Berita  

Operasi Penertiban PKL Menuai Pro dan Kontra

Operasi Penertiban PKL: Antara Ketertiban Kota dan Dapur yang Harus Mengepul

Hiruk pikuk kota, aroma masakan yang menggoda, suara tawar-menawar yang riuh, dan deretan barang dagangan yang berjajar rapi (atau terkadang kurang rapi) adalah pemandangan akrab di banyak sudut kota besar di Indonesia. Mereka adalah Pedagang Kaki Lima (PKL), denyut nadi ekonomi rakyat kecil yang tak terpisahkan dari wajah urban. Namun, pemandangan ini seringkali terganggu oleh kehadiran seragam cokelat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang menandakan dimulainya operasi penertiban.

Operasi penertiban PKL adalah sebuah dilema klasik yang selalu menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ia adalah upaya pemerintah untuk menciptakan ketertiban, keindahan, dan kelancaran fungsi kota. Di sisi lain, ia adalah ancaman serius bagi mata pencarian ribuan keluarga yang menggantungkan hidupnya dari jualan di pinggir jalan.

Sisi "Pro": Menuntut Ketertiban dan Fungsi Kota yang Ideal

Bagi sebagian besar warga kota, terutama para pengguna jalan dan pemilik toko resmi, serta pemerintah daerah, penertiban PKL adalah sebuah keniscayaan. Argumen utamanya adalah:

  1. Kelancaran Lalu Lintas dan Pejalan Kaki: PKL seringkali menggunakan trotoar atau bahu jalan, yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki atau jalur kendaraan. Akibatnya, kemacetan tak terhindarkan dan ruang gerak publik menyempit.
  2. Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan: Sampah sisa dagangan, limbah makanan, dan air bekas cuci seringkali dibuang sembarangan, menimbulkan tumpukan sampah dan bau tak sedap yang mengganggu kebersihan dan kesehatan lingkungan.
  3. Estetika Kota: Pemandangan PKL yang menjamur, seringkali dengan tenda seadanya dan barang dagangan yang tak tertata, dianggap merusak keindahan dan citra kota yang modern dan teratur.
  4. Keadilan dan Penegakan Aturan: Pemerintah memiliki regulasi tentang penggunaan fasilitas umum dan perizinan usaha. PKL seringkali beroperasi tanpa izin dan melanggar aturan, sementara toko-toko resmi membayar pajak dan sewa yang mahal. Penertiban dianggap sebagai upaya menegakkan keadilan dan aturan yang berlaku bagi semua.
  5. Keamanan Publik: Beberapa lokasi PKL yang padat juga dapat menimbulkan kerawanan, baik dari sisi keamanan barang dagangan maupun potensi konflik sosial.

Dengan alasan-alasan di atas, operasi penertiban dipandang sebagai langkah penting untuk mengembalikan fungsi ruang publik, menciptakan kota yang nyaman, bersih, dan berwibawa.

Sisi "Kontra": Suara Hati dan Dapur yang Harus Mengepul

Di sisi lain, bagi para PKL dan simpatisan mereka, operasi ini adalah pukulan telak yang seringkali terasa tidak manusiawi. Argumen yang sering diangkat adalah:

  1. Mata Pencarian Utama: Bagi banyak PKL, berjualan di pinggir jalan adalah satu-satunya sumber penghasilan untuk menopang keluarga. Mereka adalah bagian dari sektor informal yang menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal.
  2. Keterbatasan Modal dan Akses: Umumnya, PKL adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan modal terbatas. Menyewa tempat di pasar atau ruko adalah hal yang mustahil bagi mereka. Berjualan di pinggir jalan adalah pilihan terakhir mereka untuk bertahan hidup.
  3. Harga Terjangkau untuk Rakyat Kecil: PKL menyediakan barang dan jasa dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan toko-toko formal. Ini sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
  4. Budaya dan Identitas Kota: Di banyak kota, PKL justru menjadi bagian dari kearifan lokal dan daya tarik tersendiri. Kuliner jalanan dan suasana pasar tumpah seringkali menjadi ikon yang dirindukan dan dicari wisatawan.
  5. Kurangnya Solusi Alternatif yang Manusiawi: Seringkali, penertiban dilakukan tanpa diikuti dengan solusi relokasi yang memadai, akses modal, atau pelatihan keterampilan. PKL digusur, namun tidak diberi jalan keluar untuk melanjutkan hidup. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dan hanya menjadi objek penertiban.

Dari perspektif ini, operasi penertiban seringkali dipandang sebagai tindakan represif yang tidak peka terhadap realitas sosial dan ekonomi masyarakat bawah.

Menuju Solusi yang Berkelanjutan: Mencari Titik Temu

Permasalahan PKL bukanlah hitam-putih. Ini adalah refleksi dari kompleksitas pembangunan kota dan kesenjangan ekonomi. Pemerintah seringkali terjebak dalam pendekatan reaktif dan represif, sementara PKL kembali lagi setelah operasi selesai karena dorongan kebutuhan hidup. Ini adalah siklus yang terus berulang.

Mencari titik temu antara ketertiban kota dan hak atas mata pencarian adalah tantangan besar. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, seperti:

  • Penataan, Bukan Penggusuran Semata: Mengidentifikasi lokasi-lokasi strategis yang bisa menjadi sentra PKL dengan penataan yang rapi, bersih, dan sesuai standar kesehatan.
  • Pembinaan dan Pemberdayaan: Memberikan pelatihan manajemen usaha, akses permodalan mikro, serta pendampingan untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan PKL.
  • Dialog dan Partisipasi: Melibatkan perwakilan PKL dalam proses pengambilan keputusan agar solusi yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
  • Regulasi yang Fleksibel dan Adil: Membuat aturan yang jelas namun tidak memberatkan, serta memberikan kemudahan perizinan bagi PKL yang ingin berdagang di lokasi yang ditentukan.

Operasi penertiban PKL adalah cerminan dari kompleksitas pembangunan kota yang harus menyeimbangkan antara tuntutan modernisasi, ketertiban, dan keindahan, dengan realitas ekonomi dan kemanusiaan warganya. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan kota yang maju dan tertata, tanpa harus mengorbankan "dapur" yang harus tetap mengepul bagi sebagian besar rakyatnya. Mencari "win-win solution" adalah kuncinya, agar kota kita bisa maju tanpa kehilangan kemanusiaannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *