Ketika Politik Dijadikan Komoditas Hiburan oleh Media Arus Utama

Ketika Senayan Menjelma Panggung Sirkus: Politik, Media, dan Candu Drama Kita

Dulu, ruang-ruang diskusi politik adalah mimbar kebijaksanaan, tempat argumen rasional saling beradu demi kemaslahatan publik. Kini? Jangan kaget jika Anda merasa lebih seperti sedang menonton episode terbaru sebuah reality show dengan rating tinggi, atau mungkin sebuah pertandingan gulat profesional yang telah diatur. Dari layar kaca hingga linimasa media sosial, politik telah bermetamorfosis menjadi komoditas hiburan paling laris, dan media arus utama adalah promotor utamanya.

Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana, dan sekaligus kompleks: perhatian adalah mata uang paling berharga di era digital. Dalam lautan informasi yang tak berujung, media arus utama tak lagi hanya bersaing dalam kecepatan atau akurasi berita, melainkan juga dalam kemampuan mereka untuk ‘mengunci’ mata dan telinga audiens. Dan apa yang lebih efektif dalam memikat perhatian selain drama, konflik, dan karakter-karakter yang kontroversial?

Sirkus Politik: Bukan Sekadar Berita, tapi Narasi Hiburan

Bayangkan seorang politikus yang sedang berpidato tentang reformasi ekonomi yang rumit. Detailnya mungkin penting, tapi sulit dicerna. Kini, bayangkan politikus yang sama terlibat adu mulut sengit dengan rivalnya, dengan gestur dramatis dan kalimat-kalimat pedas yang quotable. Mana yang lebih mungkin menjadi headline utama, trending topic, dan bahan obrolan di warung kopi? Jawabannya jelas.

Media arus utama, dengan segala sumber daya produksinya, tak hanya melaporkan kejadian; mereka membingkai dan memproduksi narasi. Konflik internal partai disajikan bak drama perselingkuhan keluarga kerajaan. Debat kebijakan disulap menjadi "perang argumen" layaknya kompetisi debat selebriti. Gaf (kesalahan kecil) seorang pejabat bisa diulang-ulang, dianalisis ekspresi wajahnya, dan diberi bumbu spekulasi hingga menjadi skandal yang mengalahkan urgensi isu-isu makro. Politikus bukan lagi sekadar wakil rakyat; mereka adalah "karakter" dengan alur cerita, villain, hero, dan anti-hero yang bisa dicintai atau dibenci.

Kecanduan Drama dan Degradasi Substansi

Dampak dari fenomena ini sungguh mengkhawatirkan. Pertama, kita sebagai audiens, tanpa sadar, mulai mengonsumsi politik bukan untuk mencari informasi atau pencerahan, melainkan untuk sensasi. Kita mencari "koktail emosi" – kemarahan, tawa, keterkejutan, atau kepuasan melihat "musuh" politik kita terpojok. Kita menjadi kecanduan drama, dan media dengan sigap menyediakannya.

Kedua, substansi politik tergerus. Isu-isu kebijakan yang kompleks, yang memerlukan pemahaman mendalam dan diskusi yang serius, seringkali disederhanakan, bahkan diabaikan, demi menyajikan intrik atau kontroversi. Ketika yang utama adalah "siapa menyerang siapa" atau "siapa membuat blunder apa," ruang untuk pembahasan visi, misi, dan dampak kebijakan menjadi sempit. Para politikus pun tak luput dari insentif ini; mereka belajar bahwa "penampilan" dan kemampuan menciptakan "momen viral" kadang lebih berharga daripada kinerja legislatif yang cemerlang.

Ketiga, polarisasi diperparah. Dalam sebuah reality show, audiens didorong untuk memilih kubu, untuk menjadi "fans" atau "haters." Politik yang dihidangkan sebagai hiburan mendorong pembentukan identitas kelompok yang kuat, seringkali didasari emosi dan kesetiaan buta, bukan pada prinsip atau ideologi. Perdebatan berubah menjadi pertunjukan loyalitas, di mana argumen rasional seringkali tak berdaya menghadapi gemuruh sorak-sorai pendukung.

Menuntut Lebih dari Sekadar Tontonan

Tentu, politik selalu punya elemen drama. Interaksi manusia, perebutan kekuasaan, dan pengambilan keputusan besar tak pernah luput dari intrik. Namun, ada perbedaan besar antara drama yang muncul secara organik dari proses politik dan drama yang diproduksi dan digenjot demi rating dan klik.

Kita, sebagai konsumen informasi, punya peran penting. Kita harus mulai menuntut lebih dari sekadar tontonan. Kita perlu belajar membedakan antara informasi yang mencerahkan dan hiburan yang melenakan. Mencari sumber berita yang kredibel, yang fokus pada analisis mendalam dan bukan sekadar sensasi. Mempertanyakan framing media. Dan yang terpenting, kembali melihat politik sebagai sebuah ranah serius yang membentuk masa depan kita, bukan sekadar arena pertunjukan yang menghibur di kala senggang.

Jika tidak, kita akan terus terperangkap dalam sirkus yang kita sendiri ikut membiayainya, sementara roda-roda kebijakan yang sebenarnya menentukan nasib bangsa berputar di balik layar, jauh dari sorotan kamera dan gemuruh tepuk tangan. Dan itu, sungguh, bukan akhir cerita yang kita inginkan untuk demokrasi kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *