Ketika Politik Mempolitisasi Agama demi Kepentingan Kekuasaan

Ketika Mimbar Suci Diubah Menjadi Podium Kampanye: Refleksi Politik Mempolitisasi Agama

Agama, dalam esensinya yang paling murni, adalah menara suar moral, kompas etika, dan sumber kedamaian batin. Ia menawarkan narasi transenden yang mengangkat jiwa, mempersatukan komunitas, dan membimbing manusia menuju kebajikan. Namun, di arena politik yang seringkali keruh, suci ini kerapkali ditarik paksa ke medan pertempuran, diubah dari lentera penerang menjadi senjata pamungkas demi genggaman kekuasaan. Ini bukan fenomena baru, namun manifestasinya kian canggih dan mengkhawatirkan di era digital ini.

Bukanlah agama itu sendiri yang bermasalah, melainkan tangan-tangan kekuasaan yang lihai melihatnya sebagai alat. Politisi, dengan naluri mereka yang tajam terhadap sentimen massa, menyadari bahwa tak ada kekuatan pendorong yang lebih dahsyat dari iman. Agama menggerakkan hati, bukan sekadar logika. Ia menyentuh identitas terdalam, mengukir batasan antara "kita" dan "mereka" dengan tinta yang tak mudah luntur. Maka, godaan untuk meminjam jubah moralitas agama, atau bahkan merampasnya, demi legitimasi politik menjadi terlalu kuat untuk diabaikan.

Mekanisme Penjinakan yang Halus hingga Kasar:

Bagaimana politik mempolitisasi agama? Prosesnya seringkali dimulai dengan langkah-langkah yang tampak sepele, namun berujung pada erosi otentisitas iman:

  1. Penyederhanaan dan Pemelintiran Teks Suci: Ayat-ayat suci yang seharusnya menjadi penuntun moral universal, tiba-tiba dipersempit maknanya, dipenggal dari konteksnya, atau ditafsirkan ulang untuk membenarkan agenda politik tertentu. Seruan untuk keadilan sosial bisa diubah menjadi legitimasi untuk menyingkirkan kelompok tertentu, atau janji-janji surgawi digunakan untuk membius akal kritis massa agar patuh pada pemimpin tertentu.

  2. Penciptaan Musuh dan Polarisasi: Politik kotor seringkali thrives di atas perpecahan. Dengan mempolitisasi agama, narasi "kami" yang beriman melawan "mereka" yang sesat, "kami" yang menjaga moralitas melawan "mereka" yang merusak, dapat dengan mudah dibangun. Garis-garis demarkasi keagamaan tiba-tiba menjadi garis depan pertempuran politik, mengubah perbedaan pandangan menjadi permusuhan abadi yang mengancam kohesi sosial.

  3. Kooptasi Figur dan Lembaga Keagamaan: Tokoh agama yang mulia, yang seharusnya berdiri di atas politik demi menjaga kemurnian ajaran, mendadak menjadi juru kampanye, penasihat khusus, atau bahkan calon dari partai politik tertentu. Mimbar-mimbar suci, yang seharusnya menggemakan pesan ketuhanan, terkadang berubah menjadi podium kampanye yang menggaungkan narasi politik. Lembaga-lembaga keagamaan yang seharusnya independen, tak jarang terjerat dalam jaringan kepentingan politik, kehilangan kemampuan kritis dan profetiknya.

  4. Ekspresi Identitas Keagamaan sebagai Identitas Politik: Bagi sebagian besar orang, agama adalah bagian tak terpisahkan dari identitas. Ketika politik berhasil menyuntikkan agenda-agendanya ke dalam ekspresi identitas keagamaan ini, maka memilih pemimpin politik bukan lagi soal program kerja, rekam jejak, atau visi, melainkan soal "iman" dan "kesetiaan pada agama". Kritik terhadap politisi dianggap sebagai kritik terhadap agama itu sendiri, dan dukungan buta menjadi wajar karena sang politisi telah diatributkan sebagai "pembela iman".

Dampak yang Menganga:

Ketika politik mempolitisasi agama, bukan hanya kekuasaan yang dipertaruhkan, tetapi juga integritas agama dan tenun sosial kita.

  • Erosi Otentisitas Iman: Keimanan yang seharusnya bersemi dari hati yang tulus, tiba-tiba terkontaminasi oleh kepentingan duniawi. Agama kehilangan daya pikat spiritualnya, menjadi sekadar identitas formal yang bisa digunakan dan dibuang sesuai kebutuhan politik. Orang menjadi sinis, atau bahkan menjauh dari praktik keagamaan, karena melihat betapa kotornya ia diperalat.

  • Perpecahan Sosial yang Menganga: Masyarakat yang sebelumnya hidup rukun, mendadak terpecah belah karena perbedaan pilihan politik yang diselubungi jubah agama. Tetangga saling curiga, keluarga terpecah, dan jembatan dialog runtuh digantikan oleh tembok-tembok prasangka. Luka-luka akibat perpecahan ini jauh lebih dalam dan sulit disembuhkan dibandingkan luka politik biasa.

  • Sinisime terhadap Agama dan Politik: Ketika janji-janji ilahiah dicampuradukkan dengan manuver kekuasaan, publik mulai kehilangan kepercayaan pada keduanya. Agama dianggap munafik, dan politik dilihat sebagai arena tanpa moral. Ini menciptakan kekosongan moral yang berbahaya, di mana nilai-nilai luhur menjadi kabur dan integritas sulit ditemukan.

Ironisnya, ketika agama diperalat, esensinya justru terkikis. Ia kehilangan kemampuannya untuk menyatukan, menghibur, dan menginspirasi. Ia menjadi cangkang kosong yang diisi dengan kebencian dan ambisi duniawi.

Mungkin sudah saatnya kita mengembalikan agama ke singgasananya yang mulia, sebagai penuntun moral yang independen, bukan sebagai pedang untuk menyerang lawan politik. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat memiliki literasi politik dan keagamaan yang kuat, mampu membedakan mana seruan iman yang tulus dan mana manuver kekuasaan yang berkedok agama. Hanya dengan kesadaran kolektif ini, kita bisa berharap agama kembali menjadi obor yang menerangi jalan kemanusiaan, bukan bara api yang membakar perpecahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *