Politik Anti-Korupsi: Antara Ikrar Suci dan Sandiwara Panggung
Di panggung politik yang riuh, tak ada melodi yang lebih merdu di telinga publik selain janji memberantas korupsi. Ia adalah mantra paling mujarab, jubah kesatria paling berkilau, dan tiket emas menuju singgasana kekuasaan. Setiap kampanye, setiap pidato kenegaraan, pasti menyematkan diksi "anti-korupsi" sebagai pilar utama. Namun, di balik gelegar retorika itu, seringkali tersembunyi sebuah pertanyaan getir: Seberapa tulus komitmen itu? Atau, jangan-jangan, ia hanyalah sandiwara panggung yang dirancang apik untuk memuaskan dahaga keadilan sesaat, lalu menguap begitu tirai ditutup?
Politik anti-korupsi memiliki dua wajah yang kontras, seringkali saling bertumpang tindih hingga sulit dibedakan. Wajah pertama adalah ikrar suci, sebuah komitmen sejati untuk membersihkan tiran di dalam sistem. Ini adalah perjuangan yang pahit, membutuhkan keberanian luar biasa, dan seringkali mengorbankan popularitas atau bahkan nyawa. Komitmen ini termanifestasi dalam reformasi struktural yang mendalam: penegakan hukum tanpa pandang bulu, penguatan lembaga anti-korupsi, transparansi anggaran, perlindungan pelapor (whistleblower), dan pendidikan etika sejak dini. Ia adalah upaya sistematis untuk mencabut akar-akar korupsi yang telah membusuk, bukan sekadar memangkas rantingnya.
Namun, ada wajah kedua yang tak kalah mahir memainkan peran: sandiwara panggung. Di sini, anti-korupsi menjadi sebuah performance art politik. Para aktornya piawai berteriak lantang tentang kebobrokan moral, menunjuk hidung lawan politik, bahkan tak segan-segan melakukan "pembersihan" yang spektakuler—tentu saja, dengan target yang sudah dipilih. Tujuannya bukan semata membersihkan negara, melainkan membersihkan jalan menuju kekuasaan, menyingkirkan rival, atau mengalihkan perhatian publik dari isu-isu krusial lainnya.
Ciri khas sandiwara ini adalah sifatnya yang selektif. Penegakan hukum menjadi pisau bedah yang hanya tajam di satu sisi, membiarkan luka-luka di sisi lain tak tersentuh. Kampanye anti-korupsi seringkali bergaung paling keras menjelang pemilihan umum, atau saat ada krisis kepercayaan publik. Setelah tujuannya tercapai, gaungnya meredup, atau bahkan berbalik arah menjadi pelindung bagi praktik-praktik kotor yang baru. Ini adalah paradoks tragis: alat untuk melawan korupsi justru dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan yang korup.
Maka, kita sebagai penonton di panggung besar politik ini, dituntut untuk memiliki mata elang dan telinga tajam. Jangan sampai kita tertipu oleh gemerlapnya panggung dan riuhnya tepuk tangan. Ujian sesungguhnya dari komitmen anti-korupsi bukanlah seberapa keras teriakannya, melainkan seberapa konsisten tindakannya. Bukan seberapa banyak kepala yang digantung, melainkan seberapa kokoh sistem yang dibangun.
Pertanyaan yang harus terus kita ajukan adalah: Apakah janji anti-korupsi ini dibuktikan dengan kebijakan yang substantif, ataukah hanya retorika yang berulang? Apakah ada kemauan politik untuk menyentuh "raja-raja kecil" di balik layar, atau hanya menumbalkan "pion-pion" di garis depan? Apakah ia menghasilkan perubahan sistemik yang abadi, atau hanya efek kejut sesaat yang lantas hilang ditelan kebisuan?
Politik anti-korupsi yang sejati adalah maraton panjang yang melelahkan, bukan sprint pendek yang heroik. Ia adalah proses pembangunan integritas yang tak pernah usai, membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, bukan hanya dari para politisi di atas panggung. Tanpa komitmen yang teguh dan tanpa kepura-puraan yang tersingkap, janji memberantas korupsi akan selamanya menjadi bisikan kosong yang lenyap ditiup angin, meninggalkan kita dalam lingkaran setan harapan yang tak kunjung terwujud.











