Dampak Politik Terhadap Penegakan HAM di Negara Berkembang

Ketika Politik Mengunci Keadilan: Dilema Penegakan HAM di Negara Berkembang

Di panggung global yang serba paradoks, Hak Asasi Manusia (HAM) seringkali dipandang sebagai kompas moral universal, penunjuk arah bagi setiap negara menuju peradaban yang lebih adil dan bermartabat. Namun, di negeri-negeri berkembang, utamanya yang masih bergulat dengan transisi politik, ekonomi yang rapuh, dan warisan sejarah yang bergejolak, kompas ini seringkali dihadapkan pada medan magnet kekuasaan yang menyesatkan. Di sinilah politik tidak sekadar memengaruhi, melainkan kerap menyandera penegakan HAM, menciptakan simfoni sumbang antara janji konstitusi dan realitas di lapangan.

Narasi Indah, Realitas Pahit: Antara Dokumen dan Implementasi

Banyak negara berkembang telah meratifikasi berbagai konvensi HAM internasional dan memasukkan jaminan HAM ke dalam konstitusi mereka. Ini adalah langkah maju yang esensial. Namun, yang membedakan mereka dari negara maju bukan hanya pada teks hukum, melainkan pada kemauan politik dan kapasitas institusional untuk menerjemahkan teks tersebut menjadi keadilan yang nyata. Di sinilah letak jurang menganga.

Seringkali, elit politik di negara berkembang menggunakan retorika HAM sebagai tameng atau alat legitimasi di hadapan komunitas internasional. Mereka bicara tentang "demokrasi," "supremasi hukum," dan "perlindungan minoritas" di forum-forum PBB, namun di dalam negeri, praktik yang terjadi justru sebaliknya. Penegakan HAM menjadi sangat selektif, bergantung pada siapa yang berkuasa dan siapa yang dianggap sebagai ancaman.

HAM sebagai Alat Tawar-Menawar dan Konsolidasi Kekuasaan

Dampak politik terhadap HAM di negara berkembang tidak selalu berbentuk penindasan brutal secara terang-terangan (meskipun itu juga sering terjadi). Yang lebih halus dan berbahaya adalah instrumentalisasi HAM. Hak asasi bisa dijadikan alat tawar-menawar politik:

  1. Stabilitas vs. Kebebasan: Atas nama "stabilitas nasional" atau "pembangunan ekonomi," kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berorganisasi seringkali dibatasi. Protes damai dibubarkan, aktivis dicap sebagai anti-pembangunan atau bahkan pengkhianat. Pemerintah mengklaim tindakan represif diperlukan untuk menjaga ketertiban, padahal tujuannya adalah membungkam kritik.
  2. Keadilan yang Dipolitisasi: Lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir HAM, seringkali tidak independen. Hakim dan jaksa bisa menjadi sasaran intervensi politik, baik melalui ancaman, iming-iming jabatan, atau bahkan pemakzulan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan aparat negara atau elit politik cenderung mandek, sementara kasus-kasus kecil rakyat biasa diselesaikan dengan cepat.
  3. Polarisasi Identitas: Politik identitas yang memecah belah masyarakat juga sering digunakan untuk mengikis HAM kelompok minoritas. Ketika suara mayoritas dimobilisasi atas dasar etnis, agama, atau ideologi tertentu, hak-hak kelompok yang berbeda – mulai dari kebebasan beragama, hak atas tanah adat, hingga hak untuk hidup damai – bisa dengan mudah diabaikan, bahkan dilegitimasi secara politik.

"Lingkaran Setan" Impunitas dan Kepercayaan Publik

Ketika politik menyandera penegakan HAM, ia menciptakan "lingkaran setan" impunitas. Pelaku pelanggaran HAM, terutama yang memiliki koneksi politik, jarang dihukum setimpal. Ini tidak hanya melukai korban, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap negara dan sistem hukum. Masyarakat menjadi apatis, bahkan sinis, terhadap konsep HAM itu sendiri. Mereka merasa tidak ada gunanya memperjuangkan hak-hak jika pada akhirnya kekuasaanlah yang menentukan keadilan.

Selain itu, lembaga-lembaga pengawas HAM seperti komnas HAM atau ombudsman, meskipun ada, seringkali kekurangan gigi atau anggaran, atau bahkan diisi oleh figur-figur yang loyal pada kekuasaan, bukan pada prinsip HAM. Ini membuat mekanisme pengaduan dan pemulihan bagi korban menjadi macet.

Jalan ke Depan: Bukan Sekadar Reformasi Hukum

Menyelesaikan dilema ini di negara berkembang bukan sekadar urusan merevisi undang-undang atau meratifikasi konvensi baru. Ini adalah perjuangan panjang yang menuntut:

  • Pendidikan Kewarganegaraan yang Kuat: Membangun kesadaran HAM dari akar rumput, agar masyarakat tidak hanya tahu hak mereka, tetapi juga berani menuntutnya dan memahami bahwa hak asasi adalah milik semua, tanpa pandang bulu.
  • Membangun Institusi yang Independen: Memperkuat independensi yudikatif, lembaga anti-korupsi, dan lembaga pengawas HAM dari intervensi politik. Ini berarti perlindungan yang nyata bagi mereka yang bekerja di institusi tersebut.
  • Peran Masyarakat Sipil yang Aktif: Organisasi masyarakat sipil, aktivis, dan jurnalis investigatif adalah penjaga terakhir HAM. Ruang gerak mereka harus dilindungi dan diperluas, bukan dipersempit.
  • Tekanan Internasional yang Konsisten dan Berimbang: Komunitas internasional memiliki peran penting, namun harus peka terhadap konteks lokal dan menghindari standar ganda yang justru memperkeruh keadaan.

Penegakan HAM di negara berkembang adalah cermin peradaban dan ujian moralitas politik. Selama kekuasaan masih melihat HAM sebagai ancaman ketimbang fondasi legitimasi, selama keadilan masih bisa dikunci oleh intrik politik, maka martabat manusia di negeri-negeri ini akan terus menjadi sandera. Ini adalah sebuah perjalanan yang tak mengenal kata henti, demi martabat manusia yang seutuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *