Politik dan Milenial: Apakah Masih Ada Harapan Keterlibatan?

Politik dan Milenial: Antara ‘Ghosting’ dan Gairah Baru Keterlibatan

Mari jujur. Ketika kita bicara tentang politik dan generasi milenial, seringkali bayangan yang muncul adalah kursi kosong di rapat dewan, mata yang lebih fokus pada layar ponsel daripada berita parlemen, atau respons klise, "Ah, politik itu rumit dan membosankan." Label "apatis" seolah sudah menjadi cap permanen. Namun, benarkah demikian? Atau justru kita yang belum memahami cara milenial berinteraksi dengan politik yang jauh lebih cair, dinamis, dan terkadang, bahkan lebih radikal dari yang kita bayangkan?

Bukan Apatis, Tapi Selektif dan Pragmatis

Kenyataannya, milenial (mereka yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an) bukanlah generasi yang sepenuhnya anti-politik. Mereka hanya menolak "politik lama" – politik yang kaku, penuh jargon usang, drama perebutan kekuasaan tanpa substansi, dan janji-janji manis yang tak pernah terwujud. Mereka tumbuh di era informasi yang melimpah, menyaksikan langsung inkonsistensi, korupsi, dan inefisiensi birokrasi. Wajar jika tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi politik tradisional cenderung rendah.

Bagi mereka, politik bukan lagi sekadar mencoblos di bilik suara lima tahun sekali, atau bergabung dengan partai tertentu. Politik adalah segala hal yang memengaruhi kualitas hidup mereka dan masa depan planet ini. Isu iklim, kesetaraan gender, keadilan sosial, hak asasi manusia, akses pendidikan, hingga startup yang inovatif – semua itu adalah ranah politik.

Medan Perang Ide di Layar Genggam

Jadi, di mana keterlibatan milenial itu terjadi? Jawabannya ada di genggaman tangan mereka.

  1. Aktivisme Digital yang Membara: Lupakan sejenak citra demonstrasi jalanan yang masif (meskipun itu juga masih relevan). Bagi milenial, tagar yang viral, petisi online yang mencapai jutaan tanda tangan, kampanye boikot produk yang dianggap tidak etis, hingga gerakan penggalangan dana untuk isu kemanusiaan, adalah bentuk-bentuk politik yang sangat nyata dan powerful. Kekuatan kolektif yang dibangun di media sosial bisa menggerakkan perubahan, bahkan menekan korporasi atau pemerintah untuk bertanggung jawab.

  2. Politik Identitas dan Nilai: Milenial cenderung lebih fokus pada isu-isu spesifik yang beresonansi dengan nilai-nilai pribadi mereka. Mereka mungkin tidak loyal pada satu partai, tapi sangat setia pada gerakan yang memperjuangkan lingkungan, hak LGBTQ+, atau melawan diskriminasi. Ini bukan politik ideologi besar, melainkan politik nilai yang sangat personal dan otentik.

  3. Inovasi Sosial dan Kewirausahaan: Keterlibatan politik milenial juga sering termanifestasi dalam bentuk inovasi sosial. Mereka menciptakan startup dengan misi sosial, membangun komunitas untuk memecahkan masalah lokal, atau menjadi influencer yang mengedukasi publik tentang isu-isu penting. Bagi mereka, menciptakan solusi nyata lebih efektif daripada terjebak dalam perdebatan politik yang tak berujung.

Tantangan: Jurang Komunikasi dan ‘Tokenisme’

Meskipun gairah keterlibatan itu ada, jurang komunikasi antara "politik lama" dan "politik baru" ini masih menganga. Para politikus senior seringkali kesulitan memahami bahasa dan kanal komunikasi milenial. Mereka mungkin melihat aktivisme digital sebagai "keramaian sesaat" atau "kurang serius," bukan sebagai kekuatan politik yang sah.

Ada pula fenomena "tokenisme," di mana politikus atau partai menempatkan satu-dua wajah muda di garis depan hanya sebagai pajangan, tanpa memberi mereka kekuatan atau ruang gerak yang substansial. Ini justru memperkuat sinisme milenial, membuat mereka merasa hanya dijadikan alat politik.

Harapan yang Bersemi: Ketika Dunia Lama Beradaptasi

Jadi, apakah masih ada harapan keterlibatan milenial dalam politik? Jawabannya: Ya, lebih dari sebelumnya. Namun, harapan itu tidak akan bersemi jika hanya menunggu milenial datang ke meja rapat pukul sembilan pagi dengan dasi. Harapan itu akan terwujud jika:

  1. Politik Beradaptasi: Institusi politik harus belajar memahami bahasa, kanal, dan isu yang relevan bagi milenial. Transparansi, akuntabilitas, dan substansi harus menjadi prioritas, bukan sekadar retorika.
  2. Ruang Partisipasi yang Autentik: Berikan ruang bagi milenial untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang sesungguhnya, bukan hanya sebagai pelengkap. Dengarkan ide-ide mereka, sekalipun itu terdengar "tidak konvensional."
  3. Isu yang Relevan: Fokus pada isu-isu yang benar-benar memengaruhi kehidupan milenial dan masa depan mereka, seperti lapangan kerja, perubahan iklim, akses kesehatan mental, dan kesetaraan.
  4. Narasi yang Inspiratif: Bangun narasi politik yang menginspirasi, yang menawarkan solusi nyata, dan yang menghubungkan tindakan politik dengan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Milenial mungkin tidak lagi melihat politik sebagai drama panggung yang statis, melainkan sebagai medan perang ide yang dinamis dan multi-platform. Mereka bukan "ghosting" dari politik; mereka hanya sedang mencari cara untuk terlibat dalam "cinta" yang lebih bermakna, otentik, dan relevan dengan dunia mereka. Tugas kita adalah menyambut gairah baru ini, bukan menghakiminya dengan kacamata lama. Masa depan politik, mau tidak mau, ada di tangan mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *