Ketika Debat Publik Tak Lagi Berdasar Substansi, Tapi Saling Sindir

Ketika Mimbar Debat Berubah Jadi Panggung Komedi Tunggal: Menggali Kuburan Substansi dengan Saling Sindir yang Viral

Pernahkah Anda duduk terpaku di depan layar, menanti sebuah debat publik yang dijanjikan akan menjadi arena adu gagasan? Mungkin Anda membayangkan geliat sengit argumen, rentetan data dan fakta, serta benturan ide dan visi yang akan memperkaya pemahaman Anda. Namun, kini, seringkali yang tersaji adalah tontonan yang jauh panggang dari api: sebuah panggung di mana substansi terpinggirkan, digantikan oleh riuhnya tepuk tangan atas sindiran-sindiran tajam, ejekan halus, atau bahkan serangan personal yang dibalut humor getir.

Kita sedang menyaksikan sebuah pergeseran dramatis dalam lanskap debat publik. Dari yang seharusnya menjadi "panggung gulat gagasan" yang sehat, kini ia lebih mirip "panggung komedi tunggal" dengan genre sarkasme. Para peserta debat, alih-alih mempersenjatai diri dengan data valid dan argumen kokoh, justru terlihat lebih piawai dalam merangkai kalimat-kalimat sindiran yang cerdas, melontarkan lelucon yang menusuk, atau menciptakan "mic drop moment" yang akan langsung viral di media sosial.

Mengapa Kita Sampai di Titik Ini?

Fenomena ini bukan terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor yang turut berkontribusi:

  1. Kecanduan Virality dan Soundbite: Algoritma media sosial adalah sutradara tak terlihat yang membentuk selera publik. Pernyataan yang provokatif, sindiran yang "pedas", atau respons yang cepat dan berani jauh lebih mudah viral daripada analisis kebijakan yang mendalam dan bertele-tele. Peserta debat pun sadar, satu kalimat sindiran tajam bisa jadi lebih diingat daripada seribu data yang disampaikan.
  2. Rentang Perhatian yang Kian Pendek: Di era informasi yang membanjiri, kita terbiasa mengonsumsi konten dalam potongan-potongan kecil. Debat yang memerlukan konsentrasi penuh untuk memahami alur argumen seringkali terasa membosankan. Sindiran dan drama menjadi bumbu penyedap yang instan untuk mempertahankan perhatian audiens.
  3. Politik Identitas dan Polarisasi: Ketika garis-garis ideologi semakin tajam dan sentimen kelompok lebih kuat dari objektivitas, debat seringkali berubah menjadi ajang pembelaan identitas dan penyerangan kelompok lawan. Substansi pun jadi korban, karena fokusnya beralih dari "apa yang benar" menjadi "siapa yang menang" atau "siapa yang bisa mempermalukan lawan".
  4. Ketiadaan Persiapan yang Matang: Jujur saja, merangkai sindiran yang cerdas kadang terasa lebih mudah daripada menguasai detail-detail kebijakan yang kompleks. Ketika persiapan materi minim, jalan pintas untuk "memenangkan" perdebatan adalah dengan mengalihkan fokus ke hal-hal personal atau menyerang argumen lawan secara dangkal dengan humor atau sarkasme.

Korban Tak Kasat Mata: Substansi dan Kepercayaan Publik

Dampak dari pergeseran ini jauh lebih serius daripada sekadar hiburan semata. Korban utamanya adalah substansi itu sendiri. Masalah-masalah krusial seperti ekonomi, lingkungan, pendidikan, atau kesehatan yang seharusnya dibedah tuntas, kini hanya menjadi latar belakang bagi pertunjukan sarkasme. Solusi konkret dan terukur lenyap di balik fatamorgana "kemenangan" retoris.

Lebih jauh lagi, fenomena ini mengikis kepercayaan publik. Ketika debat hanya diisi oleh saling sindir, masyarakat akan menjadi sinis terhadap proses demokrasi itu sendiri. Mereka akan melihat politikus dan tokoh publik sebagai badut yang hanya mencari sensasi, bukan pemimpin yang serius memikirkan masa depan. Pembodohan massal pun tak terhindarkan, karena alih-alih tercerahkan, publik justru disuguhkan tontonan yang mengaburkan esensi.

Mencari Jalan Kembali: Sebuah Refleksi untuk Kita Semua

Lantas, apakah kita rela masa depan bangsa diputuskan berdasarkan siapa yang paling jago melontarkan sindiran pedas atau siapa yang paling banyak menghasilkan "konten" viral? Tentu tidak.

Mengembalikan debat publik ke khittah-nya sebagai arena pencerahan adalah tanggung jawab bersama. Para peserta debat harus berani keluar dari zona nyaman sindiran dan kembali menggali data, merumuskan gagasan, dan menawarkan solusi. Media massa punya peran vital untuk tidak hanya mengejar klik dari kutipan-kutipan sensasional, melainkan juga menyoroti kedalaman argumen dan kualitas substansi.

Dan yang terpenting, kitalah, sebagai penonton dan warga negara, yang memegang kendali. Mari tuntut kembali debat yang berbobot. Mari apresiasi mereka yang berbicara dengan data dan fakta, bukan sekadar kata-kata manis atau sindiran pahit. Mari berhenti merayakan ejekan dan mulai menghargai pencerahan. Sebab, pada akhirnya, masa depan yang lebih baik tidak akan dibangun di atas tawa hambar dari sindiran, melainkan di atas fondasi kokoh dari gagasan-gagasan yang substansial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *