Perubahan Iklim sebagai Agenda Politik: Antara Pidato Merdu dan Jejak Kaki yang Tak Kunjung Beranjak
Pernahkah Anda merasa bahwa isu perubahan iklim, yang seharusnya menjadi jeritan darurat dari planet kita, kini lebih sering terdengar seperti soundtrack latar belakang dalam sebuah drama politik? Ia muncul di setiap konferensi tingkat tinggi, menghiasi pidato-pidato para pemimpin dunia, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari janji kampanye. Namun, di balik gemuruh retorika dan megahnya deklarasi, bumi kita terus menghangat, es mencair, dan bencana ekologis kian menjadi-jadi. Kita seolah terjebak dalam sebuah tarian tanpa irama: politik menari dengan kata-kata, sementara aksi nyata tersendat-sendat di belakang panggung.
Simfoni Kata-Kata di Podium Dunia
Mengapa perubahan iklim begitu "seksi" dalam kancah politik? Jawabannya kompleks. Pertama, tekanan publik dan ilmiah yang kian masif tak bisa lagi diabaikan. Para politisi, mau tidak mau, harus menunjukkan kepedulian. Kedua, isu ini menawarkan kesempatan untuk "menjual" citra progresif, visioner, dan peduli lingkungan—sebuah aset politik yang berharga di era kesadaran global. Ketiga, ia membuka pintu bagi "ekonomi hijau" yang menjanjikan inovasi, investasi, dan lapangan kerja baru, meskipun transisinya tak semudah membalik telapak tangan.
Maka, lahirlah sebuah simfoni retorika yang indah. Kita mendengar janji "net-zero emissions" pada tahun sekian, komitmen untuk "transisi energi yang adil," atau seruan untuk "membangun kembali dengan lebih baik" (build back better). Delegasi dari berbagai negara berkumpul di kota-kota megah, berdiskusi berhari-hari, menghasilkan dokumen-dokumen setebal kitab suci, dan berakhir dengan tepuk tangan meriah. Sekilas, dunia tampak bersatu, bertekad bulat menghadapi ancaman terbesar abad ini.
Disharmoni Aksi di Balik Layar
Namun, begitu lampu panggung redup dan kamera dimatikan, realitas seringkali jauh dari harapan. Janji-janji manis di podium kerap berbenturan dengan kepentingan ekonomi yang mengakar kuat. Industri bahan bakar fosil, misalnya, dengan lobi-lobi raksasanya, masih memegang kendali yang signifikan. Transisi energi, yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan, seringkali terhambat oleh resistensi dari sektor-sektor yang merasa terancam atau oleh biaya awal yang dianggap terlalu besar.
Di tingkat domestik, siklus politik yang pendek menjadi musuh utama aksi iklim jangka panjang. Seorang pemimpin mungkin berjanji mengurangi emisi, tapi penerusnya mungkin punya prioritas lain yang lebih "populis" atau mendesak secara ekonomi. Subsidi untuk energi terbarukan bisa saja dipangkas, sementara proyek-proyek berbasis bahan bakar fosil tetap berjalan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Rakyat, yang mungkin sudah jenuh dengan janji-janji, bisa jadi kehilangan kepercayaan, atau bahkan menjadi korban disinformasi yang meremehkan urgensi krisis ini.
Belum lagi masalah geopolitik. Negara maju dan negara berkembang seringkali terjebak dalam perdebatan siapa yang harus menanggung beban lebih besar. Negara berkembang menuntut kompensasi atas kerusakan yang disebabkan oleh industrialisasi negara maju di masa lalu, sementara negara maju khawatir akan dampak ekonomi jika harus membatasi pertumbuhannya demi iklim. Perdebatan tentang "keadilan iklim" seringkali berakhir buntu, mengubah agenda politik menjadi ajang saling tuding daripada kolaborasi.
Jejak Kaki yang Terhenti
Akibatnya, kita melihat paradoks yang menusuk: meskipun kesadaran akan perubahan iklim makin tinggi, laju aksi nyata masih tertinggal jauh. Emisi gas rumah kaca terus meningkat, suhu global terus memecahkan rekor, dan laporan-laporan ilmiah terbaru kian memperingatkan kita akan ambang batas yang hampir terlampaui.
Pidato-pidato merdu itu, pada akhirnya, hanya akan menjadi melodi kosong jika tidak diikuti oleh jejak kaki yang berani melangkah, bahkan berlari. Perubahan iklim bukan lagi isu pinggiran yang bisa dijadikan alat politik semata. Ia adalah ancaman eksistensial yang menuntut keberanian, visi jangka panjang, dan yang terpenting, keselarasan antara apa yang diucapkan di podium dan apa yang benar-benar dilakukan di lapangan.
Tanggung jawab ini tidak hanya berada di pundak para pemimpin politik. Ia juga ada pada kita, sebagai warga negara, untuk terus menuntut akuntabilitas, mendukung kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, dan mengubah gaya hidup kita sendiri. Jangan biarkan bumi ini menjadi panggung kosong tempat politisi berpidato, sementara penonton hanya bisa menyaksikan kehancuran. Sudah saatnya melampaui gemuruh kata-kata, dan benar-benar melangkah. Apakah kita akan menjadi penonton pasif, atau aktor yang mengubah naskah? Pilihan ada di tangan kita.











