Ketika Lembaga Negara Tak Netral dalam Isu Politik Nasional

Ketika Lembaga Negara Tak Lagi Wasit: Menelusuri Goyahnya Pilar Demokrasi dalam Pusaran Politik Nasional

Dalam setiap pertandingan, entah itu sepak bola di lapangan hijau atau kontestasi politik di gelanggang demokrasi, keberadaan seorang wasit yang netral adalah mutlak. Ia adalah mata keadilan, penegak aturan, penentu sah atau tidaknya sebuah gol, dan penjaga marwah permainan itu sendiri. Bayangkan jika wasit tiba-tiba mengenakan jersey salah satu tim, atau keputusannya selalu menguntungkan satu pihak. Kekacauan, rasa tidak adil, dan hilangnya kepercayaan akan langsung mendera seluruh arena.

Analogi ini, sayangnya, kian relevan dengan dinamika politik di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Lembaga-lembaga negara, yang seharusnya bertindak sebagai "wasit" yang independen dan netral—penjaga konstitusi, penegak hukum, penyelenggara pemilihan, hingga aparatur sipil negara—terkadang terlihat lepas topeng netralitasnya. Mereka tergelincir, entah karena tekanan, godaan kekuasaan, atau bahkan inisiatif sendiri, ke dalam pusaran kepentingan politik praktis.

Topeng yang Terlepas, Kepercayaan yang Tergerus

Ketika lembaga negara, yang seharusnya menjadi jangkar stabilitas dan kompas moral, mulai menunjukkan keberpihakan, dampaknya sungguh destruktif. Bukan hanya sekadar "sedikit bias," melainkan menggerogoti fondasi demokrasi itu sendiri.

  1. Erosi Kepercayaan Publik: Ini adalah kerugian paling fundamental. Bagaimana mungkin rakyat percaya pada hukum jika penegaknya terkesan tebang pilih? Bagaimana bisa percaya pada hasil pemilihan jika penyelenggaranya dicurigai condong pada satu calon? Kepercayaan yang rapuh ini melahirkan sinisme massal, apatisme, dan pada gilirannya, rasa frustrasi yang bisa meledak kapan saja.

  2. Hukum sebagai Alat Politik: Netralitas adalah roh penegakan hukum. Tanpa itu, hukum bisa menjadi senjata tajam yang selektif. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ia bisa digunakan untuk membungkam kritik, menjegal lawan politik, atau melindungi kawan. Prinsip "equality before the law" hanya akan menjadi jargon kosong di buku-buku teks.

  3. Matinya Oposisi dan Kritik: Lembaga negara yang tidak netral seringkali menjadi alat untuk menekan suara-suara sumbang. Kritik dianggap makar, perbedaan pandangan dilabeli sebagai subversif. Ruang demokrasi menyempit, dan pluralisme yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa justru terancam punah.

  4. Polarisasi yang Semakin Dalam: Keberpihakan lembaga negara memperparah perpecahan di masyarakat. Ketika ada kesan bahwa "kekuasaan berpihak," maka kubu yang merasa dirugikan akan semakin militan, dan kubu yang diuntungkan merasa legitimasi mereka tak tergoyahkan. Jurang di antara keduanya kian lebar, sulit untuk dijembatani.

  5. Demokrasi Sekadar Cangkang: Pada akhirnya, jika lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga tegaknya demokrasi justru ikut bermain, maka demokrasi itu sendiri hanya akan menjadi cangkang tanpa isi. Prosedur pemilihan mungkin tetap berjalan, parlemen tetap bersidang, tapi roh keadilan, akuntabilitas, dan partisipasi publik telah lama mati.

Mengapa Ini Terjadi?

Fenomena ini bukanlah hal baru, namun kian mengkhawatirkan. Beberapa faktor penyebabnya antara lain:

  • Intervensi Politik: Penunjukan pejabat di lembaga-lembaga strategis yang didasari pada kedekatan politik, bukan meritokrasi dan integritas.
  • Kelemahan Sistem: Sistem pengawasan dan mekanisme check and balances yang belum cukup kuat untuk menangkal intervensi kekuasaan.
  • Korupsi dan Nepotisme: Godaan materi dan jaringan kekerabatan yang meruntuhkan independensi dan integritas personal para pejabat.
  • Ancaman dan Tekanan: Ketakutan akan kehilangan jabatan, sanksi, atau bahkan ancaman yang lebih serius bagi mereka yang berani melawan arus kekuasaan.

Jalan Pulang Menuju Netralitas

Mengembalikan lembaga negara ke fitrahnya sebagai wasit yang netral adalah tugas kolektif yang mendesak. Ini membutuhkan lebih dari sekadar retorika.

Pertama, penguatan integritas individu di dalam lembaga tersebut. Pejabat publik harus menginternalisasi sumpah jabatan dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Kedua, reformasi sistemik dalam proses rekrutmen dan promosi, memastikan bahwa hanya mereka yang memiliki kapabilitas dan integritas tanpa cela yang mengisi posisi-posisi krusial.

Ketiga, penguatan pengawasan dari parlemen, lembaga independen, dan yang terpenting, dari masyarakat sipil. Suara kritis adalah vitamin bagi demokrasi.

Keempat, penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran netralitas, tanpa pandang bulu. Ini akan mengirim pesan jelas bahwa keberpihakan memiliki konsekuensi.

Masa depan demokrasi kita dipertaruhkan. Jika wasit sudah ikut bermain, maka pertandingan tidak lagi adil. Dan jika keadilan telah pergi, apa lagi yang tersisa dari sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi kedaulatan rakyat? Ini bukan hanya soal politik, ini soal marwah sebuah bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *