Tarian Tango EBT: Antara Janji dan Realita di Panggung Politik Indonesia
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) kini menjadi bintang utama di panggung diskusi global, sebuah mantra sakti yang digadang-gadang sebagai penyelamat iklim dan lokomotif ekonomi hijau masa depan. Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah – dari surya yang tak pernah lelah bersinar, angin yang setia berhembus, panas bumi yang mendidih di perut bumi, hingga biomassa dari hijaunya hutan tropis – memiliki modal raksasa untuk menjadi pemain kunci. Namun, di balik gemerlap sorotan ini, tersembunyi sebuah pertanyaan krusial yang kerap mengundang senyum kecut: apakah politik kebijakan EBT kita adalah wujud komitmen sungguh-sungguh, atau sekadar tarian tango yang indah di atas kertas, penuh janji namun minim langkah nyata?
Mari kita bedah fenomena ini, bukan dari kacamata optimis buta atau pesimis tanpa dasar, melainkan dari sudut pandang seorang pengamat yang melihat adanya tarik-menarik kepentingan, harapan, dan realita di balik setiap regulasi dan wacana.
Sisi Wacana: Ketika Janji Tersandung Batu Sandungan
Bukan tanpa alasan keraguan ini muncul. Bertahun-tahun lamanya, target bauran energi EBT kita terasa seperti fatamorgana yang terus bergerak menjauh. Angka-angka ambisius seringkali tak selaras dengan implementasi di lapangan. Mengapa?
- Birokrasi yang Berbelit dan Inkonsistensi Regulasi: Kebijakan EBT kerap berubah-ubah, menciptakan ketidakpastian bagi investor. Proses perizinan yang panjang, tumpang tindih kewenangan antarlembaga, hingga tarik-menarik harga beli listrik dari PLN yang masih sering dianggap kurang menarik, menjadi benang kusut yang sulit diurai. Investor butuh kepastian, bukan janji manis yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan.
- Lobi-lobi Raksasa Energi Fosil: Jangan lupakan kekuatan lobi dari industri energi fosil yang sudah mapan dan memiliki akar kuat dalam struktur ekonomi dan politik kita. Transisi energi berarti menggeser dominasi mereka, dan tentu saja, resistensi adalah hal yang lumrah. Kepentingan ini seringkali termanifestasi dalam kebijakan yang setengah hati atau justru menghambat laju EBT.
- Kendala Infrastruktur dan Pendanaan: Pembangunan infrastruktur transmisi yang memadai untuk menopang EBT, terutama di daerah terpencil yang kaya potensi, masih menjadi pekerjaan rumah besar. Pun demikian dengan pendanaan. Meskipun ada skema-skema baru, biaya investasi awal EBT yang tinggi masih menjadi ganjalan, apalagi jika skema insentif fiskal tidak cukup atraktif.
- Edukasi dan Persepsi Publik: Di beberapa wilayah, EBT masih dianggap sebagai teknologi asing atau bahkan proyek pemerintah yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal. Edukasi yang minim tentang manfaat jangka panjang dan keberlanjutan EBT bisa menghambat penerimaan proyek di masyarakat.
Sisi Komitmen: Pelan Tapi Ada Jejak Langkah
Namun, tak adil pula jika kita hanya melihat sisi pesimisnya. Di tengah segala tantangan, ada jejak-jejak komitmen yang tak bisa diabaikan:
- Target Nasional dan Internasional: Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris dan memiliki target Nationally Determined Contributions (NDC) yang ambisius. Ini bukan sekadar janji di forum internasional, melainkan dorongan politis untuk mengubah arah kebijakan.
- Regulasi dan Roadmap yang Terus Disempurnakan: Meski belum sempurna, pemerintah terus berupaya menyusun kerangka regulasi yang lebih kondusif, seperti Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga listrik EBT dan roadmap transisi energi. Ini menunjukkan adanya kesadaran dan upaya perbaikan berkelanjutan.
- Proyek Percontohan dan Inovasi Lokal: Banyak proyek EBT skala kecil hingga menengah mulai bermunculan, didorong oleh inisiatif swasta, BUMN, maupun masyarakat lokal. Inovasi teknologi lokal untuk EBT, seperti solar panel buatan dalam negeri atau biomassa dari limbah pertanian, juga menunjukkan potensi besar.
- Tekanan Publik dan Kesadaran Lingkungan: Semakin meningkatnya kesadaran publik tentang isu perubahan iklim dan pentingnya energi bersih menjadi kekuatan pendorong yang tak bisa diremehkan. Suara-suara dari masyarakat sipil, akademisi, dan generasi muda kian nyaring menuntut percepatan transisi energi.
Komitmen atau Wacana? Jawabannya, Sebuah Spektrum
Lantas, apakah ini komitmen atau wacana? Jawabannya, seperti banyak hal dalam politik, tidak sesederhana biner hitam-putih. Ia adalah sebuah spektrum yang bergerak, sebuah tarian tango yang kompleks antara keinginan kuat dan realitas pahit.
Politik kebijakan EBT di Indonesia adalah arena pertarungan yang dinamis. Di satu sisi, ada visi besar untuk masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Di sisi lain, ada warisan struktural, kepentingan ekonomi yang sudah mengakar, dan tantangan implementasi yang tak bisa diremehkan.
Yang jelas, arahnya sudah menuju ke sana. Komitmennya ada, tercermin dalam dokumen-dokumen kebijakan dan pernyataan para pemangku kepentingan. Namun, wacana masih seringkali jauh mendahului langkah nyata. Jarak antara niat baik dan eksekusi yang konsisten inilah yang perlu dipersempit.
Menuju Tarian yang Harmonis
Untuk mengubah tarian tango ini menjadi sebuah harmoni yang sesungguhnya, dibutuhkan lebih dari sekadar janji. Dibutuhkan:
- Konsistensi Politik: Stabilitas regulasi dan komitmen jangka panjang yang tidak terpengaruh siklus politik.
- Keberanian Berinovasi: Mencari skema pendanaan yang kreatif dan berani menantang model bisnis energi konvensional.
- Keterbukaan dan Kolaborasi: Melibatkan semua pihak – pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi – dalam perumusan dan implementasi kebijakan.
- Penegakan Hukum yang Kuat: Memastikan regulasi dijalankan dengan adil dan transparan.
Pada akhirnya, tarian tango EBT ini masih jauh dari selesai. Ia akan terus berlanjut, dengan pasang surutnya. Namun, masa depan energi kita, masa depan iklim kita, dan masa depan generasi penerus sangat bergantung pada seberapa sungguh-sungguh kita berkomitmen untuk menjadikan EBT bukan hanya sekadar wacana, melainkan sebuah realita yang menggerakkan roda pembangunan berkelanjutan. Apakah kita siap menari dengan irama yang lebih cepat dan penuh keyakinan? Waktu dan tindakan kita yang akan menjawab.











