Politik dan Konflik Kepentingan dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan: Antara Mercusuar Harapan dan Arena Pertarungan Terselubung

Pendidikan. Kata itu sendiri seringkali membangkitkan citra mulia: ruang kelas yang penuh tawa dan keingintahuan, guru yang mendedikasikan diri, serta masa depan yang cerah bagi generasi penerus. Kita menggambarkannya sebagai mercusuar, membimbing kapal-kapal kecil menuju pelabuhan pengetahuan. Namun, di balik narasi idealis itu, tersembunyi sebuah realitas yang jauh lebih kompleks, berliku, dan seringkali, menyakitkan: pendidikan sebagai arena pertarungan kepentingan, tempat politik dan kekuasaan menari-nari dalam balutan retorika pembangunan bangsa.

Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan tidak bisa steril dari politik. Kebijakan kurikulum, alokasi anggaran, hingga penentuan arah visi pendidikan nasional—semuanya adalah produk keputusan politik. Masalahnya muncul ketika politik tidak lagi menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang luhur, melainkan menjadi tujuan itu sendiri; ketika "kepentingan bangsa" bergeser menjadi "kepentingan golongan," atau lebih parah lagi, "kepentingan pribadi." Di sinilah konflik kepentingan mulai meracuni sistem yang seharusnya sakral.

Kurikulum: Kanvas Ideologi dan Komoditas Proyek

Mari kita mulai dengan kurikulum. Bukankah ia seharusnya menjadi cerminan dari apa yang kita ingin wariskan kepada anak cucu kita? Nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan yang membentuk karakter dan daya saing. Namun, seringkali kurikulum menjadi kanvas kosong bagi para penguasa untuk menorehkan ideologi mereka. Sejarah diputarbalikkan, narasi disesuaikan, dan sudut pandang tertentu dipaksakan, bukan demi kebenaran objektif, melainkan demi melanggengkan kekuasaan atau membangun citra politik.

Lebih jauh, kita sering menyaksikan bagaimana perubahan kurikulum atau pengadaan buku teks menjadi "proyek" besar. Tender miliaran rupiah, yang seharusnya dialokasikan untuk kualitas terbaik, justru seringkali dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan. Buku-buku yang isinya meragukan atau cetakannya buruk beredar luas, sementara guru dan siswa terpaksa beradaptasi dengan kebijakan yang kurang matang, hanya karena ada "kepentingan" yang harus dilayani. Siapa yang rugi? Tentu saja generasi yang diharapkan menjadi tunas bangsa.

Alokasi Anggaran: Dari Kelas ke Kantong Elite

Anggaran pendidikan adalah denyut nadi operasional sistem ini. Ketika kita mendengar janji-janji peningkatan anggaran, hati kita berdesir dengan harapan akan sekolah yang lebih baik, fasilitas yang lebih lengkap, dan kesejahteraan guru yang meningkat. Namun, realitasnya seringkali jauh panggang dari api. Alokasi dana yang besar tak jarang bocor di tengah jalan, tergerogoti oleh praktik korupsi, mark-up, atau dialihkan untuk proyek-proyek infrastruktur yang lebih "menguntungkan" secara politis daripada fungsional.

Pembangunan gedung sekolah baru di daerah yang secara politis strategis, misalnya, bisa jadi lebih diprioritaskan ketimbang perbaikan atap sekolah yang hampir roboh di daerah terpencil. Pengadaan teknologi canggih yang ujung-ujungnya mangkrak karena kurangnya pelatihan guru, bisa jadi lebih menarik daripada peningkatan gaji guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi dengan upah minim. Ini bukan sekadar kesalahan manajemen; ini adalah cerminan konflik kepentingan yang terang-terangan: antara kebutuhan riil pendidikan dengan agenda politik sesaat.

Penempatan Posisi: Loyalis vs. Profesional

Di tingkat mikro, konflik kepentingan juga merajalela dalam penempatan posisi strategis. Jabatan kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, hingga rektor perguruan tinggi, seringkali tidak lagi didasarkan pada rekam jejak profesionalisme dan kapabilitas semata, melainkan pada kedekatan politik, loyalitas kepada kelompok tertentu, atau bahkan transaksional.

Akibatnya, sekolah atau institusi pendidikan bisa dipimpin oleh individu yang kurang kompeten namun "aman" secara politis. Keputusan-keputusan penting tidak lagi berpihak pada kemajuan akademik, melainkan pada konsolidasi kekuasaan atau pemenuhan janji-janji politik. Iklim kerja menjadi tidak sehat, inovasi terhambat, dan kualitas pendidikan secara keseluruhan terancam.

Melawan Senyapnya Penggerogotan

Ironisnya, seringkali penggerogotan ini terjadi secara halus, nyaris tak terlihat. Ia bukan ledakan besar yang mengguncang, melainkan rayap-rayap kecil yang diam-diam memakan fondasi. Masyarakat, yang sibuk dengan urusan perut dan tuntutan hidup, seringkali luput mengawasi. Para guru dan praktisi pendidikan, yang seharusnya menjadi garda terdepan, terkadang terpaksa menelan pil pahit karena takut akan konsekuensi politis.

Maka, pertanyaan besarnya adalah: bagaimana kita bisa melindungi mercusuar harapan ini dari gelombang kepentingan yang terus menerjang? Jawabannya mungkin tidak sederhana. Dibutuhkan kesadaran kolektif, keberanian untuk bersuara, dan sistem pengawasan yang kuat. Pendidikan seharusnya menjadi ranah yang paling transparan, paling akuntabel, dan paling bersih dari intrik.

Mari kita ingat bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan investasi jangka panjang dalam membangun jiwa sebuah bangsa. Ketika jiwa itu terus-menerus dikompromikan oleh kepentingan sesaat, masa depan yang cerah itu mungkin hanya akan menjadi fatamorgana di gurun kekuasaan. Sudah saatnya kita menuntut kembali pendidikan, dari arena pertarungan, menjadi kembali sebuah mercusuar harapan yang murni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *