Mengapa Banyak Politisi Tak Paham Kebijakan yang Mereka Usulkan

Ketika Kebijakan Hanya Jadi Slogan: Mengapa Politisi Kerap Tak Paham Apa yang Mereka Usulkan

Seringkali kita menyaksikan pemandangan yang membingungkan: seorang politisi berdiri di podium, dengan retorika menggebu-gebu mengusulkan sebuah kebijakan "brilian" yang konon akan mengubah segalanya. Namun, ketika pertanyaan mendalam diajukan tentang detail teknis, dampak jangka panjang, atau bahkan mekanisme implementasinya, raut wajah mereka berubah. Ada jeda, pandangan kosong, atau jawaban yang melipir ke ranah umum dan normatif. Mengapa fenomena ini begitu umum? Mengapa banyak politisi tampak gagap terhadap kebijakan yang notabene adalah "produk" mereka sendiri?

Ini bukan sekadar masalah kecerdasan atau kapasitas personal. Akar masalahnya jauh lebih kompleks dan berlapis, melibatkan dinamika panggung politik modern yang serba cepat dan penuh tekanan.

1. Peran "Penulis Hantu" dan Tim Ahli: Dalang di Balik Layar

Mari kita jujur, jarang sekali seorang politisi, terutama di level tinggi, yang menulis setiap draf kebijakan atau undang-undang sendirian. Di balik setiap usulan kebijakan, ada tim ahli, staf khusus, birokrat, atau bahkan konsultan yang bekerja keras menyusun kerangka, mengumpulkan data, dan merumuskan pasal-pasal. Politisi, dalam banyak kasus, adalah presenter atau sponsor utama. Mereka menerima rangkuman, poin-poin penting, dan narasi yang sudah dipoles.

Analoginya seperti seorang aktor yang menghafal naskah. Ia mungkin piawai memerankan karakter dan menyampaikan dialog, tapi pemahaman mendalam tentang proses penulisan naskah, riset historis di baliknya, atau teori dramaturgi mungkin bukan keahlian utamanya. Bagi politisi, fokusnya seringkali adalah bagaimana kebijakan itu terdengar di telinga publik, bukan seberapa detail ia menguasai seluk-beluknya.

2. Fokus pada Narasi, Bukan Substansi: Demi Elektabilitas dan Citra

Di era politik pencitraan, narasi adalah raja. Kebijakan seringkali dirancang untuk menciptakan headline yang menarik, janji yang manis, atau solusi "mudah" atas masalah rumit. Politisi didorong oleh tuntutan elektoral dan tekanan media untuk selalu memiliki "sesuatu" yang bisa dijual kepada konstituen.

Dalam konteks ini, pemahaman mendalam tentang kebijakan bisa jadi beban. Detail teknis, potensi masalah implementasi, atau efek samping yang tidak populer justru bisa merusak narasi yang sudah dibangun. Maka, yang penting adalah apa yang diusulkan dan bagaimana itu disampaikan, bukan bagaimana cara kerjanya secara rinci. Kebijakan menjadi alat retorika, bukan sekadar instrumen tata kelola.

3. Kompleksitas Masalah dan Spesialisasi yang Tak Terjangkau

Masalah-masalah publik modern sangatlah kompleks. Kebijakan ekonomi melibatkan makroekonomi, mikroekonomi, perilaku konsumen, dan geopolitik. Kebijakan lingkungan membutuhkan pemahaman ekologi, klimatologi, sosiologi, dan rekayasa. Tidak ada satu pun individu, termasuk politisi, yang bisa menjadi ahli di semua bidang ini.

Politisi adalah generalis yang bergerak di banyak ranah. Mereka harus berurusan dengan konstituen, media, partai politik, lobi, dan urusan administrasi. Waktu mereka sangat terbatas untuk menyelami detail teknis setiap kebijakan. Mengandalkan tim ahli memang solusi, tetapi ini juga berarti mereka bergantung pada pemahaman orang lain, bukan pemahaman pribadi. Punggung politisi terlalu lebar untuk memikul beban teknis sedalam itu.

4. Ideologi sebagai Kacamata Kuda: Kebenaran yang Disesuaikan

Beberapa politisi mungkin memahami garis besar kebijakan, tetapi pemahaman mereka dibingkai oleh kacamata ideologi yang kuat. Bagi mereka, sebuah kebijakan itu "baik" atau "buruk" karena sesuai atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ideologis partai atau kelompok mereka, bukan karena efektivitas atau dasar empirisnya.

Ketika ideologi menjadi filter utama, ruang untuk memahami nuansa, data kontra-intuitif, atau potensi masalah yang tidak sejalan dengan pandangan mereka menjadi sempit. Mereka mungkin hanya fokus pada aspek-aspek yang memperkuat keyakinan mereka, mengabaikan atau bahkan menolak informasi yang bertentangan.

5. Bayang-bayang Kepentingan di Balik Layar: Siapa yang Sebenarnya Menulis?

Faktor yang tak kalah krusial adalah pengaruh kelompok kepentingan. Banyak kebijakan, terutama yang melibatkan sektor ekonomi tertentu, seringkali diinisiasi atau bahkan ditulis oleh lobi-lobi korporasi, asosiasi industri, atau kelompok advokasi. Mereka memiliki sumber daya, keahlian, dan motivasi yang kuat untuk membentuk kebijakan sesuai keinginan mereka.

Politisi yang menjadi "corong" bagi kepentingan ini mungkin tidak memiliki pemahaman mendalam tentang kebijakan tersebut selain dari poin-poin yang disodorkan kepada mereka. Mereka lebih berfungsi sebagai juru bicara atau penanda tangan, bukan sebagai pemikir orisinal di balik kebijakan itu.

Dampak dan Tantangan ke Depan

Ketika politisi tak paham kebijakan yang mereka usulkan, risikonya besar: kebijakan yang buruk, tidak efektif, atau bahkan kontraproduktif. Ini menggerogoti kepercayaan publik, memperburuk masalah yang seharusnya dipecahkan, dan menciptakan lingkaran setan ketidakpuasan.

Tentu, tidak semua politisi demikian. Banyak yang berdedikasi dan berusaha keras memahami setiap detail. Namun, fenomena ini adalah refleksi dari sistem politik yang mendewakan kecepatan, citra, dan konflik, daripada substansi dan pemikiran mendalam.

Sebagai warga negara, tugas kita adalah tidak hanya mendengarkan retorika, tetapi juga menuntut akuntabilitas dan kedalaman. Mempertanyakan, mencari tahu, dan tidak mudah terbuai oleh janji manis adalah langkah awal untuk mendorong politisi agar tidak hanya menjadi juru bicara, melainkan juga pemikir dan pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, kebijakan yang mereka usulkan akan menentukan kualitas hidup kita semua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *