Politik dan Narasi Sejarah: Siapa yang Mengendalikan Ingatan Kolektif?

Politik dan Narasi Sejarah: Siapa yang Mengendalikan Ingatan Kolektif?

Sejarah. Bukan sekadar deretan tanggal, nama, atau peristiwa yang tercatat beku dalam buku-buku tebal. Sejarah adalah denyut nadi sebuah bangsa, fondasi identitas, dan peta jalan menuju masa depan. Namun, di balik kemegahannya, sejarah adalah juga medan pertempuran tak kasat mata, sebuah kanvas kosong yang kerap diisi dan diwarnai ulang oleh tangan-tangan berkuasa. Pertanyaannya kemudian adalah: siapa arsitek di balik monumen ingatan kolektif kita? Siapa yang memegang kendali atas narasi masa lalu, dan apa taruhannya?

Kita seringkali membayangkan sejarah sebagai kebenaran mutlak, sebuah cermin jernih yang memantulkan apa yang telah terjadi. Padahal, ingatan kolektif masyarakat jauh lebih rapuh dan cair dari itu. Ia adalah konstruksi, sebuah mosaik yang disusun dari fragmen-fragmen memori, interpretasi, dan bahkan—tak jarang—lupa yang disengaja. Di sinilah politik memainkan perannya. Para penguasa, baik dari masa lalu maupun masa kini, memahami betul bahwa mengendalikan masa lalu adalah kunci untuk membentuk masa kini dan mengarahkan masa depan.

Pahatan Ulang di Atas Batu Ingatan

Bayangkan sebuah patung raksasa yang mewakili sejarah bangsa. Setiap generasi, setiap rezim, datang dengan pahat dan palunya sendiri, mengikis bagian yang tidak sesuai, menambahkan ornamen baru, bahkan terkadang merobohkan dan membangun ulang dari nol.

  • Kurikulum Pendidikan: Salah satu alat paling ampuh adalah sistem pendidikan. Apa yang diajarkan kepada anak-anak di bangku sekolah? Pahlawan mana yang diagungkan? Peristiwa mana yang ditekankan, dan mana yang justru dibungkam? Buku-buku teks sejarah seringkali menjadi medan pertempuran ideologis, di mana versi "resmi" dari masa lalu dipropagandakan secara sistematis untuk membentuk warga negara yang loyal pada narasi tertentu.
  • Monumen dan Ritual Publik: Monumen, museum, nama jalan, hari peringatan nasional—semua ini adalah manifestasi fisik dari ingatan kolektif yang dikelola negara. Mereka berfungsi sebagai jangkar, menarik perhatian pada peristiwa atau tokoh tertentu, dan mengukuhkan interpretasi tunggal tentang makna mereka. Perayaan hari kemerdekaan, misalnya, bukan hanya sekadar seremonial, melainkan ritual penguatan narasi kebangsaan yang diinginkan oleh penguasa.
  • Media dan Propaganda: Dari media cetak hingga digital, dari film dokumenter hingga serial drama, narasi sejarah dapat disuntikkan secara halus atau terang-terangan. Ketika media massa berada di bawah kendali politik, ia menjadi corong efektif untuk menyebarkan versi sejarah yang menguntungkan rezim, sekaligus membungkam suara-suara yang menantangnya.
  • Bahasa dan Terminologi: Cara kita menyebut suatu peristiwa atau kelompok dapat membentuk persepsi publik secara mendalam. Apakah suatu insiden disebut "pemberontakan" atau "perjuangan rakyat"? Apakah suatu kelompok adalah "teroris" atau "pejuang kemerdekaan"? Pilihan kata-kata ini bukan sekadar semantik, melainkan senjata politik yang ampuh dalam perang narasi.

Mengapa Ingatan Kolektif Begitu Krusial?

Taruhannya bukan main-main. Mengendalikan ingatan kolektif berarti:

  1. Legitimasi Kekuasaan: Rezim yang berkuasa seringkali membenarkan keberadaannya dengan merujuk pada sejarah, mengklaim sebagai kelanjutan yang sah dari perjuangan masa lalu atau sebagai penyelamat dari kekeliruan sebelumnya.
  2. Pembentukan Identitas Nasional: Narasi sejarah yang dominan membantu membentuk "siapa kita" sebagai sebuah bangsa, menyatukan (atau memecah belah) masyarakat di bawah bendera identitas yang tunggal.
  3. Pengendalian Masa Depan: Dengan membentuk pemahaman tentang masa lalu, para penguasa dapat memandu ekspektasi dan aspirasi masyarakat terhadap masa depan, membenarkan kebijakan-kebijakan tertentu, dan meredam potensi perlawanan.
  4. Menghapus Luka Lama atau Memperdalamnya: Ingatan kolektif bisa menjadi sarana rekonsiliasi atau, sebaliknya, alat untuk terus-menerus memupuk dendam dan perpecahan, tergantung pada narasi mana yang dipilih untuk dihidupkan.

Pertarungan di Era Digital: Setiap Orang Adalah Penulis Sejarah

Namun, di era digital ini, dominasi narasi tunggal mulai goyah. Internet, media sosial, dan platform-platform berbagi informasi telah membuka celah bagi munculnya kontra-narasi. Suara-suara yang dulunya terbungkam kini menemukan platform untuk berbicara. Sejarah lisan, arsip pribadi, dan interpretasi alternatif dapat menyebar dengan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia adalah peluang emas bagi masyarakat untuk merebut kembali sejarah mereka, mengoreksi ketidakadilan masa lalu, dan merayakan keragaman ingatan. Di sisi lain, ia juga membuka pintu bagi penyebaran informasi yang salah, teori konspirasi, dan polarisasi yang semakin dalam, di mana "kebenaran" menjadi semakin subjektif dan terpecah belah.

Tanggung Jawab Kita Sebagai Pewaris Ingatan

Jadi, siapa yang mengendalikan ingatan kolektif? Jawabannya tidak sesederhana itu. Ada negara, ada institusi, ada media, ada akademisi, dan kini, ada pula setiap individu yang memegang ponsel cerdas. Pertarungan atas narasi sejarah adalah pertarungan yang tak pernah usai, sebuah pergulatan abadi antara kekuatan dan kebenaran, antara manipulasi dan otentisitas.

Tanggung jawab terbesar kita sebagai pewaris ingatan bukanlah sekadar menerima apa yang disajikan, melainkan untuk terus bertanya, menggali, membandingkan, dan mengkritisi. Sejarah bukanlah dogma yang harus ditelan mentah-mentah, melainkan sebuah dialog yang harus terus-menerus diperdebatkan. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap untuk membangun ingatan kolektif yang lebih jujur, inklusif, dan pada akhirnya, lebih manusiawi. Karena di setiap fragmen masa lalu yang kita pilih untuk dikenang atau dilupakan, terkandung benih-benih masa depan yang akan kita tuai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *