Politik Lingkungan: Mengapa Bisikan Bumi Kerap Tenggelam dalam Hiruk-Pikuk Kekuasaan?
Kita semua tahu, atau setidaknya pernah mendengar, tentang krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, atau tumpukan sampah yang tak ada habisnya. Isu-isu ekologi ini bukan lagi ramalan futuristik, melainkan realitas yang menggedor pintu rumah kita. Namun, coba tengok agenda politik kebanyakan negara – termasuk di Indonesia. Mengapa isu-isu yang secara fundamental mengancam keberlangsungan hidup kita ini seringkali hanya menjadi "catatan kaki," bisikan samar yang tenggelam dalam deru kampanye dan janji-janji pembangunan?
Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan simfoni kompleks dari berbagai faktor yang saling bertautan, menciptakan dinding tebal antara teriakan bumi dan telinga kekuasaan.
1. Horizon Waktu yang Berbeda: Sprint Politik vs. Maraton Ekologi
Politik, pada dasarnya, adalah permainan jangka pendek. Siklus pemilu yang berjalan setiap empat atau lima tahun memaksa para politisi untuk berpikir dalam "kuartal" atau "periode" jabatan. Mereka membutuhkan hasil cepat, program yang bisa dipamerkan saat kampanye berikutnya. Membangun infrastruktur, menurunkan harga kebutuhan pokok, atau menciptakan lapangan kerja adalah janji manis yang bisa dirasakan langsung.
Sementara itu, isu ekologi adalah maraton tanpa garis finis yang jelas dalam satu periode jabatan. Menjaga hutan agar tetap lestari, mengurangi emisi karbon, atau memulihkan ekosistem yang rusak adalah proses jangka panjang, seringkali lintas generasi, yang hasilnya tidak bisa dipetik instan. Mana ada politisi yang berani mengorbankan popularitas hari ini demi masa depan yang mungkin baru akan dirasakan cucu-cucunya? Mirisnya, politik membutuhkan tepuk tangan hari ini, sedangkan bumi membutuhkan napas panjang.
2. Ekonomi vs. Ekologi: Dilema Palsu yang Terus Dipelihara
Seringkali kita dihadapkan pada dikotomi yang menyesatkan: "pembangunan ekonomi atau perlindungan lingkungan." Seolah-olah keduanya adalah musuh bebuyutan. Para pengambil kebijakan seringkali terjebak dalam narasi bahwa pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan alam, dan sebaliknya. Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit atau pertambangan emas, misalnya, selalu dibungkus dengan janji penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
Lobi-lobi industri raksasa yang bergerak di sektor ekstraktif memiliki pengaruh politik yang sangat kuat. Dengan janji investasi dan "sumbangan" untuk kas negara, mereka mampu membisikkan kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka, seringkali dengan mengorbankan lingkungan. Kekuatan ekonomi jangka pendek seringkali lebih menggoda daripada keberlanjutan ekologi jangka panjang. Ini bukan pilihan sulit, ini adalah pilihan yang keliru sejak awal, namun terus dipelihara karena keuntungan instan yang ditawarkannya.
3. Kompleksitas dan Abstraksi: Musuh Empati Publik
Inflasi, kemacetan lalu lintas, atau kriminalitas adalah masalah yang terasa langsung, personal, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, atau pencemaran mikroplastik, di sisi lain, seringkali terasa abstrak, ilmiah, dan "terjadi di tempat lain." Sulit bagi seorang politisi untuk menjual "penyelamatan terumbu karang" kepada pemilih yang pusing memikirkan harga kebutuhan pokok.
Dampak ekologi seringkali lambat, kumulatif, dan tidak selalu terlihat secara kasat mata pada awalnya. Perlu pendidikan dan kesadaran yang tinggi untuk memahami rantai sebab-akibatnya. Tanpa pemahaman yang kuat dari publik, isu lingkungan tidak memiliki "daya gedor" politik yang cukup untuk memaksa para pemimpin bertindak serius.
4. Polarisasi Ideologi: Ketika Alam Menjadi "Kubu"
Di beberapa negara, termasuk secara tidak langsung di Indonesia, isu lingkungan seringkali terperangkap dalam polarisasi ideologi. Lingkunganisme kadang dicap sebagai agenda "kiri" atau "idealis utopis" yang menghambat pembangunan. Labelisasi ini membuat diskusi yang seharusnya berbasis sains dan keberlanjutan menjadi ajang perdebatan ideologis yang tak produktif.
Ketika isu lingkungan diseret ke arena "kubu-kubuan," solusi yang rasional dan berbasis bukti menjadi sulit dicapai. Para politisi enggan mengambil risiko dukungan dengan mengadopsi kebijakan yang mungkin dicap "tidak nasionalis" atau "anti-pembangunan" oleh lawan politiknya.
5. Kurangnya Kepemimpinan Visioner dan Keberanian Politik
Pada akhirnya, di balik semua faktor di atas, ada satu elemen krusial yang sering absen: kepemimpinan visioner dan keberanian politik. Mengambil kebijakan pro-lingkungan seringkali berarti membuat keputusan sulit yang mungkin tidak populer dalam jangka pendek. Itu berarti menantang status quo, berhadapan dengan lobi kuat, dan mungkin kehilangan beberapa suara.
Pemimpin yang hanya mengejar tepuk tangan sesaat akan selalu memilih jalan yang paling aman dan populer, mengesampingkan masalah yang baru akan meledak di masa depan. Kita membutuhkan pemimpin yang berani berbicara tentang kebenaran yang tidak nyaman, yang mampu melihat jauh ke depan, dan yang bersedia mengorbankan sedikit popularitas demi mewariskan bumi yang layak huni.
Membangun Jembatan antara Bumi dan Kekuasaan
Mengatasi pengabaian isu ekologi dalam politik bukanlah tugas mudah, tetapi mutlak harus dilakukan. Ini membutuhkan tekanan dari masyarakat sipil, pendidikan yang masif, transparansi, dan yang terpenting, kesadaran kolektif bahwa kita semua adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem ini.
Mungkin sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk tak lagi hanya mendengar bisikan kekuasaan, melainkan juga gema tangisan bumi. Karena pada akhirnya, politik tanpa bumi adalah politik tanpa masa depan. Dan itu adalah kebenaran yang tidak bisa lagi kita abaikan.











