Mengapa Sistem Politik Gagal Menampung Kritik dari Masyarakat Sipil

Ketika Politik Membangun Dinding: Mengapa Kritik Masyarakat Sipil Kerap Mental

Di tengah riuhnya janji demokrasi, ada satu paradoks yang terus menghantui: mengapa sistem politik, yang seharusnya menjadi cerminan kehendak rakyat, seringkali begitu gagap, bahkan tuli, terhadap kritik-kritik tajam nan esensial yang disuarakan masyarakat sipil? Kritik-kritik ini bukan sekadar keluh kesah, melainkan diagnosis mendalam, peringatan dini, atau bahkan cetak biru perbaikan yang tak ternilai harganya. Namun, mengapa suara-suara sumbang namun esensial itu kerap mental, bahkan sebelum sempat menembus sanubari para pengambil kebijakan?

Fenomena ini bukan sekadar ketidaksengajaan atau kebetulan. Ia adalah buah dari serangkaian dinamika kompleks yang berakar pada struktur kekuasaan, psikologi elit, dan bahkan cara kita memahami "legitimasi."

1. Ego dan "Imunitas Politik": Ketika Kritik Dianggap Serangan

Sistem politik, pada intinya, digerakkan oleh manusia. Dan manusia, terutama yang berada di puncak kekuasaan, memiliki ego. Kritik, betapapun konstruktifnya, seringkali dipersepsikan sebagai serangan personal atau upaya untuk merongrong legitimasi. Ini memicu semacam "imunitas politik" – sebuah mekanisme pertahanan diri di mana sistem secara otomatis menolak atau menetralisir apa pun yang dianggap "asing" atau "mengancam."

Alih-alih merenung, para politisi atau birokrat cenderung membangun narasi tandingan: bahwa kritik itu tidak berdasar, bermotif politik, atau bahkan didalangi pihak tertentu. Ruang diskusi pun menyempit, digantikan oleh ruang gema di mana hanya suara-suara yang mengamini yang diizinkan bergaung.

2. Labirin Birokrasi dan "Kebisingan Putih" Informasi

Masyarakat sipil seringkali menyuarakan kritik dengan data, analisis, dan pengalaman langsung dari akar rumput. Namun, pesan-pesan ini harus melewati labirin birokrasi yang rumit. Ada prosedur yang panjang, pintu-pintu yang sulit dibuka, dan hirarki yang berlapis. Di setiap tingkatan, pesan itu bisa terdistorsi, melemah, atau bahkan hilang sama sekali.

Ditambah lagi, sistem politik modern dibanjiri oleh "kebisingan putih" informasi. Antara laporan resmi, data statistik, analisis konsultan, dan lobi-lobi kepentingan, suara masyarakat sipil yang seringkali lebih otentik dan "mentah" justru tenggelam. Mereka dianggap sebagai "suara minoritas" atau "pihak yang tidak representatif," padahal justru di situlah letak kekuatannya: kejujuran yang belum terpoles kepentingan.

3. Ketakutan akan Perubahan dan Status Quo yang Nyaman

Perubahan itu merepotkan. Kritik seringkali menuntut perubahan fundamental dalam kebijakan, alokasi sumber daya, atau bahkan paradigma berpikir. Bagi mereka yang telah nyaman dengan status quo, perubahan adalah ancaman. Mengakomodasi kritik berarti mengakui kesalahan, meninjau ulang keputusan, dan mungkin kehilangan beberapa privilese.

Sistem politik cenderung memilih stabilitas yang semu daripada mengakui ketidaksempurnaan yang bisa memicu gejolak perbaikan. Ini menciptakan lingkaran setan: kritik tidak didengar, masalah menumpuk, dan ketika meledak, responsnya seringkali represif, bukan reflektif.

4. Kesenjangan Empati dan Realitas yang Terpisah

Para pembuat kebijakan seringkali hidup dalam gelembung mereka sendiri, terpisah dari realitas pahit yang dialami masyarakat sipil. Mereka mungkin melihat data makro yang mengesankan, sementara masyarakat sipil merasakan dampak mikro dari kebijakan yang salah. Kesenjangan empati ini membuat kritik terdengar seperti omong kosong abstrak, bukan jeritan penderitaan atau seruan untuk keadilan.

Ketika kritik datang dari komunitas adat yang kehilangan tanahnya, buruh yang upahnya tidak layak, atau aktivis lingkungan yang menyaksikan hutan hancur, mereka berbicara dari pengalaman yang otentik. Namun, tanpa jembatan empati, suara-suara ini hanya menjadi "suara sumbang" yang mengganggu harmoni semu.

5. "Kooptasi Terselubung": Merangkul untuk Membungkam

Terkadang, sistem politik tidak sepenuhnya menolak kritik. Alih-alih, mereka melakukan kooptasi. Beberapa tokoh masyarakat sipil diajak masuk ke dalam "tim ahli," "komite penasihat," atau diberikan posisi-posisi tertentu. Sekilas, ini terlihat seperti kemajuan. Namun, seringkali ini adalah strategi untuk membungkam kritik yang terlalu vokal, melunakkan semangat perlawanan, atau mengisolasi mereka dari basis massa. Suara mereka kini menjadi bagian dari sistem, dan kemampuannya untuk mengkritik secara independen pun terkikis.

Menuju Sistem yang Lebih Resonan

Kegagalan sistem politik menampung kritik masyarakat sipil adalah kerugian besar bagi sebuah bangsa. Kritik adalah oksigen bagi demokrasi, navigasi bagi kapal negara. Tanpa kritik, sistem akan menjadi stagnan, rapuh, dan akhirnya tumbang oleh bobot kesalahannya sendiri.

Mungkin, sudah saatnya sistem politik kita berhenti membangun benteng, dan mulai membuka jendela. Jendela yang memungkinkan angin segar kritik masuk, membersihkan udara, dan mengingatkan bahwa kekuasaan sejati ada pada kemampuan untuk mendengar, memahami, dan melayani, bahkan suara yang paling tidak nyaman sekalipun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *