Politik dan Industri Kreatif: Membangun Ekonomi atau Menambah Beban?

Ketika Jas dan Jeans Berdialog: Politik, Industri Kreatif, dan Pertaruhan Ekonomi Bangsa

Di lorong-lorong kekuasaan, di antara meja-meja berdebu dan tumpukan berkas kebijakan, seringkali muncul istilah yang terasa asing, bahkan sedikit eksotis: "Industri Kreatif." Ia berkelebat dalam pidato-pidato visioner, menjadi janji manis yang diulang-ulang, seolah kuncup bunga yang siap mekar menjadi pohon uang. Namun, bagi sebagian besar seniman, desainer, musisi, atau content creator yang sehari-hari berkutat dengan ide, kegagalan, dan secangkir kopi dingin, istilah itu kadang terasa seperti fatamorgana.

Pertanyaannya kemudian, apakah "perkawinan" politik dan industri kreatif ini sungguh-sungguh akan membangun ekonomi, atau justru sekadar menambah beban, baik bagi negara maupun para kreator itu sendiri?

Gemuruh Janji dan Potensi Emas

Mari kita akui, di atas kertas, industri kreatif adalah tambang emas yang belum tergali sepenuhnya. Bayangkan: sebuah negara yang tidak hanya mengekspor komoditas mentah, tetapi juga cerita, musik, film, desain, kuliner, dan brand yang mampu menggetarkan dunia. Ini bukan lagi sekadar pendapatan devisa, melainkan "soft power" yang tak ternilai.

Indonesia, dengan segala kekayaan budayanya, adalah lumbung ide yang tak ada habisnya. Dari tenun ikat hingga batik modern, dari resep rendang hingga fusion cuisine kekinian, dari irama gamelan hingga indie pop yang merajai tangga lagu, potensi itu menjerit minta diolah. Industri kreatif mampu menciptakan lapangan kerja, menggerakkan pariwisata, merangsang inovasi, dan yang terpenting, membangun identitas bangsa yang unik di mata dunia. Ketika politik datang membawa payung kebijakan, dukungan modal, dan akses pasar, harapannya adalah semua potensi ini bisa terakselerasi, menjadi mesin pendorong ekonomi baru yang berkelanjutan.

Bayangan di Balik Panggung: Beban atau Belenggu?

Namun, realitas tidak selalu seindah PowerPoint presentation di hadapan investor. Politik dan industri kreatif seringkali seperti dua entitas yang berbicara dalam bahasa berbeda. Politisi melihat angka, regulasi, dan proyek mercusuar. Kreator melihat kebebasan berekspresi, orisinalitas, dan ruang untuk bernapas.

Di sinilah beban itu bisa muncul:

  1. Pemahaman yang Miskin: Seringkali, politik memandang industri kreatif sebagai "hiburan semata" atau "pelengkap," bukan sektor ekonomi strategis. Akibatnya, kebijakan yang muncul sporadis, dangkal, atau bahkan kontradiktif. Dana kucuran seringkali bersifat proyek musiman, bukan investasi jangka panjang dalam ekosistem.
  2. Birokrasi yang Menjerat: Alih-alih mempermudah, politik kadang justru menambah belenggu birokrasi. Perizinan yang ruwet, hak cipta yang lemah dalam penegakan, atau pajak yang tidak relevan dengan model bisnis kreatif, bisa membunuh inisiatif sejak awal.
  3. Tokenisme dan Politik Pencitraan: Dukungan politik seringkali berhenti pada tataran seremonial. Peresmian galeri, festival yang megah namun tanpa keberlanjutan, atau foto bersama selebriti, lebih sering menjadi alat pencitraan daripada dukungan substansial yang dibutuhkan para pelaku industri.
  4. Intervensi yang Keliru: Dalam semangat "mengatur," politik bisa terjebak dalam upaya mengarahkan atau bahkan mengontrol arah kreativitas. Padahal, inti dari industri ini adalah kebebasan untuk bereksplorasi. Ketika sensor atau batasan ide terlalu kuat, kreativitas akan layu sebelum berkembang.
  5. Kesenjangan Akses: Kebijakan mungkin terlihat indah di pusat, namun tak sampai ke daerah-daerah. Infrastruktur digital yang belum merata, akses permodalan yang sulit, atau pelatihan yang tidak relevan, menjadi tembok tebal bagi kreator di luar kota besar.

Mencari Titik Temu: Dari Beban Menjadi Kekuatan

Jadi, apakah ini sebuah proyek sia-sia? Tentu saja tidak. Potensi itu terlalu besar untuk diabaikan. Yang dibutuhkan adalah pergeseran paradigma, sebuah jembatan yang kokoh antara dunia jas dan jeans.

  1. Dialog yang Jujur dan Setara: Politik harus berhenti memandang kreator sebagai objek yang diberi "bantuan," melainkan sebagai mitra strategis. Libatkan mereka dalam perumusan kebijakan, dengarkan aspirasi, dan pahami ekosistem mereka dari dalam.
  2. Kebijakan Komprehensif dan Berkelanjutan: Bukan sekadar proyek, melainkan ekosistem. Ini berarti dukungan pada pendidikan kreatif, perlindungan hak cipta yang kuat, kemudahan akses permodalan (bukan hanya hibah, tapi juga skema pinjaman yang relevan), insentif pajak yang tepat, serta infrastruktur digital dan fisik yang memadai.
  3. Fasilitator, Bukan Regulator Berlebihan: Peran politik seharusnya menjadi fasilitator, membuka jalan, menghilangkan hambatan, dan melindungi, bukan mengintervensi atau membelenggu. Biarkan pasar dan kreativitas menemukan jalannya sendiri, dengan rambu-rambu yang jelas dan adil.
  4. Investasi Jangka Panjang pada Talenta: Ini berarti investasi pada sekolah seni, inkubator kreatif, program residensi, dan kesempatan bagi talenta muda untuk belajar dan berkarya tanpa harus khawatir soal biaya hidup atau masa depan.
  5. Membangun Narasi Bangsa: Politik dan industri kreatif bisa bersinergi membangun narasi besar tentang Indonesia. Bukan sekadar menjual produk, tapi menjual cerita, nilai, dan keunikan yang tak dimiliki bangsa lain.

Penutup: Sebuah Pilihan, Sebuah Pertaruhan

Pada akhirnya, pertanyaan apakah politik dan industri kreatif akan membangun ekonomi atau menambah beban, bukanlah pertanyaan hitam-putih. Ini adalah sebuah pilihan, sebuah pertaruhan. Jika politik mampu melihat melampaui angka-angka jangka pendek dan memahami denyut nadi kreativitas, jika ia mau mendengarkan dan berkolaborasi secara tulus, maka industri kreatif akan menjadi kekuatan dahsyat yang mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Namun, jika politik hanya melihatnya sebagai alat pencitraan, ladang proyek, atau sekadar urusan pinggiran, maka industri kreatif akan terus berjuang sendirian, terkadang justru terbebani oleh niat baik yang keliru. Masa depan ekonomi kita, dan bahkan identitas kita di panggung global, mungkin bergantung pada bagaimana dialog antara jas dan jeans ini akan berlanjut. Apakah kita akan sekadar menjadi penonton drama ini, atau justru turut menulis naskah masa depan yang gemilang?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *