Politik Agraria: Ketika Tanah Berbicara, Kekuasaan Menjawab dengan Dalih Pembangunan
Lebih dari sekadar hamparan fisik, tanah adalah nadi kehidupan, akar budaya, dan cermin peradaban sebuah bangsa. Di dalamnya tersimpan sejarah, cita-cita, dan masa depan. Namun, di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, tanah juga merupakan arena pertarungan tak berkesudahan, medan konflik yang memilukan, di mana kepentingan agraria seringkali harus tunduk pada bayang-bayang kekuasaan yang kejam dan tak terlihat.
Konflik agraria bukanlah sekadar sengketa batas atau perebutan hak milik semata. Ia adalah manifestasi kompleks dari interaksi antara politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Di balik setiap petak lahan yang diperebutkan, ada narasi tentang pembangunan yang diagungkan, investasi yang dijanjikan, dan di sisi lain, ada jeritan petani, masyarakat adat, atau warga miskin kota yang tergusur dari tanah leluhur atau tempat tinggal mereka.
Narasi Pembangunan: Pedang Bermata Dua
Sejak era kemerdekaan, bahkan jauh sebelum itu, tanah selalu menjadi objek vital. Namun, pasca-kemerdekaan, terutama di era pembangunan masif, narasi "pembangunan nasional" menjadi mantra ampuh yang seringkali membenarkan pengambilalihan lahan berskala besar. Proyek-proyek infrastruktur, perkebunan monokultur, pertambangan, hingga kawasan industri raksasa, kerap kali mengklaim superioritas atas hak-hak tradisional atau hak milik individu yang lebih lemah.
Ironisnya, seringkali pembangunan yang dijanjikan tidak selalu dinikmati oleh mereka yang tanahnya direbut. Mereka yang digusur hanya menerima ganti rugi yang tak sepadan—jika pun ada—dan terlempar ke pinggiran, kehilangan mata pencarian, identitas, bahkan harga diri. Tanah yang semula adalah sumber kemandirian, kini berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan, diperjualbelikan dengan harga fantastis oleh segelintir elite.
Mekanisme Kekuasaan dalam Konflik Lahan
Kekuasaan, dalam berbagai bentuknya—politik, ekonomi, bahkan narasi—berperan sebagai arsitek sekaligus algojo dalam drama agraria ini.
-
Regulasi dan Legalitas yang Bias: Hukum agraria di banyak negara, meskipun idealnya melindungi hak rakyat, seringkali memiliki celah atau interpretasi yang bisa dimanfaatkan. Undang-undang sektoral yang tumpang tindih, perizinan yang kompleks, atau bahkan revisi regulasi yang mendadak, bisa menjadi alat legalisasi penggusuran. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi pelindung, tak jarang menjadi fasilitator bagi investasi besar, seringkali dengan iming-iming Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau dorongan pusat.
-
Kekuatan Ekonomi dan Kapital: Para pemodal besar, baik domestik maupun asing, memiliki daya tawar yang jauh lebih kuat. Dengan modal yang tak terbatas, mereka bisa menyewa pengacara terbaik, melobi pejabat, dan bahkan, tak jarang, melibatkan aparat keamanan untuk menekan masyarakat. Harga tanah yang melambung tinggi di pasar spekulatif semakin memperparah keadaan, menjadikan tanah sebagai instrumen akumulasi kapital, bukan lagi sebagai basis produksi atau tempat tinggal.
-
Aparat Penegak Hukum dan Kekerasan Struktural: Dalam banyak kasus konflik agraria, aparat keamanan—polisi atau militer—seringkali hadir bukan sebagai penengah netral, melainkan sebagai "pengawal" kepentingan investor. Kriminalisasi petani yang mempertahankan tanahnya dengan tuduhan merusak, menduduki lahan, atau melawan hukum, adalah praktik yang menyedihkan namun lazim terjadi. Ini adalah bentuk kekerasan struktural, di mana sistem hukum dan keamanan digunakan untuk menindas yang lemah.
-
Narasi dan Propaganda: Kekuasaan juga bekerja melalui narasi. Masyarakat adat yang menolak proyek tambang bisa dicap sebagai "penghambat pembangunan." Petani yang menolak penggusuran dituduh "tidak produktif" atau "menyabotase investasi." Media massa, baik sengaja maupun tidak, seringkali turut membentuk opini publik yang bias, mengaburkan fakta di lapangan.
Wajah Pilu Korban yang Terlupakan
Di balik setiap judul berita tentang proyek raksasa atau pertumbuhan ekonomi, ada wajah-wajah pilu yang jarang terekspos. Ada lansia yang menangis karena sawah warisan leluhurnya kini menjadi jalan tol. Ada ibu-ibu yang kehilangan hutan adat sebagai sumber obat dan pangan. Ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena orang tua mereka kehilangan mata pencarian dan harus berpindah-pindah. Mereka adalah cerminan dari kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan agraria.
Konflik lahan juga merusak tatanan sosial. Komunitas yang semula hidup rukun bisa terpecah belah akibat tawaran kompensasi yang berbeda atau intimidasi. Lingkungan hidup pun menjadi korban, dengan deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai konsekuensi dari eksploitasi lahan yang tak terkendali.
Mencari Keadilan di Tengah Bayangan Kekuasaan
Menyelesaikan konflik agraria bukanlah perkara mudah, sebab ia melibatkan vested interests yang sangat kuat. Namun, bukan berarti mustahil. Kuncinya terletak pada kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Reformasi agraria yang sejati—bukan sekadar bagi-bagi sertifikat—harus mencakup redistribusi lahan, pengakuan hak-hak masyarakat adat, penataan ulang regulasi yang berpihak pada rakyat, serta penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu. Transparansi dalam perizinan dan investasi, serta partisipasi aktif masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan terkait lahan, adalah keniscayaan.
Ketika tanah berbicara tentang sejarah, tentang kehidupan, tentang masa depan, kekuasaan harus menjawab dengan keadilan, bukan dengan dalih pembangunan yang mengorbankan. Sebab, kemajuan sejati sebuah bangsa tidak diukur dari megahnya gedung pencakar langit atau panjangnya jalan tol, melainkan dari seberapa adil dan sejahtera rakyatnya di atas tanah yang mereka pijak. Jika tidak, konflik agraria akan terus menjadi luka menganga dalam tubuh bangsa, sebuah bayang-bayang kelam yang tak kunjung sirna dari cermin kekuasaan.











