Politik dan Kearifan Lokal: Menyatukan Tradisi dan Kebijakan Modern – Sebuah Harmoni yang Hilang dan Harus Ditemukan Kembali
Di tengah hiruk-pikuk era globalisasi, di mana kecepatan dan efisiensi menjadi mantra suci, seringkali kita melihat jurang pemisah yang menganga antara kebijakan modern yang serba terstruktur dan kearifan lokal yang berakar kuat pada tradisi. Politik, sebagai mesin penggerak tata kelola, acapkali cenderung mengabaikan "suara" dari tanah dan leluhur, padahal di sanalah tersembunyi kunci menuju keberlanjutan, keadilan, dan identitas sejati suatu bangsa.
Kearifan lokal bukanlah sekadar serangkaian ritual kuno atau cerita usang yang diwariskan turun-temurun. Ia adalah sebuah filosofi hidup, cetak biru keberlanjutan, sistem pengelolaan sumber daya alam, dan mekanisme resolusi konflik yang telah teruji zaman. Dari Subak di Bali yang mengatur irigasi secara adil, Sasi di Maluku yang menjaga kelestarian laut dan hutan, hingga Musyawarah Mufakat yang menjadi denyut nadi pengambilan keputusan kolektif di berbagai suku di Nusantara, semua adalah manifestasi nyata dari politik yang berakar pada nilai-nilai komunal dan ekologis.
Namun, laju modernisasi politik seringkali bergerak dalam lintasan yang berbeda. Dengan pendekatan yang cenderung top-down, seragam, dan berbasis indikator ekonomi semata, banyak kebijakan modern justru menggerus struktur sosial dan ekologi yang telah lama dijaga oleh kearifan lokal. Tanah adat berubah menjadi konsesi, hutan dijaga oleh patroli ketimbang oleh penjaga adat, dan konflik diselesaikan di meja pengadilan yang asing bagi masyarakat, bukan di balai desa melalui dialog kekeluargaan. Akibatnya? Kebijakan menjadi mandul, legitimasi pemerintah dipertanyakan, dan yang paling parah, masyarakat kehilangan pegangan pada identitasnya sendiri.
Maka, pertanyaan besarnya adalah: bisakah kita menyatukan dua dunia ini? Bisakah politik modern, dengan segala instrumen hukum dan birokrasinya, belajar dari kebijaksanaan yang telah dipatri dalam jiwa komunitas selama berabad-abad? Jawabannya adalah, bukan hanya bisa, melainkan harus.
Menyatukan tradisi dan kebijakan modern bukanlah sebuah kemunduran atau nostalgia buta. Sebaliknya, ia adalah sebuah lompatan ke depan, sebuah inovasi sejati dalam tata kelola. Bayangkan sebuah kebijakan agraria yang tidak hanya mengakui hak kepemilikan formal, tetapi juga menghormati ulayat dan sistem bagi hasil yang telah lama dipraktikkan. Atau program lingkungan yang tidak sekadar menanam pohon, tetapi juga memberdayakan kembali mekanisme Sasi atau penjaga hutan adat yang memahami setiap jengkal wilayahnya.
Bagaimana caranya?
- Mendengarkan dan Belajar: Langkah pertama adalah politik yang mau merendahkan diri dan mendengarkan. Melakukan konsultasi yang bermakna, bukan sekadar formalitas, dengan para pemangku adat, tokoh masyarakat, dan komunitas lokal. Memahami logika di balik setiap praktik tradisional.
- Legitimasi Institusi Adat: Mengakui dan mengintegrasikan institusi adat ke dalam struktur pemerintahan modern, bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai mitra sejajar. Memberdayakan kembali peran kepala adat, dewan suku, atau lembaga-lembaga tradisional dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan wilayah dan kehidupan mereka.
- Menerjemahkan Kearifan menjadi Kebijakan: Ini adalah tantangan terbesar. Bagaimana prinsip Musyawarah Mufakat diterjemahkan menjadi mekanisme partisipasi publik yang efektif? Bagaimana semangat Gotong Royong menjadi program pembangunan yang melibatkan masyarakat secara aktif? Ini membutuhkan kreativitas, fleksibilitas, dan kemampuan untuk melihat esensi di balik bentuk.
- Pendidikan dan Kesadaran: Mendidik para pembuat kebijakan, birokrat, bahkan masyarakat luas tentang nilai-nilai dan potensi kearifan lokal. Menunjukkan bahwa ini bukan tentang "yang lama vs. yang baru," melainkan tentang "yang terbaik dari keduanya."
- Pilot Project dan Inkubator Kebijakan: Mengadakan proyek-proyek percontohan di mana kebijakan modern diujicobakan dengan integrasi kearifan lokal. Membangun "inkubator kebijakan" di mana para ahli, aktivis adat, dan pemerintah dapat berkolaborasi menciptakan model-model tata kelola hibrida.
Menyatukan politik dan kearifan lokal adalah upaya merajut kembali benang-benang identitas yang terurai. Ia adalah pencarian harmoni antara akal dan hati, antara hukum tertulis dan etika tak tertulis, antara kemajuan dan akar. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan tradisi, melainkan tentang membangun masa depan yang lebih kokoh, adil, dan berkesinambungan – sebuah politik yang tidak hanya efektif di atas kertas, tetapi juga berakar kuat di hati dan tanah bangsanya. Sebuah politik yang memiliki jiwa.











