Politik dan Kepastian Hukum: Dua Kutub yang Dipaksa Berpelukan (atau Saling Menjauh?)
Manusia mendambakan keteraturan. Dalam benak kita, hukum adalah kompas moral, penentu batas, dan jaring pengaman yang memastikan setiap langkah kita memiliki pijakan yang jelas. Namun, di sisi lain, ada politik: arena pertarungan gagasan, kepentingan, dan kekuasaan yang dinamis, seringkali bergejolak, dan tak jarang menuntut kelenturan demi mencapai tujuan. Pertanyaannya kemudian mengemuka, dan semakin relevan di tengah hiruk-pikuk zaman ini: Apakah politik dan kepastian hukum masih bisa sejalan, ataukah mereka ditakdirkan untuk saling menarik dalam arah yang berlawanan?
Secara ideal, politik dan kepastian hukum adalah dua sisi mata uang yang sama. Politik seharusnya menjadi arsitek yang merancang bangunan keadilan, sementara hukum adalah fondasi kokoh yang menopang dan memberikan legitimasi pada setiap kebijakan yang lahir dari rahim politik. Sebuah sistem politik yang sehat akan menghasilkan hukum yang adil dan berlaku universal, serta menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum. Sebaliknya, kepastian hukum yang kuat akan menciptakan stabilitas yang memungkinkan politik bergerak maju, menarik investasi, dan membangun kepercayaan publik. Mereka adalah simbiosis mutualisme yang esensial bagi kemajuan sebuah peradaban.
Namun, idealisme seringkali kandas di hadapan realitas. Politik, dengan sifatnya yang pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan, memiliki godaan yang memabukkan untuk "membengkokkan" hukum. Demi elektabilitas, kepentingan kelompok, atau bahkan ambisi pribadi, prinsip-prinsip hukum bisa diinterpretasikan secara lentur, diabaikan, atau bahkan dimanipulasi melalui celah-celah legislasi. Ketika hukum bukan lagi pedoman yang tak tergoyahkan, melainkan alat tawar-menawar politik, di situlah keretakan mulai muncul.
Bayangkanlah sebuah jembatan. Politik adalah upaya membangun jembatan itu, menghubungkan dua titik yang terpisah. Kepastian hukum adalah kualitas material, kekuatan rancangan, dan ketegasan aturan konstruksi yang menjamin jembatan itu aman dilalui. Jika politik, demi kecepatan atau biaya, memilih material yang rapuh atau mengabaikan standar keselamatan, jembatan itu mungkin berdiri, tapi ia rapuh, berbahaya, dan tidak akan bertahan lama. Demikian pula, ketika politik mencoba mempercepat proses atau mempermudah jalan dengan menyingkirkan atau meremehkan kepastian hukum, yang tercipta adalah jalan pintas yang berujung pada ketidakpastian, kecurigaan, dan pada akhirnya, krisis kepercayaan.
Mengapa Keduanya Kian Terasa Sulit Sejalan?
- Politik Identitas dan Populisme: Dalam iklim politik yang didominasi oleh identitas dan populisme, hukum seringkali menjadi medan pertempuran. Keputusan hukum yang dianggap tidak menguntungkan kelompok tertentu dapat dengan mudah dicap sebagai "konspirasi" atau "ketidakadilan," mengikis wibawa lembaga peradilan.
- Godaan Kekuasaan Absolut: Bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan, godaan untuk menempatkan diri di atas hukum adalah nyata. Mekanisme check and balance yang seharusnya menjadi pengawal kepastian hukum seringkali diuji, bahkan dilemahkan, melalui berbagai manuver politik.
- Fragmentasi dan Polarisasi: Masyarakat yang terfragmentasi dan terpolarisasi cenderung melihat hukum dari kacamata kepentingan kelompok mereka. Ini mempersulit penerimaan terhadap putusan hukum yang tidak sejalan dengan agenda politik mereka, menciptakan siklus ketidakpuasan dan delegitimasi.
- Kecepatan Informasi dan Sentimen Publik: Di era digital, sentimen publik bisa terbentuk dan menyebar dengan sangat cepat. Tekanan opini publik, yang seringkali belum sepenuhnya memahami konteks hukum, dapat mempengaruhi proses politik dan bahkan mengintervensi independensi hukum.
Masih Adakah Harapan?
Pertanyaan "apakah masih bisa sejalan?" bukanlah tentang pilihan biner antara ya atau tidak, melainkan tentang sebuah perjuangan abadi. Keduanya harus sejalan jika kita menginginkan masyarakat yang adil, stabil, dan sejahtera. Jawabannya terletak pada komitmen kolektif:
- Penguatan Institusi: Membangun lembaga peradilan yang benar-benar independen, legislatif yang berintegritas, dan eksekutif yang taat asas adalah kunci. Institusi yang kuat berfungsi sebagai jangkar moral di tengah badai politik.
- Pendidikan Politik dan Hukum: Masyarakat harus dididik untuk memahami pentingnya kepastian hukum, tidak hanya sebagai alat untuk menghukum, tetapi sebagai fondasi kebebasan dan keadilan bagi semua. Pemahaman ini akan menjadi benteng terhadap upaya-upaya politik yang meremehkan hukum.
- Pemimpin yang Berjiwa Kenegarawanan: Kita membutuhkan pemimpin yang melihat melampaui masa jabatan, yang memahami bahwa warisan sejati adalah institusi yang kuat dan kepastian hukum yang tegak, bukan hanya pencapaian politik jangka pendek.
- Peran Aktif Masyarakat Sipil dan Media: Pers yang bebas dan masyarakat sipil yang kritis adalah "mata dan telinga" yang tak henti mengawasi, mengingatkan, dan menyuarakan ketidakadilan, menjaga agar api perjuangan untuk kepastian hukum tetap menyala.
Pada akhirnya, politik dan kepastian hukum adalah dua kutub yang dipaksa berpelukan demi kesejahteraan bersama. Pelukan itu bisa menjadi erat dan harmonis, atau justru saling menjauhkan hingga menimbulkan keretakan. Pilihan ada di tangan kita, pada setiap kebijakan yang dibuat, setiap putusan yang diambil, dan setiap suara yang disuarakan. Tugas kita adalah memastikan bahwa jembatan antara politik dan hukum dibangun dengan kokoh, bukan dengan tergesa-gesa apalagi dengan mengabaikan prinsip. Karena tanpa kepastian hukum, politik akan menjadi liar; dan tanpa politik, hukum akan menjadi usang.











