Politik Anti-Imigrasi: Ketika ‘Gerbang’ Berbalik Arah di Negara Berkembang
Ketika kita berbicara tentang politik anti-imigrasi, bayangan yang sering muncul adalah benteng-benteng kokoh di negara-negara maju – tembok perbatasan di Eropa, retorika keras di Amerika Utara, atau pembatasan ketat di Australia. Namun, sebuah fenomena yang tak kalah mencengangkan, dan ironisnya sering terabaikan, adalah gelombang pasang populisme anti-imigrasi yang kini merangkak naik di negara-negara berkembang itu sendiri. Ini bukan sekadar tiruan dari Barat, melainkan sebuah simfoni kompleks yang dimainkan dengan nada-nada lokal yang unik dan memilukan.
Mengapa fenomena ini kini merangkak naik di negara-negara yang secara historis sering menjadi ‘pengekspor’ migran, bahkan mengandalkan remitansi dari diaspora mereka di luar negeri? Jawabannya tersembunyi dalam pola mosaik yang rumit dari tekanan ekonomi, identitas yang rapuh, dan instrumentalisasi politik yang cerdik.
Sebuah Cermin Retak: Dari Sumber Menjadi Sasaran
Negara-negara berkembang, yang seringkali menjadi ‘titik tolak’ bagi jutaan warganya yang mencari penghidupan lebih baik di tempat lain, kini mendapati diri mereka sebagai ‘titik singgah’ atau bahkan ‘titik akhir’ bagi gelombang migran dari negara tetangga yang lebih miskin, atau dari wilayah yang dilanda konflik dan bencana iklim. Migrasi ‘Selatan-Selatan’ ini, yang seringkali kurang formal, lebih cair, dan kurang terdata, menjadi lahan subur bagi narasi populisme.
Di kota-kota padat yang sudah bergulat dengan pengangguran tinggi, infrastruktur yang bobrok, dan layanan publik yang kewalahan, kedatangan ‘orang luar’ – entah itu pengungsi perang, pencari suaka lingkungan, atau buruh migran ekonomi – seringkali dipersepsikan sebagai ancaman langsung. Bukan sekadar sentimen xenofobia murni, namun juga kecemasan eksistensial tentang jatah sumber daya yang semakin menipis: air bersih, lahan pertanian, lapangan kerja di sektor informal, hingga ruang di sekolah dan rumah sakit.
Populisme Berwajah Lokal: Menjual Solusi Sederhana untuk Masalah Kompleks
Para politisi populis di negara berkembang melihat celah emas dalam kegelisahan ini. Mereka menawarkan musuh bersama yang mudah disalahkan: "mereka yang datang dari seberang perbatasan." Narasi yang diusung pun sederhana namun ampuh: "Orang asing ini mengambil pekerjaan kita," "Mereka membebani anggaran negara," "Mereka membawa penyakit atau kriminalitas," atau bahkan "Mereka mengancam budaya dan identitas kita."
Berbeda dengan di Barat di mana seringkali ada perdebatan tentang integrasi dan multikulturalisme, di banyak negara berkembang, wacana ini langsung melompat ke arah penolakan total. Kurangnya kerangka hukum yang kuat untuk migrasi, lemahnya kapasitas institusi untuk mengelola arus manusia, serta perbatasan yang keropos, semakin memperparah situasi. Para migran, tanpa status hukum yang jelas, seringkali menjadi sasaran empuk eksploitasi dan kambing hitam politik.
Uniknya, narasi ini seringkali berbenturan dengan kenyataan pahit bahwa negara-negara ini sendiri adalah ‘pengekspor’ migran. Ironi yang menggigit: bagaimana bisa sebuah negara yang mengandalkan remitansi dari warganya di luar negeri, kini menolak mereka yang mencari perlindungan atau penghidupan di tanahnya sendiri? Ini adalah paradoks yang menguji kedalaman empati dan konsistensi moral sebuah bangsa.
Dampak yang Menggerogoti: Kemanusiaan di Ujung Tanduk
Konsekuensi dari politik anti-imigrasi di negara berkembang ini jauh lebih mengerikan. Tanpa jaring pengaman sosial yang kuat atau sistem perlindungan hukum yang memadai, para migran seringkali terdampar dalam kondisi yang tidak manusiawi. Kekerasan, diskriminasi, deportasi massal yang tidak terkoordinir, hingga perdagangan manusia, menjadi pemandangan yang lazim.
Ekonomi informal, yang menjadi tulang punggung banyak negara berkembang, juga terpengaruh. Migran sering mengisi celah pekerjaan yang tidak diminati warga lokal atau menjadi tenaga kerja murah yang menggerakkan sektor-sektor tertentu. Pengusiran mereka tidak selalu berarti lapangan kerja untuk warga lokal, melainkan seringkali berarti hilangnya tenaga kerja penting dan potensi ekonomi.
Pada akhirnya, politik anti-imigrasi di negara berkembang adalah cerminan dari kegagalan sistemik yang lebih besar: ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan kesejahteraan bagi warganya sendiri, ketimpangan ekonomi yang merajalela, serta minimnya pendidikan yang menumbuhkan toleransi dan pemahaman. Migran menjadi ‘pedang bermata dua’ – di satu sisi dituding sebagai penyebab masalah, di sisi lain menjadi korban dari masalah yang sebenarnya lebih kompleks.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa populisme, dalam segala bentuknya, adalah virus yang dapat bermutasi dan beradaptasi dengan kondisi lokal. Di negara berkembang, ia menemukan lahan subur dalam keputusasaan dan ketidakpastian, membelah masyarakat dan menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan universal. Memahami tren unik ini bukan hanya penting untuk migrasi, tetapi untuk masa depan demokrasi dan stabilitas global itu sendiri. Di tengah badai populisme yang menggerogoti, kemanusiaan kita diuji.











