Politik Anggaran dalam Isu Pendidikan: Prioritas atau Formalitas?

Menguak Tabir Anggaran Pendidikan: Antara Janji di Atas Kertas dan Realitas di Ruang Kelas

Prioritas Hakiki atau Sekadar Retorika Manis?

Setiap tahun, di setiap mimbar pidato kenegaraan, kita akan mendengar gaung yang sama: "Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa." Sebuah kalimat sakral yang menjadi mantra wajib, seolah menjamin bahwa sektor ini akan selalu berada di garda terdepan prioritas pembangunan. Namun, ketika kita menyelami lebih dalam ke ranah "politik anggaran," khususnya yang menyangkut isu pendidikan, muncullah pertanyaan yang mengusik: Benarkah pendidikan benar-benar menjadi prioritas, ataukah hanya sekadar formalitas yang dihiasi retorika manis?

Politik anggaran bukanlah sekadar permainan angka-angka kering dalam tabel APBN. Ia adalah cerminan paling jujur dari nilai-nilai yang dianut sebuah negara, sebuah dokumen hidup yang merekam kompromi, tarik-ulur kepentingan, visi jangka pendek, dan impian jangka panjang. Di dalamnya, kita bisa membaca dengan jelas: siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan, dan apa yang benar-benar dianggap penting.

Ketika Angka Bertemu Realitas: Prioritas Sejati

Jika pendidikan adalah prioritas hakiki, maka politik anggaran akan menunjukkan beberapa ciri fundamental:

  1. Alokasi yang Substantif dan Strategis: Bukan hanya memenuhi batas minimal konstitusional (misalnya 20% dari APBN/APBD di Indonesia), melainkan alokasi yang secara konsisten meningkat dan dirancang untuk memecahkan masalah-masalah struktural. Ini berarti dana yang cukup untuk gaji guru yang layak, pelatihan berkelanjutan, pembangunan infrastruktur yang merata dan modern, ketersediaan teknologi, hingga riset dan pengembangan kurikulum yang adaptif.
  2. Transparansi dan Akuntabilitas Menyeluruh: Setiap rupiah yang dialokasikan harus dapat dilacak, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga dampak nyatanya. Ini melibatkan partisipasi publik dalam pengawasan, audit yang ketat, dan mekanisme sanksi yang jelas bagi penyalahgunaan dana.
  3. Visi Jangka Panjang: Anggaran pendidikan yang prioritas tidak akan hanya berfokus pada proyek "merah putih" yang cepat terlihat hasilnya untuk kepentingan politik elektoral. Ia akan membiayai program-program yang dampaknya mungkin baru terasa satu atau dua dekade mendatang: pengembangan sumber daya manusia unggul, penyiapan generasi emas, atau inovasi yang mendorong daya saing bangsa.
  4. Pemerataan Akses dan Kualitas: Anggaran akan secara eksplisit menargetkan kesenjangan. Dana lebih besar untuk daerah terpencil, sekolah yang tertinggal, atau program beasiswa bagi mereka yang kurang mampu, demi memastikan setiap anak, di mana pun ia berada, memiliki kesempatan yang sama.

Atau Sekadar Formalitas di Atas Panggung Sandiwara?

Namun, seringkali kita melihat skenario yang berbeda, di mana pendidikan hanya menjadi formalitas anggaran:

  1. Permainan Angka di Balik 20%: Alokasi 20% adalah amanat konstitusi. Namun, seringkali ia dipenuhi dengan "trik" akuntansi. Gaji guru yang sebenarnya adalah belanja pegawai, dihitung sebagai bagian dari anggaran pendidikan. Dana pembangunan gedung atau infrastruktur yang tidak relevan langsung dengan kualitas pembelajaran, juga ikut dihitung. Hasilnya? Angka terpenuhi, tapi substansi anggaran untuk peningkatan kualitas pendidikan inti (kurikulum, pelatihan inovatif, fasilitas belajar-mengajar) justru minim.
  2. Anggaran Serapan, Bukan Anggaran Dampak: Fokus lebih pada bagaimana dana bisa "habis" terserap, ketimbang bagaimana dana tersebut menciptakan dampak positif yang terukur. Proyek-proyek yang tidak esensial, perjalanan dinas yang berlebihan, atau pengadaan barang yang tidak relevan seringkali menjadi "lubang hitam" penyerap anggaran demi mencapai target serapan.
  3. Prioritas Politis, Bukan Edukatif: Kebijakan anggaran seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. Program-program yang terlihat menarik secara populistik, seperti pembagian seragam gratis atau pembangunan fasilitas yang tampak megah tapi kurang fungsional, lebih diutamakan daripada investasi pada peningkatan kualitas guru atau pengembangan kurikulum yang membutuhkan proses panjang.
  4. Kesenjangan yang Terus Menganga: Meskipun ada alokasi, ketimpangan kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan, atau antara sekolah negeri dan swasta, tetap menjadi luka menganga. Ini menunjukkan bahwa anggaran belum sepenuhnya menjadi instrumen untuk menciptakan pemerataan.

Politik di Balik Angka

Mengapa dilema ini terus berulang? Jawabannya terletak pada "politik" itu sendiri. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan hasilnya tidak bisa dipanen dalam satu atau dua periode jabatan politik. Proyek-proyek infrastruktur fisik, misalnya, cenderung lebih populer secara elektoral karena hasilnya cepat terlihat dan dapat diresmikan dengan gegap gempita.

Selain itu, sektor pendidikan memiliki banyak "pemain": Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, pemerintah daerah, DPR/DPRD, berbagai organisasi guru, yayasan, hingga kepentingan-kepentingan pengadaan barang dan jasa. Setiap pemain memiliki agenda dan kepentingannya sendiri, yang tak jarang bertabrakan.

Lantas, Siapa yang Rugi?

Ketika pendidikan hanya menjadi formalitas anggaran, yang rugi bukanlah angka-angka di atas kertas, melainkan masa depan generasi kita. Kita akan menghasilkan lulusan yang kurang kompetitif, kesenjangan sosial yang makin melebar, dan pada akhirnya, menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan di mana retorika "pendidikan adalah prioritas" terus diucapkan, sementara realitasnya pendidikan hanya menjadi alat pemenuhan syarat belaka.

Sudah saatnya kita sebagai masyarakat tidak hanya terpukau oleh persentase anggaran yang dialokasikan, melainkan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan yang terpenting, dampak nyata dari setiap rupiah yang dikeluarkan untuk pendidikan. Mari kita dorong politik anggaran pendidikan agar benar-benar mencerminkan prioritas hakiki, bukan sekadar panggung sandiwara formalitas. Karena sejatinya, masa depan bangsa ini dipertaruhkan di setiap keputusan anggaran yang kita buat hari ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *