Mengapa Banyak Generasi Z Apatis terhadap Isu Politik Nasional

Bukan Apatis, Tapi Pragmatis? Mengurai Kesenjangan Gen Z dengan Politik Nasional

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa anak muda zaman sekarang, khususnya Generasi Z, seringkali terlihat "cuek" atau bahkan apolitis terhadap isu-isu politik nasional yang ramai di media? Di tengah hiruk-pikuk kampanye, debat kusir di televisi, atau drama perebutan kekuasaan, banyak dari mereka justru asyik dengan dunia digitalnya, fokus pada personal branding, isu lingkungan global, atau sekadar menikmati meme terbaru. Apakah mereka benar-benar tidak peduli, ataukah ada narasi lain yang lebih kompleks di balik fenomena ini?

Mari kita coba selami lebih dalam, bukan sekadar menuduh mereka apatis, melainkan mencoba memahami cara pandang generasi yang lahir dan tumbuh di era digital ini.

1. Politik Nasional: Sebuah Film yang Alurnya Mudah Ditebak (dan Membosankan)

Bayangkan Anda disuruh menonton sebuah film serial panjang yang alur ceritanya itu-itu saja: janji-janji manis di awal, konflik yang berlarut-larut, dan penyelesaian yang seringkali tidak memuaskan atau bahkan terasa anti-klimaks. Itulah mungkin bagaimana politik nasional dipersepsikan oleh banyak Gen Z.

Mereka tumbuh di era pasca-reformasi, melihat langsung (melalui gawai mereka) bagaimana janji-janji politik sering menguap begitu saja, bagaimana korupsi seolah tak ada habisnya, dan bagaimana pertarungan ideologi seringkali hanya berujung pada perebutan kursi kekuasaan. Bagi mereka, politik menjadi semacam "tontonan" yang melelahkan dan seringkali membuat frustrasi, tanpa dampak nyata yang signifikan pada kehidupan sehari-hari mereka. Mereka bukan tidak tahu, tapi mungkin sudah terlalu sering melihat dan kecewa.

2. Mikro-Aktivisme Lebih Menarik daripada Makro-Politik

Gen Z adalah generasi yang action-oriented, tetapi dalam skala yang berbeda. Mereka mungkin tidak tertarik dengan rapat partai atau demonstrasi besar di jalan yang tuntutannya terasa sangat makro. Namun, jangan salah, mereka sangat peduli pada isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, kesehatan mental, atau hak-hak hewan.

Mereka lebih memilih menyalurkan energinya pada "mikro-aktivisme": menggalang dana untuk korban bencana melalui media sosial, mengikuti kampanye #cleanup pantai, menandatangani petisi daring, atau bahkan sekadar menyebarkan informasi tentang bahaya fast fashion. Bagi mereka, perubahan kecil yang nyata dan langsung terasa dampaknya jauh lebih memuaskan daripada berdebat tentang kebijakan pemerintah yang terasa jauh dan abstrak. Politik tingkat nasional terasa terlalu makro, terlalu birokratis, dan terlalu lambat untuk menghasilkan perubahan yang mereka inginkan.

3. Banjir Informasi dan Filter Bubble yang Memperkuat Preferensi

Generasi Z adalah penduduk asli dunia maya. Mereka dibanjiri informasi 24/7 dari berbagai sumber. Algoritma media sosial mereka dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan minat dan preferensi mereka. Hasilnya? Sebuah filter bubble atau gelembung informasi.

Jika mereka lebih tertarik pada K-Pop, tutorial skincare, atau video game, maka feed mereka akan dipenuhi konten tersebut. Informasi politik, jika tidak disajikan dengan cara yang sangat menarik dan relevan, akan dengan mudah tenggelam atau bahkan sengaja mereka lewatkan. Ini bukan berarti mereka bodoh atau tidak tahu, tetapi mereka memiliki kontrol penuh atas apa yang ingin mereka konsumsi. Memilih untuk "scroll" daripada "simak berita politik" adalah bentuk otonomi digital mereka.

4. Kurangnya Representasi dan Bahasa Politik yang Usang

Lihatlah figur-figur politik yang mendominasi panggung nasional: didominasi oleh generasi X atau baby boomer. Gaya komunikasi mereka seringkali kaku, penuh retorika, dan terkadang terasa tidak jujur. Ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai Gen Z yang mengedepankan otentisitas, transparansi, dan komunikasi yang langsung serta ringkas.

Ketika mereka tidak melihat diri mereka direpresentasikan, baik dalam usia, cara berpikir, maupun gaya komunikasi, mengapa mereka harus merasa terlibat? Bahasa politik yang penuh jargon dan intrik terasa asing dan membosankan bagi mereka yang terbiasa dengan bahasa visual, meme, dan percakapan singkat namun padat makna di media sosial.

5. Pragmatisme: "Apa Untungnya Bagiku (dan Lingkunganku)?"

Mungkin label "apatis" kurang tepat. Gen Z sebenarnya adalah generasi yang sangat pragmatis. Mereka tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi, ancaman lingkungan, dan persaingan global yang ketat. Bagi mereka, waktu dan energi adalah sumber daya yang berharga.

Jika politik nasional tidak secara jelas menawarkan solusi konkret untuk masa depan mereka (pekerjaan yang layak, lingkungan yang sehat, pendidikan yang relevan), atau jika politik hanya menawarkan drama dan perpecahan, mengapa mereka harus membuang energi untuk itu? Mereka cenderung berinvestasi pada hal-hal yang memberikan hasil nyata dan dampak langsung, baik itu untuk diri sendiri, komunitas kecil mereka, atau isu global yang mereka anggap penting.

Bukan Berarti Tidak Peduli Sama Sekali

Tentu, tidak semua Gen Z sama. Ada juga sebagian dari mereka yang sangat vokal dan aktif di ranah politik nasional, seringkali dengan cara-cara yang inovatif. Namun, kecenderungan umum ini menunjukkan bahwa "apatisme" Gen Z mungkin bukan berarti tidak peduli sama sekali, melainkan sedang mencari saluran yang tepat, bahasa yang relevan, dan dampak yang nyata.

Politik nasional, jika ingin merebut hati dan pikiran Gen Z, perlu beradaptasi. Ia harus menjadi lebih transparan, lebih inklusif, lebih cepat dalam merespons, dan lebih berfokus pada solusi konkret daripada sekadar retorika. Mungkin Gen Z tidak apatis, mereka hanya menuntut politik yang lebih jujur, relevan, dan berdampak nyata. Dan tuntutan itu, dalam jangka panjang, bisa jadi adalah katalisator bagi perubahan yang kita butuhkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *