Senyapnya Luka: Menguak Akar Sosial Budaya Kekerasan Anak di Rumah
Rumah seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak. Namun, bagi sebagian, ia justru menjadi arena luka. Kekerasan anak bukanlah sekadar masalah individu, melainkan cerminan kompleks dari faktor sosial budaya yang berakar dalam masyarakat kita. Menguak akar ini adalah langkah pertama untuk memutus rantai penderitaan.
Berikut adalah beberapa faktor sosial budaya yang signifikan:
-
Pola Asuh Tradisional & Normalisasi Kekerasan Fisik:
Banyak masyarakat masih menganggap kekerasan fisik, seperti pukulan atau cubitan, sebagai metode disiplin yang wajar dan efektif. Frasa seperti "dipukul biar kapok" atau "keras demi kebaikan anak" menormalisasi tindakan yang sejatinya melukai dan merusak perkembangan psikologis anak, menciptakan anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari pengasuhan. -
Tekanan Ekonomi & Kemiskinan:
Lingkungan dengan tekanan ekonomi dan kemiskinan seringkali menciptakan stres dan frustrasi tinggi pada orang tua. Keterbatasan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan fasilitas dasar dapat memperburuk kondisi mental orang tua, membuat mereka lebih rentan melampiaskan emosi negatif, termasuk kekerasan, kepada anak-anak sebagai pihak yang paling rentan dan tidak berdaya. -
Norma Gender Patriarkal & Ketidaksetaraan Kekuasaan:
Norma gender yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dengan otoritas absolut seringkali disalahartikan sebagai hak untuk mendominasi dan bahkan melakukan kekerasan. Posisi perempuan dan anak yang subordinat dalam struktur patriarkal membuat mereka semakin rentan, tanpa adanya mekanisme perlindungan atau suara yang kuat untuk menolak kekerasan. -
Minimnya Kesadaran dan Budaya Bungkam:
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak anak, dampak negatif kekerasan, dan pentingnya pola asuh positif memperparah situasi. Kekerasan sering dianggap sebagai "urusan internal keluarga" yang tabu dibicarakan atau dilaporkan. Budaya bungkam dan stigma sosial terhadap korban maupun pelaku menciptakan lingkungan di mana kekerasan terus berulang tanpa intervensi.
Mengurai benang kusut kekerasan anak di rumah memerlukan lebih dari sekadar penanganan kasus per kasus. Ini menuntut perubahan mendasar pada cara pandang dan nilai-nilai sosial budaya kita. Edukasi, peningkatan kesadaran akan hak anak, dan keberanian untuk menantang norma-norma usang adalah kunci untuk menciptakan rumah yang benar-benar menjadi tempat aman, bukan lagi arena luka.











