Politik dan Ketimpangan Wilayah: Apa yang Belum Tuntas?

Bayang-bayang Ketimpangan di Balik Janji Politik: Sebuah Narasi yang Belum Tuntas

Indonesia adalah mozaik yang menawan, sebuah bentangan nusantara yang indah namun menyimpan retakan-retakan ketimpangan yang mendalam. Dari megahnya gedung pencakar langit di ibu kota hingga gubuk-gubuk reot di pedalaman, dari gemerlap pusat perbelanjaan hingga pasar tradisional yang sepi, narasi ketimpangan wilayah adalah melodi minor yang tak pernah benar-benar hilang dari simfoni pembangunan bangsa. Pertanyaannya, dalam pusaran politik yang tak henti berputar, apa sesungguhnya yang belum tuntas dari persoalan pelik ini?

Desentralisasi: Obat Mujarab yang Berubah Wajah

Setelah puluhan tahun pembangunan yang terpusat, harapan disematkan pada desentralisasi dan otonomi daerah. Digadang-gadang sebagai kunci pemerataan, ia seharusnya mendekatkan pelayanan, memberdayakan masyarakat lokal, dan membuka ruang bagi daerah untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, alih-alih menjadi panasea, desentralisasi seringkali menjelma menjadi pisau bermata dua.

Yang belum tuntas adalah transformasi mentalitas politik. Otonomi, dalam banyak kasus, justru melahirkan "raja-raja kecil" baru. Kekuasaan dan anggaran yang didelegasikan seringkali terperangkap dalam lingkaran oligarki lokal, politik dinasti, atau bahkan menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. Fokus pembangunan beralih dari kebutuhan substansial rakyat menjadi proyek-proyek mercusuar yang elektoral, atau sekadar memenuhi ambisi elit daerah. Alih-alih meratakan kue pembangunan, yang terjadi adalah perpindahan pusat ketimpangan dari Jakarta ke ibu kota-ibu kota provinsi atau kabupaten.

Anggaran yang Tersesat dan Prioritas yang Buta

Lihatlah data anggaran daerah. Triliunan rupiah mengalir setiap tahun, namun jurang antara yang kaya dan miskin di daerah tetap menganga. Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan yang layak masih menjadi barang mewah di banyak pelosok. Mengapa?

Yang belum tuntas adalah keberanian politik untuk merombak struktur alokasi anggaran dan memastikan akuntabilitasnya. Seringkali, dana transfer pusat terdistorsi oleh prioritas lokal yang keliru, intervensi kepentingan, atau sekadar lemahnya perencanaan dan pengawasan. Program-program yang digulirkan terkesan parsial, tidak terintegrasi, dan cenderung "musiman" mengikuti siklus politik lima tahunan. Visi jangka panjang untuk membangun kapasitas sumber daya manusia, pendidikan berkualitas, dan ekonomi lokal yang mandiri seringkali kalah bersaing dengan proyek fisik yang lebih "terlihat" dan "menjual" secara politik.

Partisipasi Rakyat: Sekadar Slogan di Atas Kertas?

Dalam setiap pidato politik, partisipasi masyarakat selalu disebut-sebut sebagai pilar demokrasi. Namun, di banyak daerah, suara rakyat pinggiran masih berupa bisikan yang tertelan hiruk-pikuk kepentingan. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang seharusnya menjadi arena aspirasi, tak jarang hanya menjadi formalitas untuk mengesahkan agenda yang sudah disusun dari atas.

Yang belum tuntas adalah pemberdayaan masyarakat sipil yang sesungguhnya. Politik masih enggan membuka ruang seluas-luasnya bagi kontrol sosial yang efektif, kritik konstruktif, dan keterlibatan aktif dari kelompok rentan. Ketimpangan informasi dan akses menjadi tembok tebal yang membatasi partisipasi, membuat rakyat di wilayah terpencil merasa terasing dari proses politik yang seharusnya mewakili mereka. Mereka menjadi objek pembangunan, bukan subjek yang merancang masa depannya.

Dari Pembangunan Fisik ke Pembangunan Jiwa dan Rasa

Pada akhirnya, ketimpangan wilayah bukan sekadar soal angka GDP per kapita atau panjang jalan yang dibangun. Ia adalah soal martabat, kesempatan, dan keadilan rasa. Ketika anak-anak di suatu daerah harus menyeberangi sungai tanpa jembatan untuk sekolah, sementara di daerah lain fasilitas pendidikan begitu megah; ketika pelayanan kesehatan di pedalaman hanya bisa diakses dengan perjalanan berjam-jam, sementara di kota besar rumah sakit swasta tumbuh menjamur – di situlah politik telah gagal menyentuh nurani terdalam.

Yang belum tuntas adalah pergeseran paradigma politik dari sekadar "pembangunan" menjadi "keadilan pembangunan." Ini menuntut lebih dari sekadar kebijakan di atas kertas. Ini membutuhkan komitmen politik yang tulus, pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populer demi kepentingan jangka panjang, birokrasi yang bersih dan kompeten, serta masyarakat yang kritis dan berdaya.

Narasi tentang politik dan ketimpangan wilayah adalah sebuah epik yang belum mencapai klimaksnya. Ia adalah tantangan abadi yang menuntut kita untuk terus bertanya, terus mengkritisi, dan tak henti mencari solusi. Sebab, selama masih ada satu jengkal tanah Indonesia yang merasa dianaktirikan, selama masih ada satu senyum yang meredup karena ketidakadilan, maka janji kemerdekaan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur akan selamanya menjadi sebuah narasi yang belum tuntas. Dan itu, adalah pekerjaan rumah kita bersama, bukan hanya para politisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *