Ketika Kebijakan Publik Hanya Berdasar Citra, Bukan Data

Ketika Kebijakan Publik Hanya Berdasar Citra, Bukan Data: Sebuah Jalan Buntu Menuju Kemajuan Sejati

Di tengah riuhnya informasi dan kecepatan respons yang dituntut zaman, godaan untuk mengambil jalan pintas dalam perumusan kebijakan publik seringkali tak tertahankan. Gemerlap citra, janji-janji manis di layar kaca, atau sambutan hangat di media sosial, acap kali menjadi kompas yang lebih menarik ketimbang tumpukan data, analisis rumit, atau kajian mendalam yang "membosankan". Namun, benarkah citra itu mampu menjadi pondasi kokoh bagi kemajuan sebuah bangsa? Atau justru, ia adalah ilusi yang menyeret kita ke jalan buntu?

Kita semua familiar dengan skenario ini: sebuah masalah muncul, entah itu kemacetan, kemiskinan, atau kerusakan lingkungan. Alih-alih melakukan diagnosis mendalam berbasis bukti, pemerintah atau pemangku kebijakan terburu-buru meluncurkan program atau proyek yang, pada pandangan pertama, terlihat "solutif" dan "populer". Tujuannya jelas: mendulang simpati, menampilkan kesan sigap, dan memperkuat citra positif di mata publik. Media sosial dipenuhi unggahan, baliho terpampang megah, dan narasi keberhasilan digaungkan di mana-mana. Sayangnya, di balik kilauan citra itu, substansi seringkali absen.

Godaan Citra dan Politik Instan

Mengapa fenomena ini begitu merajalela? Pertama, siklus politik yang pendek dan tekanan untuk segera menunjukkan hasil. Pemimpin politik seringkali memiliki masa jabatan terbatas dan ingin meninggalkan "warisan" yang terlihat nyata. Data dan analisis membutuhkan waktu, kesabaran, dan seringkali menghasilkan rekomendasi yang tidak populer atau membutuhkan investasi jangka panjang. Membangun citra jauh lebih cepat dan lebih mudah untuk dikonsumsi publik, terutama di era media sosial yang menuntut gratifikasi instan.

Kedua, ada kecenderungan untuk mempolitisasi masalah sosial. Ketika sebuah isu menjadi "panas" di mata publik, respons yang diambil cenderung didasarkan pada kalkulasi politik daripada efektivitas nyata. Kebijakan yang "terlihat baik" seringkali lebih diutamakan daripada kebijakan yang "bekerja dengan baik". Ini menciptakan lingkaran setan: masalah tidak terpecahkan, tapi citra pemimpin tetap terjaga, setidaknya untuk sementara.

Dampak Buruk yang Tak Terlihat di Layar Kaca

Konsekuensi dari kebijakan berbasis citra ini tidak main-main. Ibarat membangun rumah di atas pasir hisap, fondasinya rapuh dan rentan ambruk kapan saja.

  1. Pemborosan Anggaran yang Fantastis: Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk solusi fundamental, justru habis untuk proyek mercusuar atau program populis yang tidak berkelanjutan. Infrastruktur megah mungkin dibangun, tapi akses dasar seperti air bersih atau listrik di daerah terpencil masih terabaikan.
  2. Solusi Tambal Sulam dan Masalah yang Berakar: Kebijakan yang hanya menyentuh permukaan tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah. Contohnya, program bantuan sosial yang tidak disertai dengan pemberdayaan ekonomi atau pendidikan yang memadai, hanya akan menciptakan ketergantungan dan tidak memutus rantai kemiskinan secara permanen.
  3. Erosi Kepercayaan Publik: Awalnya publik mungkin terpukau, namun seiring waktu, ketika janji tidak terpenuhi dan masalah tak kunjung usai, kepercayaan akan terkikis. Masyarakat menjadi apatis, skeptis, dan akhirnya, sinis terhadap setiap inisiatif pemerintah.
  4. Ketidakadilan dan Disparitas: Kebijakan berbasis citra cenderung mengutamakan daerah atau kelompok yang paling terlihat atau paling vokal, mengabaikan mereka yang suaranya kurang terdengar namun kebutuhannya sangat mendesak. Ini memperlebar jurang kesenjangan sosial.
  5. Keputusan Buruk Berulang: Tanpa data dan evaluasi yang jujur, kesalahan yang sama akan terus terulang. Tidak ada pembelajaran, tidak ada perbaikan, hanya siklus kebijakan yang terlihat baru tapi esensinya sama-sama rapuh.

Data: Kompas yang Sering Terabaikan

Data, di sisi lain, adalah kompas yang menuntun kita melewati badai ketidakpastian. Ia menawarkan objektivitas, memungkinkan kita memahami masalah secara komprehensif, mengidentifikasi akar penyebab, mengukur dampak, dan merancang intervensi yang tepat sasaran. Data tidak berbohong—ia mungkin mengungkapkan kebenaran yang tidak menyenangkan, yang menuntut keputusan sulit, atau yang tidak populer. Namun, justru dari kebenasan inilah kebijakan yang efektif dan berkelanjutan dapat lahir.

Mengapa data sering diabaikan? Karena ia menuntut kesabaran, keahlian, dan yang terpenting, keberanian untuk menghadapi realitas. Data bisa menunjukkan bahwa ide populer itu tidak efektif, atau bahwa solusi yang paling efisien justru membutuhkan pengorbanan politik jangka pendek. Memilih data berarti memilih substansi di atas penampilan, efektivitas di atas popularitas.

Jalan Keluar: Kembali ke Akar Permasalahan

Untuk keluar dari jalan buntu ini, kita perlu perubahan paradigma yang fundamental:

  1. Mengutamakan Bukti (Evidence-Based Policy): Setiap kebijakan harus dimulai dengan pertanyaan: "Apa datanya?" dan "Apa bukti ilmiah yang mendukung ini?" Bukan "Apa yang akan terlihat baik?"
  2. Meningkatkan Kapasitas Analisis: Pemerintah perlu berinvestasi dalam sumber daya manusia dan teknologi untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data secara efektif. Libatkan akademisi, peneliti, dan ahli di berbagai bidang.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas: Publik berhak tahu dasar pengambilan kebijakan. Data dan analisis yang mendasari keputusan harus terbuka dan dapat diakses, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi dan memberikan masukan berbasis fakta.
  4. Edukasi Publik: Masyarakat juga perlu dididik untuk menjadi konsumen informasi yang kritis, mampu membedakan antara janji kosong dan solusi substantif, serta menuntut akuntabilitas berdasarkan data, bukan sekadar retorika.
  5. Kepemimpinan Berani: Dibutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan data, sekalipun itu tidak populer dalam jangka pendek, demi kebaikan jangka panjang bangsa.

Pada akhirnya, citra adalah fatamorgana di gurun kebijakan. Ia mungkin tampak menjanjikan dari jauh, namun mendekat hanya akan menemukan kekosongan. Kemajuan sejati sebuah bangsa tidak dibangun di atas citra, melainkan di atas fondasi kokoh data, analisis, dan keberanian untuk menghadapi kebenaran. Sudah saatnya kita menuntut lebih dari sekadar penampilan, dan kembali kepada esensi: kebijakan yang benar-benar bekerja untuk rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *