Politik Komunal dan Risiko Polarisasi di Masyarakat Multietnis

Politik Komunal di Persimpangan Multietnis: Antara Pelukan Identitas dan Jurang Polarisasi

Di jantung setiap masyarakat multietnis, berdenyutlah sebuah paradoks yang memukau sekaligus menakutkan. Ia adalah rumah bagi mozaik budaya, bahasa, dan keyakinan yang, dalam idealnya, menjadi sumber kekuatan tak terbatas. Namun, di balik keindahan keragaman itu, tersimpan pula benih-benih kerentanan, terutama ketika politik komunal mulai menggeser batas antara representasi yang sah dan eksklusivisme yang membakar.

Politik komunal, pada dasarnya, adalah sebuah upaya kelompok identitas – entah itu etnis, agama, atau suku – untuk menyuarakan aspirasi, melindungi kepentingan, dan memastikan keberadaan mereka dalam arena politik yang lebih luas. Ini adalah reaksi alami manusia untuk mencari kesamaan, untuk menemukan "kita" di tengah hiruk-pikuk "mereka". Dalam konteks masyarakat multietnis, politik komunal bisa menjadi perisai yang vital. Ia memberi suara kepada yang mungkin terpinggirkan, menjadi jembatan bagi kelompok minoritas untuk berpartisipasi, dan menjaga agar identitas kolektif tidak larut dalam homogenisasi. Bayangkan sebuah kelompok etnis dengan bahasa dan adat istiadat unik yang berjuang untuk diakui dalam kurikulum nasional, atau komunitas agama yang menuntut perlindungan atas tempat ibadah mereka. Ini adalah manifestasi sehat dari politik komunal.

Namun, di sinilah letak dilemanya: garis antara advokasi identitas yang konstruktif dan eksklusivisme yang merusak seringkali sangat tipis, nyaris tak terlihat. Ketika politik komunal beralih fungsi dari representasi menjadi instrumentalisasi, ia berubah menjadi senjata yang ampuh untuk memecah belah. Para demagog, dengan keahliannya meniupkan api ketakutan dan kebencian, seringkali memanfaatkan sentimen komunal ini. Mereka membangun narasi "kami versus mereka" yang diperkuat oleh stereotip, prasangka historis, dan ketidakadilan masa lalu yang dihidupkan kembali.

Masyarakat Multietnis: Sebuah Tapestri yang Rentan Robek

Dalam masyarakat yang didominasi satu etnis, friksi mungkin terjadi atas dasar kelas atau ideologi. Tetapi di masyarakat multietnis, perpecahan bisa jauh lebih dalam dan membekas, sebab ia menyentuh inti dari siapa seseorang itu: identitas primernya. Konflik bukan lagi tentang "apa yang kita yakini", melainkan "siapa kita", sebuah pertanyaan eksistensial yang sulit ditawar.

Risiko polarisasi di sini menjadi berlipat ganda. Setiap kelompok, yang awalnya hanya ingin mempertahankan identitasnya, kini merasa terancam oleh keberadaan atau kemajuan kelompok lain. Politik bukan lagi tentang mencari solusi terbaik bagi semua, melainkan tentang perebutan kekuasaan agar kelompok "kami" tidak tertindas oleh "mereka". Ruang publik pun terbagi menjadi gelembung-gelembung identitas, di mana informasi difilter untuk memperkuat pandangan kelompok sendiri dan demonisasi kelompok lain menjadi hal yang lumrah. Dialog menjadi sulit, empati menguap, dan kepercayaan sosial terkikis hingga ke dasar.

Sejarah, seringkali, menjadi beban, bukan pelajaran. Ketidakadilan masa lalu yang belum terselesaikan, luka-luka lama yang tak tersembuhkan, kini menjadi amunisi segar dalam retorika politik komunal yang memecah belah. Masyarakat yang tadinya merupakan mozaik indah, kini terancam menjadi pecahan-pecahan kaca yang tajam, siap melukai siapa saja yang mencoba mendekat.

Menemukan Titik Temu di Tengah Badai

Maka, bagaimana kita menavigasi labirin kompleks ini? Menolak politik komunal secara total mungkin naif, sebab kebutuhan akan identitas dan representasi adalah bagian intrinsik dari kemanusiaan. Namun, membiarkannya lepas kendali adalah bunuh diri sosial.

Kuncinya terletak pada pengembangan "nasionalisme sipil" atau identitas kewarganegaraan yang melampaui ikatan primordial. Ini berarti mengakui dan merayakan keragaman identitas, namun pada saat yang sama, menegaskan bahwa ada nilai-nilai, institusi, dan tujuan bersama yang mempersatukan kita sebagai warga negara. Pendidikan yang menekankan empati dan pemahaman lintas budaya, media yang bertanggung jawab dalam melaporkan isu-isu sensitif, serta pemimpin yang berani membangun jembatan alih-alih tembok, adalah pilar-pilar penting.

Kita harus terus-menerus mengingatkan diri bahwa keberagaman adalah takdir, bukan pilihan. Tantangannya bukanlah menghilangkan perbedaan, melainkan mengelola perbedaan itu agar menjadi sumber inovasi dan kekuatan, bukan perpecahan. Ini adalah perjalanan tanpa akhir, sebuah tugas yang menuntut kesabaran, dialog tanpa henti, dan komitmen teguh untuk melihat manusia di balik label identitas. Sebab, di ujung jurang polarisasi, yang ada hanyalah kehampaan, di mana tidak ada kelompok yang benar-benar menang, melainkan semua pihak kalah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *