Anggaran Bocor, Palu Sidang Berdentum: Cukupkah Fungsi Pengawasan DPR Selama Ini?
Setiap tahun, ritual itu terulang. Rapat-rapat maraton, tumpukan dokumen tebal, deru perdebatan (atau kadang sekadar interupsi), dan akhirnya, dentuman palu sidang yang menandakan persetujuan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bagi banyak dari kita, mendengar kata ‘anggaran negara’ seringkali terasa seperti menonton film fiksi ilmiah; penuh angka fantastis, jargon rumit, dan terasa sangat jauh dari realitas dompet pribadi kita. Namun, di balik angka triliunan itu, ada janji, ada harapan, dan juga ada potensi kebocoran yang tak terhitung.
Pertanyaannya, di tengah pusaran angka dan politik ini, cukupkah fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini? Atau jangan-jangan, pengawasan itu lebih sering menjadi hiasan prosedural ketimbang garda terpanjang penjaga uang rakyat?
DPR: Penjaga Gawang atau Penonton?
Secara konstitusional, DPR adalah pemegang otoritas legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam konteks anggaran, DPR seharusnya menjadi "penjaga gawang" yang memastikan setiap rupiah yang dikumpulkan dari pajak dan utang negara dibelanjakan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Mereka punya hak bertanya, menyelidiki, bahkan menolak.
Namun, realitas di lapangan seringkali jauh panggang dari api. Sesi-sesi pengawasan anggaran acapkali terasa seperti panggung sandiwara. Pertanyaan tajam mungkin dilontarkan, tetapi tindak lanjutnya seringkali menguap entah ke mana. Palu sidang lebih sering berdentum untuk "mengesahkan" tanpa catatan berarti, ketimbang "menolak" atau "merevisi secara substansial" alokasi yang dinilai janggal.
Mengapa Fungsi Pengawasan DPR Sering Terasa Kurang Greget?
Ada beberapa faktor yang membuat fungsi pengawasan anggaran DPR seolah tak bertaring:
-
Asimetri Informasi dan Sumber Daya: Pemerintah, melalui kementerian dan lembaga, memiliki tim ahli, data, dan informasi yang jauh lebih lengkap dan detail. DPR, dengan keterbatasan sumber daya dan waktu, seringkali kesulitan menandingi kapasitas teknis ini. Ibarat bertarung, satu pihak membawa pedang laser, pihak lain membawa pisau dapur.
-
Politik dan Transaksi Kekuasaan: Anggaran bukan melulu soal teknis, tapi juga politik. Alokasi dana bisa menjadi alat tawar-menawar politik, imbal jasa, atau konsesi antar fraksi dan eksekutif. Ketika politik transaksional mendominasi, idealisme pengawasan akan tergerus oleh kepentingan pragmatis. "Saling menjaga" menjadi lebih penting ketimbang "saling mengawasi."
-
Keterbatasan Waktu dan Fokus: Proses pembahasan anggaran seringkali diburu waktu. Dengan banyaknya pos anggaran dan detail yang harus ditelaah, seringkali pengawasan mendalam hanya menyentuh permukaan. Isu-isu populer mungkin mendapat sorotan, tapi detail-detail krusial yang rawan korupsi sering terlewat.
-
Kualitas Anggota dan Staf Ahli: Tidak semua anggota DPR memiliki latar belakang atau minat yang kuat dalam analisis anggaran. Ketergantungan pada staf ahli juga bervariasi. Jika kualitas SDM pengawas rendah, bagaimana mungkin mereka bisa membongkar kejanggalan dalam proyek-proyek multi-triliun?
-
Minimnya Partisipasi Publik: Masyarakat sendiri, kadang terlalu sibuk dengan cicilan dan kemacetan, kurang aktif mengawasi proses anggaran. Padahal, tekanan dari publik bisa menjadi energi pendorong bagi DPR untuk bekerja lebih serius.
Cukupkah Itu? Tentu Saja Tidak.
Dengan tantangan-tantangan di atas, jelas bahwa fungsi pengawasan anggaran DPR selama ini, meski secara formal ada, seringkali belum cukup untuk memastikan uang rakyat benar-benar kembali ke rakyat. "Cukup" bukan hanya soal ada atau tidaknya proses, melainkan efektivitas dan dampaknya. Cukupkah itu untuk mencegah mega-korupsi? Cukupkah itu untuk memastikan setiap proyek infrastruktur tidak di-mark up? Cukupkah itu untuk menjamin pelayanan publik membaik? Jawabannya, secara jujur, masih jauh dari memuaskan.
Maju ke Depan: Bukan Hanya DPR, Tapi Kita Semua
Lalu, apa yang harus dilakukan? Bola panas pengawasan anggaran tak bisa selamanya hanya digelindingkan ke Senayan.
-
DPR Harus Berbenah Internal: Memperkuat kapasitas staf ahli, mendorong spesialisasi anggota dalam komisi, serta membangun sistem whistleblower internal yang aman. Kemandirian dari intervensi eksekutif juga krusial.
-
Transparansi dan Data Terbuka: Pemerintah harus lebih proaktif membuka data anggaran hingga level terbawah. Data yang mudah diakses dan dipahami akan memungkinkan masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis investigasi turut melakukan pengawasan.
-
Peran Masyarakat Sipil yang Lebih Kuat: Organisasi masyarakat sipil (OMS) yang fokus pada anggaran dan akuntabilitas harus didukung dan diberi ruang. Mereka bisa menjadi "mata dan telinga" tambahan yang mendalam.
-
Teknologi sebagai Alat Bantu: Pemanfaatan teknologi seperti big data analytics dan kecerdasan buatan (AI) bisa membantu mendeteksi anomali atau pola mencurigakan dalam alokasi dan realisasi anggaran, baik oleh pemerintah maupun DPR.
-
Pendidikan dan Kesadaran Publik: Masyarakat perlu didorong untuk lebih peduli dan memahami isu anggaran. Anggaran bukan hanya urusan politisi, tapi cerminan prioritas hidup kita semua.
Pada akhirnya, pengawasan anggaran adalah sebuah ekosistem. DPR memang aktor sentral, namun tanpa dukungan dan tekanan dari masyarakat, tanpa data yang terbuka, dan tanpa kemauan politik yang kuat, fungsi pengawasan itu akan tetap menjadi macan ompong yang hanya bisa mengaum tanpa menggigit. Anggaran adalah cerminan janji, pengawasan adalah penjaga amanah. Sudah saatnya kita menuntut lebih dari sekadar dentuman palu sidang.


