Menakar Efektivitas Sistem Check and Balance dalam Demokrasi Indonesia

Menakar Efektivitas Sistem Check and Balance dalam Demokrasi Indonesia: Jangkar atau Sekadar Hiasan?

Demokrasi kita, Indonesia, seringkali terasa seperti sebuah bangunan megah yang terus direnovasi. Fondasinya kuat – semangat reformasi dan amanat konstitusi – namun dinding-dindingnya kadang retak, jendelanya buram, dan atapnya sesekali bocor. Di antara segala arsitektur politik yang rumit itu, ada satu konsep yang selalu menjadi primadona dalam setiap diskusi tata negara: check and balance. Sebuah mekanisme yang dirancang untuk mencegah konsentrasi kekuasaan, memastikan tidak ada satu lembaga pun yang berjalan tanpa pengawasan. Pertanyaannya, dalam konteks Indonesia yang unik ini, apakah check and balance kita berfungsi sebagai jangkar yang kokoh atau sekadar hiasan indah di dinding?

Ketika Teori Beradu dengan Realita Lapangan

Secara teori, check and balance adalah sistem yang elegan. Lembaga legislatif (DPR, DPD) mengawasi eksekutif (Presiden dan jajarannya), eksekutif menjalankan pemerintahan sesuai undang-undang yang dibuat legislatif, dan yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi) menjaga agar semua berjalan di koridor hukum dan konstitusi. Di Indonesia, mekanisme ini diperkaya dengan keberadaan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, realitas di lapangan jauh lebih dinamis dan, jujur saja, seringkali membingungkan. Indonesia adalah negara dengan sejarah panjang pasang surut demokrasi, di mana semangat gotong royong dan musyawarah bisa beriringan dengan pragmatisme politik yang keras.

Sisi Terang: Ketika Jangkar Berfungsi

Tidak adil jika kita mengatakan check and balance di Indonesia lumpuh total. Ada momen-momen krusial di mana mekanisme ini menunjukkan taringnya:

  1. Palunya Mahkamah Konstitusi: MK seringkali menjadi benteng terakhir ketika undang-undang produk DPR dan pemerintah dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Putusan judicial review yang membatalkan atau mengubah pasal-pasal tertentu telah berkali-kali menyelamatkan hak-hak konstitusional warga negara, menjadi bukti nyata bahwa ada kekuatan yang bisa mengoreksi legislasi.
  2. Geliat Pengawasan Legislatif (meski jarang): Hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang dimiliki DPR, meskipun jarang digunakan secara maksimal, tetap menjadi potensi ancaman bagi eksekutif. Ketika kasus-kasus besar mencuat, desakan publik melalui wakil rakyat terkadang mampu memicu penyelidikan lebih lanjut atau setidaknya memunculkan akuntabilitas.
  3. KPK, Sang Penjelajah Gua Gelap Korupsi: Meskipun belakangan diterpa berbagai isu pelemahan, keberadaan KPK sejak awal telah menjadi simbol check and balance yang paling agresif dan ditakuti. Mereka berani menjerat pejabat tinggi dari berbagai cabang kekuasaan, menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal hukum. Ini adalah bukti bahwa ada entitas yang dirancang khusus untuk mengganggu kenyamanan mereka yang mencoba menyalahgunakan kekuasaan.
  4. Desakan Publik dan Media: Di luar lembaga formal, kekuatan masyarakat sipil dan media massa adalah check and balance informal yang tak kalah penting. Melalui investigasi, opini, dan aksi massa, mereka seringkali menjadi mata dan telinga publik yang mendorong akuntabilitas dan menuntut keadilan.

Sisi Gelap: Ketika Hiasan Tampak Rapuh

Di sisi lain, ada banyak celah dan tantangan yang membuat efektivitas check and balance di Indonesia seringkali dipertanyakan:

  1. Dominasi Eksekutif dan Oligarki: Sistem presidensial yang kuat, ditambah dengan koalisi partai politik yang gemuk di parlemen, seringkali membuat DPR kehilangan daya kritisnya. Kepentingan politik jangka pendek dan deal-deal di balik layar bisa melumpuhkan fungsi pengawasan legislatif, menjadikannya sekadar "stempel" kebijakan pemerintah. Di balik itu, bayangan oligarki ekonomi dan politik seringkali menarik tali-tali kekuasaan, membuat check and balance formal tak berdaya di hadapan kekuatan uang dan pengaruh.
  2. Pelemahan Lembaga Pengawas: Kasus pelemahan KPK adalah contoh paling nyata bagaimana lembaga yang seharusnya menjadi pengawas justru bisa dilemahkan dari dalam atau luar. Intervensi politik, perubahan undang-undang yang kontroversial, hingga upaya kriminalisasi seringkali menjadi strategi untuk mengebiri kekuatan lembaga independen.
  3. Independensi Yudikatif yang Teruji: Meskipun MK dan MA telah menunjukkan taringnya, isu korupsi dan intervensi politik masih menjadi momok yang mengancam independensi peradilan. Ketika hakim bisa diintervensi atau disuap, maka benteng terakhir keadilan pun akan runtuh.
  4. Kualitas Sumber Daya Manusia: Efektivitas check and balance juga sangat bergantung pada integritas dan kapasitas para pelakunya. Anggota parlemen yang tidak kompeten atau berintegritas rendah, birokrat yang korup, hingga hakim yang tidak profesional, semuanya berkontribusi pada mandeknya sistem ini.

Kesimpulan: Sebuah Orkestra yang Tak Pernah Berhenti Berlatih

Menakar efektivitas check and balance di Indonesia adalah seperti mengamati sebuah orkestra yang tak pernah berhenti berlatih. Ada saat-saat di mana semua instrumen bermain selaras, menciptakan harmoni yang indah dan kuat. Namun, tak jarang pula terdengar nada sumbang, ritme yang kacau, atau bahkan ada instrumen yang sengaja dimatikan.

Sistem check and balance di Indonesia bukanlah konsep statis yang sempurna atau cacat total. Ia adalah entitas hidup yang terus berinteraksi dengan dinamika politik, sosial, dan budaya bangsa. Ia adalah jangkar yang kadang goyah diterpa badai, namun masih mencoba menahan kapal demokrasi kita dari karam. Pada saat yang sama, ia juga bisa menjadi sekadar hiasan jika para aktornya kehilangan integritas dan keberanian untuk saling mengawasi dan mengimbangi.

Tantangan kita ke depan adalah bagaimana memperkuat jangkar ini, memastikan setiap instrumen dalam orkestra demokrasi kita berfungsi optimal dan berani memainkan perannya, tanpa takut pada tekanan atau godaan. Sebab, pada akhirnya, kualitas demokrasi kita sangat bergantung pada seberapa serius kita menganggap pentingnya saling mengawasi, saling mengoreksi, dan saling menyeimbangkan. Ini adalah pekerjaan abadi, sebuah eksperimen yang tak pernah usai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *