Kampanye dan Kebisuan HAM: Sebuah Ironi di Panggung Demokrasi
Panggung politik, dengan segala hiruk pikuknya, seringkali mirip sebuah sirkus modern. Ada sorotan lampu yang memekakkan, janji-janji yang mengawang di udara seperti kembang api, dan retorika yang dirangkai sedemikian rupa untuk membius massa. Namun, di tengah gemuruh itu, ada satu suara yang kerap kali meredup, bahkan lenyap ditelan hiruk pikuk: suara hak asasi manusia.
Ini bukan sekadar tentang pelanggaran HAM klasik yang sudah menjadi isu lapuk, melainkan tentang bagaimana kampanye politik masa kini – bahkan di negara-negara yang mengklaim diri demokratis – memilih untuk mengabaikan, atau setidaknya meminggirkan, dimensi HAM yang lebih halus, lebih kompleks, dan seringkali, lebih tidak "seksi" untuk dieksploitasi dalam meraih suara.
Mengapa HAM Menjadi Anak Tiri Kampanye?
Ada beberapa alasan mengapa isu HAM seringkali menjadi anak tiri dalam strategi kampanye:
-
Pragmatisme Elektoral Jangka Pendek: Isu ekonomi (lapangan kerja, harga bahan pokok), infrastruktur (jalan tol, jembatan), atau bahkan isu identitas (agama, suku) dianggap lebih "menggigit" dan lebih mudah dikuantifikasi dampaknya bagi pemilih. HAM, di sisi lain, sering dianggap abstrak, idealis, atau bahkan "berat" dan memecah belah. Mengapa harus mengangkat isu yang berpotensi memancing perdebatan panjang dan tidak menghasilkan tepuk tangan instan?
-
Ketakutan Menyinggung Basis Suara: Mengangkat isu hak-hak minoritas, keadilan restoratif untuk pelanggaran masa lalu, atau reformasi kepolisian yang lebih humanis, bisa jadi menyinggung kelompok-kelompok tertentu yang merupakan basis suara penting. Daripada mengambil risiko, lebih baik diam atau mengambangkan isu.
-
Definisi HAM yang Terbatas: Banyak kampanye hanya memahami HAM dalam konteasi yang paling sempit: melarang penyiksaan atau pembunuhan semena-mena. Padahal, HAM jauh lebih luas: hak atas lingkungan hidup yang bersih, hak atas privasi data di era digital, hak atas identitas bagi komunitas adat atau minoritas, hak atas kesehatan mental yang layak, atau bahkan hak atas akses informasi yang adil. Isu-isu ini, yang sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari, seringkali absen dari diskursus kampanye.
Ketika "Unik" Berarti Terabaikan
Mari kita lihat beberapa isu HAM yang unik dan krusial, namun nyaris tak tersentuh di panggung kampanye:
- Hak Atas Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan: Bukan sekadar janji hijau, tapi pengakuan bahwa kerusakan lingkungan adalah pelanggaran HAM bagi generasi mendatang. Kampanye jarang membahas bagaimana proyek-proyek pembangunan masif yang mereka janjikan akan menghormati hak masyarakat adat atas tanah ulayat, atau hak warga kota atas udara bersih di tengah ekspansi industri.
- Hak Atas Keadilan Digital dan Privasi Data: Di era yang serba terkoneksi, data pribadi kita adalah komoditas berharga. Kampanye jarang sekali menawarkan visi konkret tentang perlindungan data warga dari penyalahgunaan oleh negara atau korporasi, atau bagaimana menjamin keadilan algoritma agar tidak diskriminatif. Padahal, ini adalah fondasi HAM di abad ke-21.
- Hak Atas Memori dan Keadilan Restoratif: Di banyak negara, ada "luka sejarah" pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas. Kampanye cenderung menghindarinya, takut membuka kotak pandora yang sensitif. Padahal, tanpa keadilan restoratif dan pengakuan akan kebenaran, siklus impunitas bisa terus berlanjut, mengikis fondasi moral bangsa.
- Hak Atas Kesehatan Mental yang Komprehensif: Isu kesehatan mental seringkali dianggap tabu atau dipandang sebelah mata. Kampanye jarang menyentuh bagaimana negara akan menjamin akses layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas, bukan hanya sebagai bagian dari kesehatan fisik, tetapi sebagai hak asasi yang fundamental.
Konsekuensi dari Kebisuan HAM
Ketika kampanye politik mengabaikan isu HAM, konsekuensinya jauh melampaui sekadar retorika kosong:
- Erosi Fondasi Demokrasi: Demokrasi tanpa fondasi HAM adalah bangunan megah di atas pasir. Jika pemimpin terpilih tidak memiliki komitmen kuat terhadap martabat setiap individu, maka kekuasaan bisa dengan mudah disalahgunakan.
- Legitimasi Ketidakadilan: Kebisuan kampanye terhadap isu HAM secara tidak langsung melegitimasi praktik-praktik yang tidak adil atau diskriminatif. Pesan yang tersampaikan adalah: isu ini tidak penting, atau masalah ini bisa diabaikan.
- Menciptakan "Warga Negara Kelas Dua": Ketika hak-hak kelompok marginal tidak diangkat dalam kampanye, mereka secara efektif ditepikan dari narasi kebangsaan, seolah-olah keberadaan dan penderitaan mereka tidak signifikan bagi masa depan negara.
- Menunda Bom Waktu Sosial: Isu-isu HAM yang diabaikan tidak akan hilang begitu saja. Mereka akan menumpuk, menjadi bibit-bibit ketidakpuasan, konflik, dan ketidakstabilan di masa depan.
Pada akhirnya, kampanye politik yang mengabaikan isu hak asasi manusia adalah cermin dari visi kepemimpinan yang sempit. Ia hanya melihat pada angka-angka ekonomi dan infrastruktur fisik, tetapi gagal melihat pada martabat dan kesejahteraan manusia sebagai fondasi utama sebuah bangsa yang beradab. Mungkin, inilah saatnya kita sebagai pemilih menuntut lebih: bukan hanya janji-janji manis tentang kemakmuran, tetapi juga komitmen tulus terhadap setiap napas keadilan dan martabat yang seharusnya dimiliki setiap insan di bawah langit demokrasi ini.











