi frekuensi, hingga aturan tentang kepemilikan silang, setiap kebijakan bisa menjadi instrumen untuk membatasi atau menguntungkan pihak tertentu. Regulasi yang ketat dapat digunakan untuk membungkam media kritis, sementara regulasi yang longgar dapat membuka pintu bagi konsolidasi kekuasaan media di tangan segelintir elite.

Di banyak negara, media milik negara (state media) adalah contoh paling gamblang dari ekosistem media yang berpihak. Dibiayai oleh pajak rakyat, namun seringkali berfungsi sebagai corong propaganda pemerintah, bukan sebagai pelayan publik yang independen.

3. Akses dan Propaganda: Senjata Narasi
Politik membentuk media melalui kontrol akses terhadap informasi dan narasi. Pejabat pemerintah bisa memilih media mana yang diberi akses eksklusif untuk wawancara, konferensi pers, atau kebocoran informasi "penting." Media yang patuh akan diberi hadiah akses, sementara yang kritis akan dihukum dengan isolasi atau bahkan boikot informasi.

Lebih jauh lagi, era digital telah melahirkan "seni" propaganda modern. Tim komunikasi politik bekerja keras untuk membentuk narasi yang menguntungkan, menyebarkan disinformasi atau misinformasi melalui akun-akun anonim, influencer, hingga jaringan berita bayangan di media sosial. Media arus utama pun, kadang tanpa sadar, ikut terseret dalam pusaran narasi yang telah dirancang ini.

4. Jurnalisme di Bawah Tekanan: Dilema Etika dan Karier
Pada tingkat individual, jurnalis dan editor juga tidak kebal dari tekanan politik. Tekanan datang dari atas (pemilik, manajemen), dari luar (ancaman hukum, kampanye fitnah), atau bahkan dari dalam diri (ketakutan akan kehilangan pekerjaan atau prospek karier). Ini bisa berujung pada praktik swasensor, di mana jurnalis memilih untuk tidak meliput isu sensitif atau mengurangi intensitas kritik demi keamanan pribadi atau institusi mereka.

Loyalitas kepada "garis redaksi" yang berpihak bisa menjadi jaminan karier, sementara independensi yang gigih bisa berujung pada pemecatan atau marginalisasi. Dilema etika ini adalah medan perang internal yang terus-menerus bagi banyak pekerja media.

5. Ekosistem Media yang Terfragmentasi dan Terpolarisasi
Konsekuensi dari semua dinamika di atas adalah terbentuknya ekosistem media yang terfragmentasi dan sangat terpolarisasi. Audiens cenderung mencari media yang mengonfirmasi pandangan mereka sendiri (confirmation bias), menciptakan "ruang gema" (echo chamber) di mana mereka jarang terpapar pada sudut pandang yang berbeda.

Hal ini pada gilirannya memperdalam jurang pemisah dalam masyarakat, mempersulit dialog konstruktif, dan membuat pencarian kebenaran objektif menjadi labirin yang membingungkan. Berita tidak lagi menjadi jembatan pemahaman, melainkan benteng bagi identitas politik.

Kesimpulan: Tanggung Jawab Kolektif

Ekosistem media yang berpihak adalah cerminan dari pertarungan kekuasaan yang tak pernah usai. Politik, dengan segala intrik dan ambisinya, akan terus berbisik, mencoba mengukir lanskap informasi sesuai kehendaknya.

Maka, tugas kita sebagai konsumen media bukan hanya membaca, mendengar, atau menonton, melainkan juga menimbang, mempertanyakan, dan mencari kebenaran dari berbagai sudut. Menuntut akuntabilitas dari media, mendukung jurnalisme independen, dan mengembangkan literasi media yang kuat adalah benteng terakhir kita. Hanya dengan begitu, kita bisa berharap untuk mendekatkan kembali media pada perannya yang sejati: penerang yang jujur dalam kegelapan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *