Politik Kesehatan Mental: Dari Bayang-bayang ke Meja Prioritas Nasional?
Kesehatan mental seringkali seperti sistem drainase kota: esensial, bekerja di bawah permukaan, dan baru benar-benar kita perhatikan saat macet total dan menimbulkan banjir masalah. Kita tahu ia ada, kita tahu ia penting, tapi apakah para pembuat kebijakan kita benar-benar memberinya prioritas yang layak, atau hanya sekadar retorika musiman yang muncul dan tenggelam?
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur fisik, pertumbuhan ekonomi, atau debat politik yang tak ada habisnya, isu kesehatan mental kerap terdampar di pojok, dianggap sebagai "urusan personal" atau bahkan aib yang harus disembunyikan. Ironisnya, di balik tabir kesibukan itu, statistik menunjukkan bahwa satu dari empat orang dewasa di Indonesia diperkirakan mengalami masalah kesehatan mental. Ini bukan sekadar angka, melainkan jutaan individu dengan kisah-kisah tersembunyi, keluarga yang terbebani, dan potensi produktivitas yang tergerus.
Ketika Stigma Lebih Menakutkan dari Penyakit Itu Sendiri
Permasalahan kesehatan mental memiliki musuh bebuyutan yang jauh lebih kuat dari sekadar kurangnya fasilitas medis: stigma. Stigma inilah yang menjadi tembok tebal antara penderita dengan bantuan yang mereka butuhkan. "Gila," "lemah iman," "kurang bersyukur"—label-label ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga menjadi penghalang terbesar bagi upaya politik untuk menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas.
Bagaimana bisa suatu negara memprioritaskan sesuatu yang masyarakatnya sendiri masih enggan bicarakan, apalagi akui secara terbuka? Para politisi, yang notabene adalah representasi masyarakat, cenderung menghindari isu yang "tidak populer" atau "kontroversial." Hasilnya, anggaran minim, fasilitas terbatas, dan tenaga ahli yang langka menjadi pemandangan yang lazim di sektor kesehatan mental. Ini bukan hanya masalah uang, tapi juga masalah keberanian politik untuk melawan arus stigma.
Flicker of Hope: Ada Cahaya, Tapi Redup
Tak bisa dipungkiri, dalam beberapa tahun terakhir, ada secercah harapan. Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU No. 18 Tahun 2014) adalah tonggak penting, meski implementasinya masih jauh panggang dari api. Kampanye kesadaran mulai bermunculan, terutama dari inisiatif swasta atau komunitas. Beberapa daerah mulai merintis program kesehatan mental berbasis masyarakat. Ini adalah tanda bahwa isu ini mulai merangkak naik dari bayang-bayang.
Namun, apakah "mulai merangkak naik" sudah cukup untuk disebut prioritas? Prioritas bukan hanya tentang memiliki undang-undang atau sesekali mengadakan seminar. Prioritas adalah tentang alokasi anggaran yang substansial dan berkelanjutan, integrasi layanan kesehatan mental ke dalam layanan kesehatan primer, ketersediaan tenaga profesional di pelosok negeri, serta kepemimpinan yang tegas dalam menghapus stigma dari pucuk pimpinan hingga tingkat RT.
Prioritas Sejati: Lebih dari Sekadar Angka di APBN
Jika kita berbicara tentang prioritas sejati, maka kesehatan mental harus dilihat sebagai investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Bayangkan biaya sosial dan ekonomi yang hilang akibat depresi, kecemasan, atau gangguan jiwa berat yang tidak tertangani. Produktivitas menurun, angka putus sekolah meningkat, kriminalitas bisa bertambah, dan beban pada sistem kesehatan fisik pun ikut membengkak.
Sebuah negara yang benar-benar memprioritaskan kesehatan mental akan:
- Mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam Puskesmas, menjadikan skrining dan konseling awal sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap kunjungan medis.
- Mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pelatihan psikolog, psikiater, dan perawat jiwa, serta menjamin ketersediaan obat-obatan esensial.
- Mengedukasi masyarakat secara masif, mulai dari sekolah dasar hingga tempat kerja, tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan cara mencari bantuan.
- Menghadirkan pemimpin-pemimpin yang secara terbuka bicara tentang kesehatan mental, memecah keheningan, dan menjadi teladan dalam menghapus stigma.
- Membangun sistem data yang kuat untuk memahami skala masalah dan mengukur efektivitas intervensi.
Masa Depan yang Sehat, Dimulai dari Meja Prioritas
Kesehatan mental bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar dan fondasi bagi masyarakat yang produktif dan bahagia. Jika politik hanya memandangnya sebagai beban atau isu pinggiran, maka kita akan terus membayar harga yang jauh lebih mahal di kemudian hari.
Sudah saatnya isu kesehatan mental ditarik sepenuhnya dari bayang-bayang, duduk sejajar di meja prioritas nasional bersama isu-isu lain yang dianggap krusial. Bukan sekadar janji manis di masa kampanye, bukan pula hanya respons reaktif terhadap tragedi. Melainkan komitmen politik yang nyata, terukur, dan berkelanjutan. Sebab, bangsa yang sehat bukan hanya bangsa yang fisiknya bugar, tetapi juga jiwanya tenteram dan pikirannya jernih. Pertanyaannya, apakah kita—dan para pemimpin kita—siap mewujudkannya?











