Batu Bata atau Suara? Politik dan Masalah Perumahan: Antara Kebutuhan Hakiki dan Komoditas Elektoral
Di tengah riuhnya kota, di balik janji-janji manis kampanye, dan di bawah bayang-bayang pembangunan yang tak henti, masalah perumahan berdiri kokoh sebagai salah satu tantangan paling mendasar bagi setiap pemerintahan. Bukan sekadar tentang empat dinding dan atap, melainkan tentang martabat, keamanan, stabilitas, dan hak asasi manusia. Namun, dalam medan politik yang sarat intrik, perumahan seringkali bertransformasi dari kebutuhan hakiki menjadi komoditas politik yang diperdagangkan, dikemas, dan disajikan dengan perhitungan elektoral yang cermat.
Mari kita jujur, siapapun yang pernah mencari hunian di kota besar akan paham betul betapa kejamnya pasar. Harga tanah melambung, biaya konstruksi meroket, dan impian memiliki rumah seolah menjadi fatamorgana bagi sebagian besar warga. Di sinilah negara seharusnya hadir, dengan tangan yang merangkul dan kebijakan yang membumi. Program subsidi perumahan, misalnya, lahir dari niat mulia: menjembatani jurang antara daya beli rakyat dan harga pasar yang tak terkendali. Ini adalah instrumen keadilan sosial, sebuah pengakuan bahwa pasar saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Namun, sejarah telah berulang kali menunjukkan bagaimana niat baik bisa tergelincir di labirin politik. Program subsidi, yang seharusnya menjadi penyelamat, tak jarang justru menjadi "umpan" dalam permainan catur politik.
Ketika Subsidi Bertransformasi Menjadi Komoditas Politik:
-
"Hadiah" Bukan Hak: Alih-alih mengkomunikasikan perumahan sebagai hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negara melalui berbagai mekanisme (termasuk subsidi), narasi politik seringkali membingkainya sebagai "bantuan" atau "hadiah" dari pemimpin yang dermawan. Ini menciptakan ketergantungan dan menempatkan warga dalam posisi penerima belas kasihan, bukan pemegang hak. Sentimen "terima kasih Bapak/Ibu X" seringkali lebih kencang daripada kesadaran akan hak konstitusional.
-
Momentum Elektoral: Tak bisa dipungkiri, peluncuran program perumahan baru, penyerahan kunci secara simbolis, atau pembangunan perumahan bersubsidi seringkali bertepatan dengan momen-momen politik krusial: menjelang pemilihan umum, masa kampanye, atau saat popularitas sedang menurun. Lokasi proyek pun tak jarang dipilih berdasarkan peta suara, bukan semata-mata kebutuhan populasi. Ini adalah investasi politik jangka pendek yang berpotensi menghasilkan dividen suara.
-
Klaim dan Kredit Politik: Setiap blok bangunan yang berdiri, setiap unit rumah yang terserah, menjadi bahan bakar untuk narasi klaim keberhasilan. "Ini adalah hasil kerja keras kami," atau "Kami yang peduli pada rakyat kecil," menjadi mantra yang diulang-ulang. Kredibilitas politik dibangun di atas tumpukan batu bata yang disubsidi, mengaburkan esensi bahwa perumahan adalah tanggung jawab kolektif dan program jangka panjang.
-
Inefisiensi dan Pintu Korupsi: Ketika motivasi politik lebih dominan daripada perencanaan yang matang, program subsidi bisa rentan terhadap inefisiensi. Kriteria penerima yang longgar, pengawasan yang lemah, birokrasi yang berbelit, hingga praktik calo dan pungutan liar, semua ini merongrong tujuan mulia program. Dalam kasus terburuk, subsidi perumahan bahkan bisa menjadi lahan basah bagi oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi, mengubah hak rakyat menjadi rente ekonomi.
-
Solusi Jangka Pendek, Masalah Jangka Panjang: Fokus pada pencitraan politik seringkali mengabaikan keberlanjutan. Apakah perumahan subsidi itu terintegrasi dengan transportasi publik? Apakah ada akses terhadap fasilitas dasar seperti sekolah dan layanan kesehatan? Apakah lingkungan yang diciptakan benar-benar layak huni dalam jangka panjang? Seringkali, "solusi" yang ditawarkan hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain, atau menciptakan ghetto-ghetto baru di pinggiran kota.
Mencari Jalan Keluar: Kembali ke Esensi
Maka, pertanyaan mendesak yang harus kita ajukan adalah: bagaimana kita bisa menarik perumahan keluar dari cengkeraman komoditas politik dan mengembalikannya ke posisinya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi secara adil dan berkelanjutan?
Jawabannya mungkin terletak pada beberapa pilar:
- Transparansi dan Akuntabilitas: Setiap sen dana subsidi harus bisa dilacak, setiap proses pengadaan harus terbuka, dan setiap penerima harus diverifikasi secara ketat. Masyarakat sipil harus diberi ruang untuk mengawasi.
- Perencanaan Jangka Panjang: Lepaskan perumahan dari siklus politik lima tahunan. Kembangkan rencana induk perumahan yang komprehensif, partisipatif, dan berbasis data, yang melampaui masa jabatan satu pemimpin.
- Pendidikan Publik: Edukasi masyarakat bahwa perumahan layak adalah hak, bukan belas kasihan. Tingkatkan kesadaran akan pentingnya menuntut kebijakan yang adil dan berkelanjutan, bukan sekadar janji-janji kampanye.
- Diversifikasi Solusi: Subsidi bukan satu-satunya jalan. Pertimbangkan skema sewa-beli, pembangunan perumahan sosial, regulasi pasar sewa, hingga insentif bagi sektor swasta yang membangun perumahan terjangkau di lokasi strategis.
- Keterlibatan Multi-Pihak: Pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi – semua harus duduk bersama merumuskan solusi yang holistik, bukan sekadar proyek politis.
Masalah perumahan adalah cerminan dari bagaimana sebuah negara memperlakukan warganya. Jika kita membiarkannya terus menjadi arena tawar-menawar politik, maka kita sejatinya sedang mengorbankan masa depan jutaan keluarga demi keuntungan elektoral sesaat. Batu bata yang seharusnya menjadi pondasi hidup, tak boleh diubah menjadi sekadar tumpukan suara yang rapuh. Kita berhak menuntut lebih dari itu.











