Menelisik Akar Konflik Politik di Daerah Rawan Separatisme

Melampaui Suara Tembakan: Menelisik Jaring-Jaring Akar Konflik Politik di Daerah Rawan Separatisme

Ketika berita tentang ledakan, unjuk rasa berujung bentrok, atau operasi militer kembali mengisi lini masa dari daerah-daerah yang kerap dilabeli "rawan separatisme", respons instan kita seringkali berpusat pada permukaan: kekerasan, tuntutan kemerdekaan, atau upaya penumpasan. Namun, layaknya diagnosis penyakit kronis yang gejalanya tampak di permukaan, namun akarnya terhujam jauh di dalam tubuh, konflik separatisme pun demikian. Ia bukan sekadar pemberontakan buta atau tindakan kriminal murni, melainkan sebuah simpul kusut dari benang-benang politik yang telah ditenun selama puluhan, bahkan ratusan tahun.

Untuk menelisik akar konflik politik ini, kita harus berani melampaui riuh rendah senjata dan retorika nasionalisme yang berbenturan. Kita perlu menyelami lapisan-lapisan sejarah, ketimpangan, dan narasi identitas yang membentuk lanskap sosial-politik di daerah-daerah tersebut.

1. Luka Sejarah yang Tak Tersembuhkan: Politik Memori dan Kekecewaan Akumulatif

Daerah rawan separatisme seringkali menyimpan "bank memori" kolektif yang sarat dengan pengalaman pahit. Ini bisa berupa warisan kolonial yang memecah-belah, pengabaian oleh pemerintahan pusat pasca-kemerdekaan, atau bahkan kekerasan negara di masa lalu yang tak pernah dituntaskan dengan keadilan. Luka-luka sejarah ini, yang kerap diwariskan turun-temurun melalui cerita, lagu, atau ritual, menjadi pupuk bagi benih-benih ketidakpercayaan politik.

Ketika negara atau pemerintah pusat gagal mengakui, merekonsiliasi, atau setidaknya berdialog tentang kepedihan ini, narasi kepedihan itu akan bermetamorfosis menjadi senjata politik. Para pemimpin lokal, baik yang moderat maupun yang radikal, akan dengan mudah menyulut sentimen publik dengan menunjuk pada "luka lama" yang belum kering. Ini bukan sekadar sentimen masa lalu, melainkan politik memori yang hidup, membentuk persepsi tentang "kami" (yang tertindas) dan "mereka" (yang menindas).

2. Paradoks Kemiskinan di Tengah Kekayaan: Ketimpangan Struktural sebagai Bahan Bakar

Seringkali, daerah rawan separatisme adalah wilayah yang kaya sumber daya alam – hutan, tambang, minyak, gas. Ironisnya, kekayaan ini justru menjadi kutukan. Eksploitasi sumber daya alam yang hanya menyisakan remah bagi masyarakat lokal, sementara keuntungan besar mengalir ke pusat atau kantong segelintir elite, menciptakan rasa ketidakadilan ekonomi yang mendalam.

Ketimpangan ini bukan sekadar soal angka statistik, melainkan tentang martabat. Ketika generasi muda melihat minimnya peluang kerja, infrastruktur pendidikan yang bobrok, atau akses kesehatan yang jauh tertinggal dibandingkan wilayah lain, sementara truk-truk pengangkut hasil bumi terus melaju, muncul pertanyaan fundamental: "Untuk siapa negara ini ada?" Inilah politik perut yang berujung pada politik identitas, di mana kemiskinan dan marginalisasi ekonomi diterjemahkan menjadi argumen bahwa mereka tidak diuntungkan, bahkan dirugikan, oleh keberadaan negara kesatuan.

3. Identitas yang Bergolak: Politik "Kami" versus "Mereka"

Di balik isu ekonomi dan sejarah, tersimpan pula pergulatan identitas yang kompleks. Perbedaan etnis, bahasa, agama, atau adat istiadat seringkali menjadi garis demarkasi politik yang tajam. Ketika identitas mayoritas dipaksakan, atau identitas lokal merasa terancam, terpinggirkan, atau bahkan direndahkan, politik identitas menjadi bahan bakar utama.

Para demagog yang piawai memainkan sentimen ini akan mengkonstruksi naratif "kami" versus "mereka" dengan begitu cermat. "Kami" adalah komunitas yang sah dengan klaim historis dan budaya atas tanah ini, sementara "mereka" adalah penjajah, pendatang, atau kekuatan asing yang mencoba melenyapkan identitas asli. Politik ini bukan hanya tentang perbedaan budaya, tetapi tentang perebutan narasi siapa yang berhak mendefinisikan wilayah, siapa yang berhak mengatur, dan siapa yang berhak atas masa depan.

4. Kegagalan Tata Kelola dan Vakum Kepercayaan: Ketika Negara Absen dalam Keadilan

Pada akhirnya, akar konflik politik seringkali bermuara pada kegagalan tata kelola pemerintahan. Korupsi yang menggurita, praktik nepotisme, birokrasi yang lamban, dan penegakan hukum yang tumpul, menciptakan vakum kepercayaan antara masyarakat dan institusi negara. Ketika masyarakat merasa aspirasi mereka tidak didengar, hak-hak mereka diabaikan, atau keadilan sulit ditegakkan, mereka akan mencari alternatif.

Institusi negara yang "ompong" di hadapan korupsi dan ketidakadilan, justru membuka ruang bagi aktor-aktor non-negara – termasuk gerakan separatis – untuk tampil sebagai pembela rakyat. Mereka menawarkan janji-janji keadilan, perlindungan, dan masa depan yang lebih baik, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara. Politik kekuasaan yang tidak transparan dan tidak akuntabel adalah lahan subur bagi tumbuhnya bibit-bibit separatisme.

Meredam Api, Mengeringkan Bahan Bakar

Menelisik akar konflik politik di daerah rawan separatisme adalah tugas yang rumit, membutuhkan kesabaran dan kepekaan. Tidak ada resep tunggal, sebab setiap daerah memiliki jaring-jaring akar yang unik. Namun, satu hal yang jelas: solusi tidak akan pernah datang dari pendekatan militeristik semata atau janji-janji pembangunan ekonomi yang tidak merata.

Kita harus berani menatap ke dalam "bank memori" yang penuh luka, mengatasi ketimpangan struktural dengan kebijakan yang berpihak, merangkul pluralitas identitas dengan hormat, dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Ini bukan hanya tentang meredam api, melainkan mengeringkan bahan bakarnya. Hanya dengan pendekatan holistik, dialog yang tulus dan inklusif, desentralisasi kekuasaan yang substansial, dan keadilan restoratif, kita dapat berharap membangun kembali fondasi kebersamaan yang kokoh, berlandaskan keadilan, martabat, dan pengakuan bagi setiap warga negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *