Bagaimana Politik Mempengaruhi Perencanaan Wilayah dan Tata Kota

Kota Bukan Sekadar Bata dan Beton: Ketika Politik Mengukir Wajah Perencanaan Wilayah

Bayangkan sebuah kota. Bukan sekadar kumpulan peta, angka demografi, atau gambar 3D yang muluk-muluk. Bayangkan kota sebagai sebuah kanvas raksasa, atau mungkin lebih tepatnya, sebuah patung hidup yang terus diukir, dibentuk, dan kadang-kadang dirombak. Siapa pemahatnya? Arsitek? Perencana kota? Idealnya, ya. Tapi realitinya, tangan-tangan tak terlihat politiklah yang seringkali memegang pahat paling tajam.

Mengapa sebuah jalan tiba-tiba melebar, menggusur deretan toko kecil yang telah puluhan tahun berdiri? Mengapa kawasan hijau yang subur tiba-tiba berganti menjadi pusat perbelanjaan megah? Atau sebaliknya, mengapa sebuah proyek transportasi publik yang sudah direncanakan matang selama bertahun-tahun tiba-tiba mandek di tengah jalan, hanya untuk digantikan ide yang sama sekali baru oleh pemimpin selanjutnya? Jawabannya seringkali tak tertera di buku teks perencanaan kota, melainkan tersembunyi di balik lobi-lobi kekuasaan, janji-janji kampanye, dan pertarungan kepentingan.

Visi Politik: Kompas yang Berubah Arah

Setiap walikota, gubernur, atau bahkan presiden, datang dengan "visi" untuk wilayahnya. Visi ini bukan sekadar mimpi di siang bolong; ia adalah kompas politik yang akan memandu alokasi anggaran, pembuatan regulasi, dan tentu saja, perencanaan wilayah. Seorang pemimpin yang berjanji mewujudkan "kota hijau" akan mendorong pembangunan taman kota, jalur sepeda, dan pembatasan kendaraan. Sebaliknya, pemimpin yang fokus pada pertumbuhan ekonomi mungkin akan memprioritaskan kawasan industri, pusat bisnis, dan infrastruktur penunjang komersial.

Masalahnya, visi ini bisa berganti seiring pergantian rezim. Apa yang dipandang sebagai prioritas utama oleh satu pemerintahan, bisa jadi diabaikan, atau bahkan dihentikan total, oleh pemerintahan berikutnya. Kota pun menjadi semacam kelinci percobaan, diombang-ambingkan antara satu proyek mercusuar ke proyek lainnya, tanpa ada benang merah yang kuat untuk jangka panjang. Ini bukan hanya tentang estetika, tapi filosofi hidup sebuah kota – apakah ia ingin menjadi ramah pejalan kaki, atau surga bagi kendaraan pribadi? Jawaban itu, sayangnya, seringkali lebih politis daripada teknis.

Lobi dan Kepentingan: Medan Pertempuran di Atas Peta

Di balik setiap keputusan perencanaan, ada intrik kekuasaan. Lobi-lobi dari pengembang properti raksasa, asosiasi pengusaha, hingga kelompok masyarakat adat, semuanya ingin agar kepentingan mereka terakomodasi di dalam rencana tata ruang. Siapa yang mendapat izin untuk membangun di lokasi strategis? Siapa yang berhasil mempertahankan lahannya dari proyek infrastruktur? Ini bukan hanya tentang legalitas, tapi tentang siapa yang punya koneksi, siapa yang bisa bernegosiasi paling alot, dan siapa yang punya sumber daya untuk "mengamankan" posisinya.

Peraturan daerah tentang tata ruang, yang seharusnya menjadi pedoman objektif, tak jarang lahir dari meja-meja diskusi politik yang alot, di mana tawar-menawar kepentingan berlangsung sengit. Sebuah revisi tata ruang yang "mendadak" muncul, yang mengubah status lahan pertanian menjadi kawasan komersial, bisa jadi bukan karena kajian ilmiah, melainkan hasil dari tekanan politik dan ekonomi. Kota, pada akhirnya, mencerminkan kekuatan dan kelemahan kelompok-kelompok yang berkuasa di dalamnya.

Siklus Politik vs. Perencanaan Jangka Panjang

Salah satu musuh utama perencanaan wilayah yang berkelanjutan adalah siklus politik. Perencanaan kota yang ideal membutuhkan pandangan puluhan tahun ke depan, bahkan seabad. Namun, masa jabatan politisi hanyalah lima tahun, atau paling lama sepuluh tahun. Ada godaan besar untuk memulai proyek-proyek yang "terlihat" dan "cepat jadi" agar bisa menjadi klaim keberhasilan di akhir masa jabatan, atau sebagai modal kampanye untuk periode selanjutnya.

Akibatnya, proyek-proyek jangka panjang yang krusial namun tidak memberikan hasil instan (seperti sistem drainase kota yang komprehensif atau revitalisasi sungai) seringkali terpinggirkan. Sebuah proyek transportasi publik yang memakan waktu belasan tahun untuk rampung bisa mangkrak di tengah jalan karena pemimpin baru memiliki prioritas yang berbeda, atau bahkan ingin memulai proyeknya sendiri agar bisa "mengukir" namanya. Kota menjadi korban dari ambisi personal dan rentang waktu politik yang sempit.

Suara Rakyat: Antara Partisipasi dan Formalitas

Bagaimana dengan suara rakyat? Partisipasi publik, yang idealnya menjadi pilar utama dalam perencanaan kota demokratis, tak jarang hanya menjadi formalitas. Forum-forum dengar pendapat diselenggarakan, kotak saran disediakan, namun apakah masukan dari warga benar-benar didengar dan diimplementasikan? Atau, apakah ia hanya menjadi stempel legitimasi untuk keputusan yang sudah ditetapkan secara politik?

Kelompok-kelompok rentan, seperti warga permukiman padat atau komunitas adat, seringkali menjadi pihak yang paling terdampak oleh keputusan perencanaan politis. Suara mereka mudah tenggelam di tengah hiruk-pikuk lobi kepentingan yang lebih besar dan terorganisir. Sebuah taman kota yang indah bisa jadi dibangun di atas lahan yang dulunya adalah permukiman warga, dengan dalih "demi kepentingan umum," namun tanpa proses konsultasi yang adil dan ganti rugi yang layak.

Epilog: Membangun Kota yang Lebih Jujur

Politik bukanlah sekadar "bumbu" dalam perencanaan wilayah; ia adalah adonan utamanya. Setiap jengkal tanah, setiap bangunan, setiap ruang publik adalah narasi politik yang terukir, mencerminkan nilai-nilai, prioritas, dan kadang-kadang, kompromi dari mereka yang memegang kekuasaan.

Maka, penting bagi kita, sebagai penghuni kota, untuk tidak hanya memahami cetak biru fisik kota kita, tetapi juga cetak biru politik di baliknya. Dengan memahami bagaimana politik mempengaruhi perencanaan, kita bisa menjadi warga yang lebih kritis, lebih terlibat, dan menuntut akuntabilitas dari para pemahat kota kita. Karena pada akhirnya, kota yang jujur dan adil adalah cerminan dari politik yang jujur dan adil pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *