Menakar Efektivitas Sistem Presidensial di Negara Berkembang: Antara Harapan Kestabilan dan Jebakan Kekuasaan
Bagaikan memilih mesin penggerak untuk sebuah kendaraan yang melaju di medan yang tak rata, pilihan sistem pemerintahan presidensial bagi negara-negara berkembang kerap menyisakan dilema. Di satu sisi, ia menawarkan janji kestabilan, kepemimpinan yang kuat, dan mandat yang jelas. Namun, di sisi lain, bayangan otoritarianisme, disfungsi institusional, dan krisis politik seringkali membayangi. Menakar efektivitas sistem ini di lanskap politik negara berkembang bukan sekadar melihat cetak biru konstitusi, melainkan memahami bagaimana roda-roda kekuasaan itu benar-benar berputar di tengah tantangan dan realitas yang unik.
Daya Tarik & Janji Awal: Figur Kuat di Tengah Badai
Mengapa sistem presidensial, dengan segala risikonya, begitu menarik bagi banyak negara yang sedang berproses menuju kematangan demokrasi? Jawabannya seringkali terletak pada kebutuhan akan figur kepemimpinan yang kuat dan stabil. Pasca-kolonialisme, transisi politik, atau konflik internal, negara-negara berkembang membutuhkan "jangkar" di tengah badai ketidakpastian. Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan mandat yang jelas dan masa jabatan yang tetap, seolah mengenakan jubah legitimasi yang kokoh, mampu mengambil keputusan cepat, dan menjadi simbol persatuan nasional. Harapannya, kekuasaan yang terkonsentrasi ini dapat mendorong pembangunan ekonomi, menegakkan hukum, dan menjaga stabilitas politik tanpa terhalang oleh tawar-menawar koalisi yang rumit seperti di sistem parlementer.
Realitas Pahit: Ketika Roda Berputar di Lumpur Institusional
Namun, di lapangan, cerita seringkali berbeda. Daya tarik awal sistem presidensial bisa dengan cepat berubah menjadi jebakan. Konsentrasi kekuasaan di tangan satu individu, yang di negara-negara maju diimbangi oleh checks and balances yang kuat, di negara berkembang seringkali berbenturan dengan realitas institusi demokrasi yang masih rapuh.
- Institusi yang Lemah: Legislatif yang belum matang, yudikatif yang rentan intervensi politik, dan lembaga penegak hukum yang belum independen, seringkali gagal menjalankan fungsi pengawasan. Akibatnya, presiden bisa bertindak tanpa kendali berarti, mengarah pada penyalahgunaan wewenang atau bahkan otoritarianisme terselubung.
- Kultus Individu & Populisme: Mandat langsung dari rakyat, jika tidak diimbangi dengan literasi politik dan partisipasi publik yang kritis, bisa memunculkan "kultus individu". Pemimpin karismatik dapat memanfaatkan dukungan massa untuk meminggirkan oposisi, mereduksi ruang sipil, dan mengabaikan proses-proses demokratis yang semestinya. Populisme menjadi alat ampuh untuk melanggengkan kekuasaan.
- Clientelisme dan Korupsi: Kekuasaan yang terpusat juga menjadi magnet bagi praktik clientelisme dan korupsi. Posisi strategis dapat diisi oleh kroni atau loyalis, bukan berdasarkan meritokrasi, yang pada gilirannya melemahkan tata kelola pemerintahan dan menghambat pembangunan. Sumber daya negara bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik dan pribadi.
- Krisis Legitimasi & Transisi Kekuasaan: Meski menjanjikan stabilitas, sistem presidensial juga rentan terhadap krisis legitimasi jika hasil pemilu disengketakan atau jika presiden kehilangan dukungan signifikan di tengah masa jabatannya. Transisi kekuasaan yang tidak mulus, terutama jika tidak ada mekanisme yang jelas atau jika petahana enggan menyerahkan kekuasaan, bisa memicu instabilitas bahkan konflik.
Bukan Sekadar Sistem, Tapi Jiwa Demokrasi
Efektivitas sistem presidensial di negara berkembang pada akhirnya tidak semata-mata bergantung pada bentuk arsitektur konstitusionalnya, melainkan pada "jiwa" demokrasi yang melingkupinya. Beberapa faktor krusial yang menentukan apakah sistem ini akan menjadi lokomotif kemajuan atau kereta yang terhenti di stasiun otoritarianisme:
- Kekuatan Institusi Demokrasi: Seberapa kuatkah parlemen, lembaga peradilan, dan lembaga independen lainnya dalam menjalankan fungsi check and balance mereka?
- Budaya Politik: Apakah ada budaya politik yang menghargai pluralisme, toleransi, dan penghormatan terhadap aturan main demokrasi? Apakah masyarakat sipil cukup aktif dan kritis?
- Kualitas Kepemimpinan: Apakah pemimpin yang terpilih memiliki integritas, visi, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi, bukan sekadar haus kekuasaan?
- Konstitusi yang Adaptif: Apakah konstitusi dirancang dengan cermat untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang efektif?
Menatap Masa Depan: Sebuah Tantangan Berkelanjutan
Menakar efektivitas sistem presidensial di negara berkembang adalah sebuah pekerjaan yang berkelanjutan, tanpa formula ajaib yang berlaku universal. Pengalaman setiap negara, dari Brazil hingga Indonesia, dari Filipina hingga Nigeria, adalah narasi kompleks tentang perjuangan antara idealisme konstitusional dan realitas politik yang keras.
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana menumbuhkan tunas-tunas demokrasi yang kuat, tahan uji, dan berakar pada nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Hanya dengan begitu, sistem presidensial dapat menjadi lokomotif kemajuan yang diharapkan, bukan sekadar perangkat kekuasaan yang rentan jatuh ke dalam jebakan otoritarianisme atau disfungsi yang melelahkan. Ini adalah tugas kolektif yang membutuhkan komitmen dari semua elemen bangsa: pemimpin, institusi, dan terutama, rakyatnya.











