Ketika Detak Jantung Masyarakat Tak Seirama dengan Mesin Kebijakan: Mengapa Nalar Kesejahteraan Sering Terpinggirkan
Kita semua hidup dalam bayang-bayang kebijakan publik. Dari harga kebutuhan pokok, akses kesehatan, hingga kualitas udara yang kita hirup, semuanya dibentuk oleh keputusan-keputusan di meja kekuasaan. Ironisnya, tak jarang kita merasakan sebuah jurang pemisah antara apa yang dijanjikan kebijakan (demi "kesejahteraan") dengan realitas pahit yang dirasakan masyarakat. Mengapa kebijakan publik, yang seharusnya menjadi instrumen untuk meningkatkan kualitas hidup, seringkali justru bertentangan dengan nalar kesejahteraan yang intuitif dan mendalam?
Nalar kesejahteraan bukanlah sekadar angka-angka makro ekonomi. Ia adalah resonansi kolektif dari kebutuhan dasar, martabat, keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan rasa memiliki terhadap komunitas. Ia berbicara tentang anak-anak yang bisa bersekolah tanpa rasa lapar, lansia yang tenang di masa tuanya, udara bersih untuk semua, dan kesempatan yang adil bagi setiap individu untuk berkembang. Nalar ini tumbuh dari pengalaman hidup sehari-hari, dari interaksi antarmanusia, dan dari harapan akan masa depan yang lebih baik. Ia adalah detak jantung masyarakat.
Namun, ketika "detak jantung" ini bertemu dengan "mesin kebijakan," seringkali terjadi disritmia. Berikut beberapa alasannya:
1. Reduksionisme Ekonomis dan Obsesi Angka:
Kebijakan seringkali didominasi oleh logika ekonomi yang mereduksi kesejahteraan menjadi indikator-indikator kuantitatif: pertumbuhan PDB, inflasi, investasi. Sementara angka-angka ini penting, mereka gagal menangkap nuansa kompleksitas kehidupan manusia. Sebuah proyek infrastruktur raksasa mungkin mendongkrak PDB, namun mengorbankan lahan pertanian subur, merelokasi ribuan warga tanpa kompensasi layak, atau menghancurkan ekosistem lokal. Dari sudut pandang angka, ini "sukses." Dari nalar kesejahteraan, ini adalah tragedi sosial dan ekologis. Kebahagiaan, kesehatan mental, kohesi sosial, dan kelestarian alam sulit diukur dalam laporan keuangan triwulanan.
2. Intervensi Kepentingan dan Politik Jangka Pendek:
Mesin kebijakan tidak beroperasi di ruang hampa. Ia digerakkan oleh berbagai kepentingan: kelompok lobi korporat, elite politik, dan kekuatan-kekuatan tertentu. Kebijakan bisa menjadi alat untuk melayani kepentingan segelintir orang, bukan publik luas. Selain itu, siklus politik yang pendek (pemilu setiap beberapa tahun) mendorong pembuat kebijakan untuk mengejar hasil instan dan populer, ketimbang solusi jangka panjang yang mungkin tidak segera terasa manfaatnya namun esensial bagi kesejahteraan berkelanjutan. Ide-ide brilian untuk generasi mendatang bisa kandas hanya karena tidak "seksi" untuk kampanye politik.
3. Silo Birokrasi dan Kekakuan Sistem:
Pemerintahan seringkali bekerja dalam "silo" – kementerian atau departemen yang beroperasi secara terpisah dengan tujuan masing-masing. Kebijakan satu sektor bisa bertentangan dengan sektor lain. Misalnya, kebijakan energi yang berfokus pada produksi batubara bisa berbenturan dengan kebijakan kesehatan yang berupaya mengurangi polusi udara. Birokrasi yang kaku, aturan yang kompleks, dan kurangnya koordinasi lintas sektor seringkali menghambat perumusan kebijakan yang holistik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang beragam. Nalar kesejahteraan menuntut integrasi; birokrasi sering menawarkan fragmentasi.
4. Kesenjangan Partisipasi dan Suara yang Tak Terdengar:
Kebijakan yang efektif seharusnya didasarkan pada partisipasi aktif dari mereka yang paling terdampak. Namun, seringkali proses perumusan kebijakan didominasi oleh "ahli" di menara gading atau kelompok-kelompok yang memiliki akses ke kekuasaan. Suara petani, nelayan, masyarakat adat, atau kaum marjinal seringkali tidak terwakili secara memadai, atau bahkan diabaikan. Akibatnya, kebijakan yang lahir adalah "solusi" yang mungkin terlihat logis di atas kertas, namun sama sekali tidak relevan atau bahkan merugikan di lapangan karena tidak memahami konteks dan realitas hidup masyarakat.
5. Jeda Waktu dan Dampak Jangka Panjang yang Terabaikan:
Banyak masalah kesejahteraan, seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, atau kesenjangan sosial, adalah masalah jangka panjang dengan efek yang baru terasa puluhan tahun kemudian. Kebijakan yang berorientasi pada masa kini seringkali gagal mengantisipasi atau mitigasi dampak jangka panjang ini. Membiarkan sungai tercemar demi keuntungan industri hari ini adalah contoh klasik dari mengorbankan nalar kesejahteraan generasi mendatang demi keuntungan sesaat.
Menyelaraskan kembali detak jantung masyarakat dengan ritme mesin kebijakan adalah tantangan besar. Ini menuntut lebih dari sekadar data dan analisis teknokratis. Ini menuntut empati, keberanian politik untuk menolak kepentingan sesaat, kesediaan untuk mendengarkan suara-suara akar rumput, dan visi jangka panjang yang melampaui siklus elektoral. Tanpa itu, kebijakan akan terus menjadi instrumen yang asing, jauh dari tujuan utamanya: mewujudkan kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyat.











