Gerbang Digital yang Terkunci: Politik di Balik Ketimpangan Akses Internet di Era Modern
Di tengah gemuruh janji era digital, internet kerap digambarkan sebagai gerbang menuju segala kemungkinan: pendidikan tanpa batas, ekonomi inklusif, demokrasi partisipatif, dan informasi di ujung jari. Namun, di balik narasi optimis itu, tersimpan realitas yang jauh lebih getir. Bagi sebagian besar populasi dunia, gerbang itu masih terkunci, atau setidaknya, sangat sulit dijangkau. Ini bukan sekadar masalah teknis infrastruktur, melainkan sebuah manifestasi politik yang mendalam, sebuah pertarungan tentang siapa yang berhak duduk di meja digital dan siapa yang hanya bisa melihat dari balik jendela.
Internet: Bukan Lagi Kemewahan, Melainkan Hak Asasi yang Terpolitisasi
Mari kita sepakati satu hal: di era ini, internet bukan lagi kemewahan. Ia adalah saluran vital untuk mengakses layanan dasar, mencari pekerjaan, berpartisipasi dalam diskursus publik, bahkan sekadar mendapatkan informasi kesehatan yang akurat. Ketika akses ini timpang, maka ketimpangan sosial-ekonomi yang sudah ada akan semakin menganga.
Di sinilah politik memainkan peran utamanya. Keputusan tentang di mana menara BTS akan dibangun, berapa harga data yang layak, regulasi yang mengatur penyedia layanan, hingga kurikulum literasi digital di sekolah, semuanya adalah produk dari kebijakan dan prioritas politik. Apakah pemerintah melihat internet sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang harus dibuka seluas-luasnya, atau sebagai alat kontrol yang harus dibatasi? Apakah mereka memprioritaskan cakupan luas yang merata atau kecepatan super tinggi di pusat-pusat kota saja? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan nasib jutaan orang.
Wajah Ketimpangan: Bukan Sekadar Jaringan, tapi Juga Dompet dan Pengetahuan
Ketimpangan akses internet bukan berwujud tunggal. Ia memiliki banyak wajah:
- Ketimpangan Geografis: Ini yang paling kasat mata. Saat kota-kota besar menjulang dengan jaringan 5G dan Wi-Fi publik, pelosok desa, daerah terpencil, dan pulau-pulau terluar masih merangkak dengan sinyal putus-putus atau bahkan tanpa akses sama sekali. Ironisnya, di daerah-daerah inilah internet bisa menjadi jembatan satu-satunya menuju dunia luar, untuk pendidikan jarak jauh atau tele-medis.
- Ketimpangan Ekonomi: Bahkan jika infrastruktur tersedia, harga paket data yang mahal atau perangkat keras seperti smartphone dan laptop yang tak terjangkau, menjadi tembok penghalang bagi keluarga berpenghasilan rendah. Internet gratis di ruang publik mungkin menjadi solusi, tapi berapa banyak kota yang benar-benar menyediakannya secara memadai dan aman?
- Ketimpangan Literasi Digital: Ini sering luput dari perhatian. Apa gunanya akses internet jika seseorang tidak memiliki keterampilan dasar untuk menggunakannya secara efektif dan aman? Ancaman hoaks, penipuan online, dan kurangnya pemahaman tentang privasi bisa membuat internet menjadi pedang bermata dua, alih-alih alat pemberdayaan. Politik pendidikan yang abai terhadap literasi digital justru menciptakan "apartheid digital" baru, memisahkan mereka yang cakap dari mereka yang gagap teknologi.
Konsekuensi Politik: Suara yang Terbungkam dan Demokrasi yang Pincang
Dampak dari ketimpangan akses internet ini meresap hingga ke inti sistem politik dan demokrasi kita. Masyarakat yang terisolasi secara digital cenderung kurang terpapar informasi yang beragam, lebih rentan terhadap disinformasi, dan memiliki kesempatan terbatas untuk berpartisipasi dalam diskusi publik atau proses pengambilan keputusan.
Bagaimana kita bisa bicara tentang demokrasi partisipatif jika sebagian warga tidak bisa mengakses informasi tentang calon pemimpin mereka, kebijakan yang diusulkan, atau bahkan cara mendaftar untuk pemilu online? Suara mereka teredam, aspirasi mereka tidak terdengar, dan kepentingan mereka rentan diabaikan oleh para pembuat kebijakan yang mungkin justru diuntungkan oleh kurangnya pengawasan digital. Ini bukan lagi sekadar ketidaknyamanan, melainkan ancaman terhadap fondasi masyarakat yang adil dan inklusif.
Jalan ke Depan: Politik Komitmen, Bukan Sekadar Janji Kampanye
Mengatasi ketimpangan akses internet memerlukan lebih dari sekadar janji kampanye tentang "pemerataan digital." Ini membutuhkan komitmen politik yang kuat untuk melihat internet sebagai infrastruktur sosial yang esensial, sama pentingnya dengan jalan, air bersih, dan listrik.
Para pembuat kebijakan harus berani mengambil langkah konkret:
- Investasi Infrastruktur yang Berpihak: Mengalokasikan anggaran untuk menjangkau daerah paling terpencil, bahkan jika secara ekonomi tidak menguntungkan bagi swasta.
- Regulasi Harga yang Adil: Memastikan bahwa akses internet terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
- Program Literasi Digital Nasional: Menyelenggarakan pelatihan keterampilan digital dari usia dini hingga lansia, agar semua orang bisa memanfaatkan internet dengan bijak dan aman.
- Inisiatif Akses Publik: Memperbanyak titik Wi-Fi gratis dan aman di ruang-ruang publik, perpustakaan, dan pusat komunitas.
Pada akhirnya, bagaimana kita mengatasi ketimpangan akses internet akan menjadi cerminan dari nilai-nilai politik yang kita anut sebagai sebuah bangsa. Apakah kita akan menjadi masyarakat yang terhubung secara inklusif, di mana setiap warga memiliki kesempatan setara di era digital, atau justru menciptakan "apartheid digital" baru yang semakin memperlebar jurang antara yang punya dan yang tidak punya? Pilihan itu ada di tangan para pembuat kebijakan hari ini, dan dampaknya akan menentukan masa depan peradaban kita.


