Ketika Banjir Tahunan Menjelma Jadi Momok Kronis Perkotaan: Sebuah Krisis yang Tak Lagi Bisa Diterima
Bau lumpur, genangan air setinggi pinggang, lalu lintas lumpuh, dan wajah-wajah lelah yang pasrah. Pemandangan ini bukan lagi kejadian luar biasa, melainkan sebuah rutinitas menyakitkan yang berulang setiap musim hujan di banyak kota besar. Banjir, yang dulu mungkin dianggap sebagai bencana sesaat, kini telah bermutasi menjadi masalah kronis, menggerogoti sendi-sendi kehidupan perkotaan dan menuntut perhatian serius yang tak bisa lagi ditunda.
Dari Bencana Alam Menjadi Krisis Urban Buatan Manusia
Kita seringkali menyalahkan "alam" atau "curah hujan ekstrem" sebagai penyebab utama banjir. Namun, di balik narasi tersebut, tersembunyi sebuah kebenaran pahit: sebagian besar banjir perkotaan saat ini adalah hasil akumulasi kebijakan, pembangunan, dan kebiasaan manusia yang keliru. Ini bukan lagi sekadar fenomena alam, melainkan sebuah krisis urban yang diperparah oleh tangan kita sendiri.
Akar Masalah yang Mengendap: Mengapa Kota Kita Terus Tenggelam?
- Urbanisasi Brutal dan Hilangnya Lahan Resapan: Ekspansi kota yang tak terkendali mengubah lahan hijau dan area resapan air menjadi hamparan beton dan aspal. Air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah, kini tak punya pilihan selain mengalir di permukaan, mencari jalur terendah, dan akhirnya menumpuk di jalanan atau permukiman.
- Infrastruktur Drainase yang Usang dan Tak Memadai: Sistem drainase di banyak kota dirancang puluhan tahun lalu, dengan asumsi jumlah penduduk dan curah hujan yang jauh berbeda. Kini, dengan pertumbuhan kota yang pesat dan intensitas hujan yang meningkat akibat perubahan iklim, saluran-saluran air tersebut tak mampu lagi menampung volume air yang membludak.
- Sampah: Musuh Bebuyutan Drainase Kota: Kebiasaan membuang sampah sembarangan ke sungai atau selokan adalah salah satu kontributor terbesar. Tumpukan sampah menyumbat aliran air, menciptakan bendungan-bendungan kecil yang memaksa air meluap dan menggenangi area sekitarnya.
- Tata Ruang yang Mengabaikan Kontur Alam: Pembangunan di daerah dataran rendah, bantaran sungai, atau bahkan bekas rawa-rawa tanpa perencanaan mitigasi yang tepat, secara inheren menciptakan zona-zona rawan banjir. Kurangnya penegakan aturan tata ruang memperparah kondisi ini.
- Perubahan Iklim dan Curah Hujan Ekstrem: Tak bisa dipungkiri, perubahan iklim global membawa dampak berupa anomali cuaca, termasuk curah hujan yang lebih intens dalam waktu singkat. Kota-kota yang sudah rentan menjadi semakin rentan terhadap fenomena ini.
- Penurunan Muka Tanah (Subsidence): Di beberapa kota pesisir, ekstraksi air tanah berlebihan menyebabkan penurunan muka tanah, membuat kota semakin "tenggelam" di bawah permukaan laut dan lebih rentan terhadap rob (banjir pasang air laut) dan genangan air hujan.
Dampak Berantai: Bukan Hanya Sekadar Basah
Dampak banjir kronis jauh melampaui kerugian materiil. Ia menciptakan spiral masalah yang kompleks:
- Kerugian Ekonomi Fantastis: Kelumpuhan aktivitas bisnis, kerusakan properti pribadi dan fasilitas publik, serta biaya pemulihan yang masif, menyebabkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun.
- Krisis Kesehatan Masyarakat: Air banjir membawa penyakit menular seperti diare, leptospirosis, dan demam berdarah. Sanitasi yang buruk pasca-banjir juga menjadi ancaman serius.
- Trauma Psikologis: Warga yang berulang kali menjadi korban banjir mengalami stres, kecemasan, bahkan trauma yang berkepanjangan. Rasa aman di rumah sendiri menjadi barang mewah.
- Penurunan Kualitas Lingkungan: Pencemaran air dan tanah oleh limbah banjir merusak ekosistem perkotaan dan kualitas hidup.
- Gangguan Mobilitas dan Produktivitas: Kemacetan parah, rusaknya infrastruktur jalan, dan gangguan transportasi publik menghambat aktivitas sehari-hari dan menurunkan produktivitas kota.
Mencari Solusi Komprehensif: Dari Reaktif Menjadi Proaktif
Menghadapi momok kronis ini, pendekatan parsial tidak lagi cukup. Diperlukan strategi komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan:
- Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure): Membangun lebih banyak taman kota, kolam retensi, biopori, dan atap hijau untuk memaksimalkan penyerapan air hujan ke dalam tanah.
- Pengelolaan Air Terpadu: Menerapkan sistem pengelolaan air hujan yang canggih, termasuk pemeliharaan rutin saluran drainase, normalisasi sungai, dan pembangunan polder atau tanggul yang kuat.
- Tata Ruang Berkelanjutan dan Penegakan Hukum: Menghentikan pembangunan di area rawan banjir, merevisi rencana tata ruang, dan menegakkan aturan dengan tegas terhadap pelanggaran.
- Pengelolaan Sampah yang Efektif: Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah, meningkatkan fasilitas daur ulang, dan memperketat sanksi bagi pembuang sampah sembarangan.
- Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan Bencana: Mengembangkan sistem deteksi dan peringatan dini yang akurat, serta melatih masyarakat untuk lebih siap menghadapi banjir.
- Edukasi dan Partisipasi Masyarakat: Meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga lingkungan dan berkontribusi dalam upaya mitigasi banjir.
Banjir tahunan bukanlah takdir yang harus diterima begitu saja. Ini adalah tantangan yang menuntut transformasi mental dan struktural dari kita semua. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, serta komitmen jangka panjang untuk perubahan, kota-kota kita bisa bangkit dari genangan dan membangun masa depan yang lebih tangguh, aman, dan layak huni. Sudah saatnya kita mengubah narasi dari "pasrah terhadap banjir" menjadi "kota yang berdaya melawan banjir."




