Mengapa Politisi Kerap Menghindari Debat Substansial? Bukan Karena Bodoh, Tapi Karena ‘Permainan’nya Lebih Kejam dari yang Kita Bayangkan
Kita sering melihatnya. Dalam sebuah sesi tanya jawab, di panggung debat, atau bahkan saat diwawancarai, pertanyaan yang mengarah pada detail kebijakan, data konkret, atau visi jangka panjang kerap dijawab dengan senyum simpul, retorika berapi-api, atau bahkan serangan balik personal. Alih-alih menyelam lebih dalam ke lautan substansi, para politisi kita seringkali memilih untuk berenang di permukaan, melontarkan frasa-frasa populer dan janji-janji manis yang mudah dicerna.
Mengapa demikian? Apakah mereka tidak cukup cerdas? Tentu saja tidak. Sebagian besar dari mereka adalah individu-individu dengan pendidikan tinggi dan pengalaman luas. Lantas, apa yang membuat medan debat substansial menjadi begitu menakutkan bagi mereka? Jawabannya terletak pada kalkulus politik yang dingin, medan perang modern, dan, yang paling penting, sifat ‘permainan’ politik itu sendiri yang jauh lebih kejam dari yang kita bayangkan.
1. Medan Ranjau Logika dan Retorika: Satu Salah Langkah, Tamat!
Debat substansial adalah medan ranjau. Setiap detail yang diucapkan, setiap data yang disajikan, setiap argumen yang dibangun, dapat dengan mudah dibongkar, dipertanyakan, atau bahkan dipelintir oleh lawan politik atau media yang kritis. Di era digital ini, satu salah ucap, satu data yang keliru, atau satu kebijakan yang terlihat goyah, bisa viral dalam hitungan detik dan menjadi amunisi untuk menghancurkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun.
Berbeda dengan serangan personal atau slogan kosong yang sulit dibantah secara faktual, argumen substansial menuntut ketepatan dan konsistensi. Siapa yang mau mempertaruhkan lehernya di tiang gantungan logika dan data, ketika ada jalan yang lebih aman lewat narasi emosional atau retorika yang membakar semangat massa? Bagi banyak politisi, risiko terpeleset dalam debat substansial jauh lebih besar daripada potensi keuntungan untuk terlihat cerdas atau berintegritas.
2. Kalkulus Politik yang Dingin: Menang Lebih Penting dari Membuktikan
Mari jujur. Dalam politik modern, tujuan utama bukan lagi untuk membuktikan siapa yang paling benar atau paling cerdas dalam merumuskan kebijakan. Tujuannya adalah untuk menang – memenangkan hati pemilih, memenangkan kursi, memenangkan kekuasaan. Dan seringkali, memenangkan "permainan" ini tidak memerlukan debat substansial.
Justru sebaliknya, debat yang terlalu mendalam bisa menjadi bumerang.
- Membingungkan Pemilih: Kebijakan yang kompleks, seperti reformasi ekonomi atau penanganan krisis iklim, sulit dijelaskan dalam format debat singkat yang menuntut poin-poin punchy. Pemilih, dengan rentang perhatian yang semakin pendek, cenderung lebih suka janji-janji yang sederhana dan mudah dicerna.
- Menyinggung Kelompok Tertentu: Mengambil posisi yang tegas dalam isu substansial seringkali berarti akan menyinggung sebagian kelompok pemilih. Lebih aman adalah menjaga posisi tetap ambigu atau berbicara dalam generalisasi yang bisa diinterpretasikan banyak pihak.
- Membuka Celah Serangan: Politisi lawan tidak selalu tertarik untuk memahami solusi Anda, melainkan mencari kelemahan. Debat substansial membuka terlalu banyak celah bagi mereka untuk menyerang, memelintir, atau bahkan membuat narasi yang salah.
Politisi yang cerdik tahu bahwa emosi seringkali mengalahkan logika. Lebih mudah menjual janji manis tentang masa depan cerah, menunjuk "musuh" bersama, atau membangkitkan rasa kebanggaan nasional, daripada mencoba menjelaskan detail anggaran atau implikasi hukum dari sebuah undang-undang. Ini bukan karena mereka tidak punya ide, tapi karena mereka tahu apa yang bekerja di lapangan.
3. Era Serba Cepat dan Dangkal: Media dan Algoritma yang Mendikte
Kita hidup di era di mana informasi disajikan dalam bentuk byte singkat, video vertikal, dan headline sensasional. Algoritma media sosial mengutamakan konten yang memicu emosi, perdebatan yang panas (bukan substansial), dan polarisasi. Dalam konteks ini, sebuah presentasi kebijakan yang komprehensif selama 20 menit tidak akan pernah sepopuler klip 30 detik yang berisi soundbite kontroversial atau serangan personal.
Debat substansial membutuhkan waktu, kesabaran, dan kemampuan analisis dari audiens. Sayangnya, masyarakat kita, yang semakin terbiasa dengan kecepatan dan drama, cenderung lebih tertarik pada siapa yang bicara daripada apa yang dibicarakan, pada bagaimana politisi menyerang daripada mengapa kebijakan itu penting. Politisi, sebagai entitas yang ingin dipilih, secara naluriah menyesuaikan diri dengan "selera pasar" ini. Mereka menjadi aktor yang tahu panggung seperti apa yang paling efektif untuk memukau penonton.
Harga yang Dibayar Demokrasi
Penghindaran debat substansial ini tentu saja memiliki harga yang mahal bagi demokrasi. Kita sebagai pemilih menjadi kurang teredukasi tentang isu-isu krusial, membuat keputusan berdasarkan emosi atau informasi yang dangkal. Kebijakan yang dihasilkan mungkin tidak matang, karena tidak pernah melewati uji argumen yang ketat. Kepercayaan publik terhadap institusi politik pun tergerus, karena politisi terlihat lebih sibuk bermain sandiwara daripada serius memikirkan nasib rakyat.
Mungkin saatnya kita sebagai pemilih berhenti terpukau pada ilusi, dan mulai menuntut realitas. Menuntut politisi untuk turun dari panggung retorika kosong, dan berani masuk ke medan ranjau substansi. Karena di sanalah, di antara data dan argumen yang kokoh, masa depan yang lebih baik bisa benar-benar dibangun.


