Politik Kesetaraan: Mengapa Isu Disabilitas Masih Terabaikan di Tengah Gemuruh Janji?
Kita sering berbicara tentang politik kesetaraan. Gemuruh janji-janji akan inklusi, keadilan sosial, dan kesempatan yang sama selalu menghiasi panggung kampanye dan retorika kebijakan. Namun, di tengah hiruk-pikuk diskursus ini, ada satu kelompok yang suaranya sering kali tenggelam, perjuangannya terlupakan, dan hak-haknya terpinggirkan: penyandang disabilitas. Mengapa isu disabilitas, yang seharusnya menjadi barometer sejati kesetaraan, masih saja terabaikan?
Ini adalah paradoks yang meresahkan. Di satu sisi, kita memiliki Undang-Undang, konvensi internasional, dan berbagai regulasi yang secara eksplisit menjamin hak-hak penyandang disabilitas. Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan jurang menganga antara retorika dan praktik. Aksesibilitas masih menjadi barang mewah, lapangan kerja minim, pendidikan inklusif masih wacana, dan stigma sosial masih mengakar kuat.
Ada beberapa alasan mendalam mengapa "politik kesetaraan" kita seringkali gagal merangkul isu disabilitas secara penuh:
1. Titik Buta Politik dan Media: Isu yang "Tidak Seksi"
Isu disabilitas seringkali dianggap "tidak seksi" secara politik. Ia tidak menghasilkan sorotan media yang dramatis seperti isu-isu populis lainnya, atau janji-janji yang bisa langsung diukur dalam angka elektoral jangka pendek. Akibatnya, perhatian politik pun minim. Media massa, yang seharusnya menjadi corong untuk mengangkat isu ini, juga cenderung abai atau hanya meliput dari sudut pandang belas kasihan, bukan hak dan partisipasi. Ini menciptakan sebuah titik buta kolektif di mana penyandang disabilitas, meskipun jumlahnya signifikan, tetap tidak terlihat dalam radar kebijakan publik.
2. Pergeseran Paradigma yang Lambat: Dari Belas Kasihan ke Hak Asasi
Meskipun ada upaya, paradigma masyarakat dan pembuat kebijakan masih bergeser sangat lambat dari pendekatan amal (charity-based) ke pendekatan berbasis hak asasi manusia (rights-based). Penyandang disabilitas masih sering dilihat sebagai objek yang membutuhkan pertolongan dan belas kasihan, bukan sebagai subjek hukum dengan hak-hak yang harus dipenuhi dan potensi yang harus dikembangkan. Pendekatan amal cenderung pasif, hanya menunggu uluran tangan, sementara pendekatan hak menuntut perubahan sistemik dan penghapusan hambatan. Selama paradigma ini belum bergeser sepenuhnya, kebijakan yang lahir akan selalu bersifat parsial dan paternalistik, bukan memberdayakan.
3. Data dan Representasi yang Minim
Bagaimana kita bisa membuat kebijakan yang tepat jika kita tidak memiliki data yang akurat dan komprehensif? Seringkali, data tentang penyandang disabilitas tidak terintegrasi atau tidak spesifik, membuat perencanaan program menjadi kabur. Lebih jauh lagi, representasi penyandang disabilitas dalam lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif masih sangat minim. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan inklusif lahir jika suara dan pengalaman mereka yang paling terdampak tidak ada di meja perundingan? Tanpa representasi yang berarti, isu disabilitas akan selalu menjadi "isu orang lain," bukan isu yang dimiliki bersama.
4. Hambatan Struktural dan Sikap: Lebih dari Sekadar Ramp Landai
Masalah disabilitas bukan hanya tentang ketersediaan ramp landai atau toilet khusus. Ini adalah tentang hambatan struktural yang mengakar: sistem pendidikan yang belum siap, pasar kerja yang diskriminatif, akses kesehatan yang terbatas, transportasi yang tidak inklusif, hingga stigma sosial yang menghambat partisipasi penuh. Membongkar hambatan-hambatan ini membutuhkan kemauan politik yang kuat, anggaran yang memadai, dan koordinasi lintas sektor yang serius – sesuatu yang seringkali kurang. Stigma dan diskriminasi yang termanifestasi dalam sikap masyarakat dan pembuat kebijakan menjadi tembok tak kasat mata yang sulit dirobohkan.
5. Prioritas Politik yang Seringkali Pragmatis
Dalam tarik-menarik kepentingan politik, isu disabilitas seringkali kalah bersaing dengan isu-isu lain yang dianggap lebih mendesak atau memiliki dampak elektoral yang lebih besar. Perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan kesetaraan disabilitas seringkali bersifat jangka panjang, membutuhkan investasi besar, dan kadang tidak langsung terlihat hasilnya. Politik yang berorientasi pada jangka pendek dan populis akan cenderung mengabaikan isu ini.
Menuju Politik Kesetaraan yang Sejati
Mengatasi pengabaian isu disabilitas bukan sekadar tugas kemanusiaan, melainkan sebuah investasi cerdas dalam pembangunan bangsa. Sebuah masyarakat yang inklusif adalah masyarakat yang lebih kuat, lebih inovatif, dan lebih adil bagi semua.
Untuk mewujudkan politik kesetaraan yang sejati, kita membutuhkan:
- Kemauan Politik yang Tegas: Pemimpin harus menjadikan isu disabilitas sebagai prioritas utama, bukan sekadar pelengkap.
- Peningkatan Data dan Riset: Mengumpulkan data yang akurat dan terpilah untuk merancang kebijakan berbasis bukti.
- Pendidikan dan Kampanye Publik: Mengubah stigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas.
- Representasi Bermakna: Memastikan penyandang disabilitas terlibat aktif dalam setiap tahap perumusan dan implementasi kebijakan.
- Anggaran yang Memadai: Mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk program-program inklusif.
Isu disabilitas adalah cermin sejati seberapa jauh komitmen kita terhadap kesetaraan. Selama kelompok ini masih terabaikan, janji-janji tentang politik kesetaraan kita hanyalah gaung kosong di tengah hiruk-pikuk yang tak bermakna. Sudah saatnya kita bergerak dari retorika menuju aksi nyata, memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam perjalanan menuju keadilan sosial. Ini adalah ujian sejati bagi politik kesetaraan kita.


