Ketika Proyek Strategis Nasional Menjadi Alat Politik Pencitraan

Ketika Proyek Strategis Nasional Menjadi Panggung Sandiwara: Dari Cita-Cita Luhur ke Festival Pencitraan

Indonesia, dengan segala gegap gempita pembangunannya, selalu memiliki narasi agung tentang proyek-proyek raksasa. Dari bendungan yang menahan laju sungai, jalan tol yang membelah pulau, hingga pelabuhan yang menghubungkan nusantara, Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah manifestasi ambisi sebuah bangsa. Ia adalah simbol kemajuan, janji kesejahteraan, dan bukti nyata tangan dingin pemimpin dalam merajut mimpi-mimpi kolektif. Namun, di balik megahnya beton dan aspal, terselip sebuah ironi yang renyah sekaligus getir: ketika mercusuar pembangunan ini bertransformasi menjadi panggung megah bagi festival pencitraan politik.

Bukan rahasia lagi bahwa setiap capaian besar adalah magnet bagi sorotan. Dan dalam lanskap politik yang serba visual dan serba cepat, PSN seringkali tak hanya dipandang sebagai infrastruktur fisik, melainkan juga sebagai infrastruktur politik. Ia menjadi latar belakang sempurna untuk narsis politik, sebuah kanvas kosong yang siap diisi dengan janji manis, senyum paling diplomatis, dan tentu saja, pose terbaik di depan spanduk raksasa bertuliskan nama proyek dan, tak jarang, wajah sang penguasa.

Pikirkan saja ritual peresmian. Deretan pejabat berjas rapi, gunting emas berkilat memotong pita merah, pidato panjang lebar yang mengagungkan visi dan kerja keras, disusul tepuk tangan meriah yang entah tulus atau sekadar formalitas. Kamera jurnalis berkedip tanpa henti, menangkap setiap momen yang berpotensi menjadi headline atau, lebih krusial lagi, konten viral di linimasa digital. Ini bukan lagi sekadar seremonial, ini adalah sebuah produksi teater berskala nasional, di mana setiap aktor – dari menteri hingga kepala daerah – berebut sorotan sebagai "Bapak Pembangunan" modern.

Yang unik, fenomena ini melampaui sekat ideologi atau generasi. Dari pemimpin yang mengusung narasi "kerja, kerja, kerja" hingga mereka yang lebih fokus pada "revolusi mental," godaan untuk mengklaim keberhasilan PSN sebagai trofi personal adalah universal. Menjelang kontestasi politik, intensitas "blusukan mendadak" ke lokasi proyek meningkat drastis. Sebuah jembatan yang belum sepenuhnya rampung pun bisa menjadi latar belakang yang sah untuk berinteraksi dengan "rakyat kecil," seolah-olah keringat yang menetes di sana adalah juga keringat politik sang calon.

Namun, di sinilah letak ironinya yang paling dalam. Ketika PSN disulap menjadi alat kampanye, fokus bergeser dari kualitas pembangunan dan dampak jangka panjangnya, menjadi seberapa besar buzz politik yang bisa dihasilkan. Kualitas bisa jadi korban, efisiensi bisa terabaikan, dan yang paling berbahaya, kepercayaan publik bisa terkikis. Rakyat, yang sejatinya adalah penerima manfaat utama, tak jarang hanya menjadi penonton setia sandiwara ini, kadang dengan sedikit rasa sinis, kadang dengan harapan yang digantungkan pada setiap janji yang terucap.

Maka, PSN yang seharusnya menjadi pilar kokoh kemajuan bangsa, berisiko hanya menjadi panggung rapuh bagi ego politik. Yang tadinya merupakan manifestasi semangat gotong royong dan visi besar, bergeser menjadi ajang balap karung pencitraan, di mana setiap pemimpin ingin menjadi yang terdepan dalam meresmikan, memamerkan, dan mengklaim.

Ini adalah sebuah paradoks abadi: pembangunan adalah kebutuhan mutlak, namun politik adalah realitas yang tak terhindarkan. Pertanyaannya bukan apakah PSN akan digunakan untuk pencitraan, melainkan bagaimana kita sebagai bangsa bisa memastikan bahwa di balik gemerlap panggung dan sorotan kamera, esensi sejati dari PSN – yakni kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa – tetap menjadi prioritas utama. Sebab, ketika panggung sandiwara usai, dan tepuk tangan mereda, yang tersisa hanyalah beton dan aspal. Semoga ia benar-benar kokoh, bukan hanya polesan permukaan yang rapuh oleh ambisi politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *