Ketika Badai Menerjang: Politik Bukan Sekadar Kompas, Ia adalah Denyut Nadi dalam Penanganan Krisis
Ketika bumi berguncang hebat, air bah meluap tak terduga, atau pandemi global mengunci kita dalam ketidakpastian, naluri pertama kita mungkin adalah mencari keselamatan, mengulurkan tangan, atau sekadar bertahan. Namun, di balik setiap puing yang tersingkap, setiap tenda pengungsian yang berdiri, dan setiap vaksin yang disuntikkan, ada satu entitas yang tak pernah absen, meski seringkali dibenci: politik.
Banyak yang beranggapan, di tengah krisis, politik seharusnya minggir. "Ini bukan saatnya berpolitik!" teriak kita, berharap masalah murni kemanusiaan bisa diselesaikan tanpa embel-embel kekuasaan, kepentingan, atau tarik-menarik agenda. Namun, pandangan ini adalah sebuah ilusi manis yang berbahaya. Politik, dengan segala kompleksitas dan paradoksnya, bukanlah sekadar "alat" yang bisa disimpan saat keadaan genting. Ia adalah denyut nadi yang tak terpisahkan dari setiap respons besar-besaran, baik dalam kegagalan maupun keberhasilan.
Politik sebagai Kompas yang Kadang Membengkok
Bayangkan sebuah kapal yang dihantam badai. Politik adalah kompasnya, nahkodanya, sekaligus awak kapalnya. Tanpa kompas, kapal akan terombang-ambing tanpa arah. Dalam penanganan krisis, politik menentukan arah: prioritas anggaran, alokasi sumber daya (dari ambulans hingga logistik pangan), pembentukan kebijakan tanggap darurat, hingga koordinasi lintas sektor dan antarlembaga. Ini adalah pekerjaan politik yang esensial, yang jika dilakukan dengan baik, bisa menjadi penyelamat.
Namun, kompas ini seringkali membengkok. Di sinilah letak ironi dan kerapuhan manusiawi. Krisis adalah panggung paling jujur untuk melihat karakter asli sebuah sistem politik dan para pemimpinnya. Ketika nyawa dipertaruhkan, topeng bisa lepas. Kita menyaksikan bagaimana politik bisa berubah menjadi arena perebutan citra alih-alih substansi; dana bantuan yang raib entah ke mana; pembangunan kembali yang mangkrak karena tumpang tindih kepentingan; atau bahkan upaya mempolitisasi duka dan penderitaan untuk keuntungan elektoral.
Dalam skenario terburuk, politik menjadi beban ganda. Ia bukan hanya gagal memberikan solusi, tetapi justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Faksionalisme yang menggerogoti koordinasi, birokrasi yang berbelit-belit, dan keputusan yang lamban karena kalkulasi politik jangka pendek, adalah racun yang bisa memperparah krisis, mengikis kepercayaan publik, dan meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada kerusakan fisik.
Politik sebagai Jangkar, Penjaga Harapan
Di sisi lain, tidak adil jika hanya melihat sisi gelapnya. Politik yang matang, berempati, dan visioner adalah jangkar yang kokoh di tengah badai. Ketika krisis datang, hanya politiklah yang memiliki kapasitas untuk memobilisasi negara seutuhnya: dari tentara yang mengevakuasi, dokter yang mengobati, hingga guru yang mendirikan sekolah darurat. Politik yang baik mampu merajut solidaritas nasional, mengarahkan energi kolektif, dan bahkan merangkul bantuan internasional dengan efisien.
Seorang pemimpin politik yang sejati akan menggunakan krisis sebagai momentum untuk membangun kembali dengan lebih baik. Bukan hanya infrastruktur fisik, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan bahkan moral bangsa. Politik yang efektif akan menetapkan kerangka hukum yang kuat untuk mitigasi bencana, mengalokasikan anggaran untuk riset dan inovasi, serta menciptakan kebijakan yang melindungi kelompok paling rentan. Ini adalah politik yang melihat jauh ke depan, melampaui masa jabatan, untuk menjamin ketahanan bangsa di masa depan.
Krisis sebagai Cermin Telanjang Politik
Pada akhirnya, krisis nasional dan bencana alam adalah cermin telanjang bagi sistem politik kita. Ia menguji kapasitas kepemimpinan, integritas birokrasi, kematangan institusi, dan daya tahan masyarakat sipil dalam menuntut akuntabilitas. Ia memaksa kita untuk melihat bahwa politik bukan hanya tentang pemilu atau perebutan kursi, melainkan tentang pengelolaan kehidupan bersama dalam kondisi ekstrem.
Kita tidak bisa berharap politik lenyap di tengah bencana. Itu sama naifnya dengan berharap badai reda hanya dengan memejamkan mata. Yang bisa kita lakukan adalah menuntut politik yang lebih baik: politik yang menempatkan kemanusiaan di atas segata-galanya, yang mengutamakan data dan sains daripada retorika kosong, dan yang mampu bertransformasi dari sekadar perebutan kekuasaan menjadi pengabdian sejati.
Sebab, ketika badai menerjang, bukan hanya bangunan yang roboh atau nyawa yang melayang, tetapi juga keyakinan kita pada sistem yang seharusnya melindungi kita. Dan di sanalah, di tengah puing-puing dan duka, politik kembali diuji: apakah ia akan menjadi bagian dari masalah, atau justru menjadi denyut nadi harapan yang mengarahkan kita menuju cakrawala baru yang lebih tangguh.











